Halaman

Rabu, 22 Juni 2011

"Ya Allah, Berilah Kesabaran "



    Setiap orang menjalani hidup ini dengan berbagai ujian yang harus dilaluinya. Boleh jadi ujian itu berbentuk kemegahan harta benda atau sebaliknya, miskin harta dan ilmu, akibatnya hidup dirasakan sebagai suatu derita yang berkepanjangan. Ada kalanya ujian yang dihadapi tidak dapat dihadapinya sehingga mencari jalan pintas dengan mengakhiri hidup:  bunuh diri. Mungkin disangkanya bunuh diri itu menyelesaikan masalah tanpa masalah, tapi sesungguhnya merupakan persoalan yang sangat berat dan merupakan pintu pertama yang mengerikan, karena di alam barzah tidak ada yang menemani selain dirinya sendiri dan semua sikap dan perilaku yang pernah diperbuat harus dipertanggungjawabkan seutuhnya.
    Kisah ini menjadi pelajaran yang sangat berharga ketika suami yang sangat dicintai dan menjadi tulang punggung keluarga harus meninggal dunia karena menderita penyakit berat. Allah swt telah menakdirkan dalam usia 53 tahun nyawanya  diambil oleh Sang Maha Kuasa, sementara istrinya harus mengurus 3 orang anaknya yang sedang tumbuh mekar. Berat beban derita yang harus ditanggung, namun sebagai wanita yang menjadi sandaran anak-anaknya harus mampu memberi ketenangan dan kenyamanan untuk menentukan masa depan.
   Di saat sedang indahnya mengarungi hidup berumah tangga, musibah datang tanpa dikehendaki. "Rasanya dunia ini gelap dan tidak  dapat dijadikan sandaran ketika suamiku menghembuskan napas terakhir disaat aku pun dalam keadaan patah tulang kaki kananku, karena musibah yang mendadak. Aku rasanya ingin mati bersama saja bila tidak ingat ketiga anakku yang telah kulahirkan ke dunia. Namun aku harus kuat sebab mereka menangis mengharapkan aku agar bisa bertahan hidup dan kuat menghadapi semua ujian ini.
  Kematian suami, bagiku bagaikan burung yang kehilangan sayap, aku tak kuasa menahan ujian berat ini, apalagi suamiku mati dalam keadaan masih muda, disaat anak-anakku membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Aku seperti mimpi di siang hari, masih belum percaya dengan jasad suamiku yang sudah tidak memiliki ruh. Berulangkali aku berteriak histeris  dan memanggil namanya, tetapi percuma saja sebab ia tidak akan pernah bangun lagi.
    Kisah nyata diatas terjadi pada teman istriku sewaktu SMEA Cimahi namanya Ibu Iim. Aku tak kuasa mendengar kisahnya yang begitu tragis, tak terasa air matanya basah saat menceriterakan perjalanan panjang yang dialami penuh duka nestapa. Dunia seakan neraka yang menghantam jiwa raga.
   Meski jalannya harus mengenakan tongkat, namun terpancar kekuatan jiwa yang mendalam. Ia tetap ingin bertahap demi melihat ketiga anaknya yang sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Hancurnya hati seakan tidak terobati  selama beberapa bulan, namun ia mencoba bangkit untuk tabah dan yakin kalau Allah memberi jalan yang baik.***
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar