Namanya dikenal dengan sebutan Abah, memiliki kekuatan tubuh yang luar biasa hebat , karena ia belajar ilmu kadugalan selama bertahun-tahun. Meski golok tajam disabetkan ke tubuhnya, namun sedikit pun kulitnya tidak akan berbekas. Ia dikenal sebagai preman jalanan yang ditakuti banyak kawan dan lawan di tahun 1980-an. Namun di akhir hayatnya sungguh menyedihkan,ia jatuh sakit selama bertahun-tahun untung saja bertemu dengan seorang Ustad yang mengajarkan tauhid, sehingga bertobat.
Seminggu sebelum meninggal dunia ia mengisahkan semua perjalanan hidupnya Berikut penuturan kepada Sdr. Kuswari.
BILA teringat masa lalu, aku tak kuasa menahan air mata. Aku manusia yang banyak dosa , dosaku tak terhitung banyaknya. Bahkan yang membuat aku sedih, kalau teringat pada istriku yang pertama, dia meninggal dunia karena hampir setiap hari aku tempeleng dan kutendang. Bila ada keinginanku yang tidak segera dipenuhi, aku akan segera menamparnya, termasuk kalau terlambat menyediakan air kopi di pagi hari, tanganku akan melayang tanpa ada rasa kasihan. Aku sama sekali tak peduli dia menangis meraung-raung. Kalau ada yang berani menegur, aku tak segan-segan akan melayangkan tinju kepada orang yang menegur, termasuk mertuaku.
Pernah suatu ketika mertuaku menegurku, karena aku menyiksanya. Tentu saja mendadak darahku mendidik.
“Bapak ini mau apa heh?” kataku seraya mendekati mertuaku. Tanpa pikir dua kali, tanganku melayang ke pipinya. Sekali saja aku menempeleng, mertuaku sudah terjatuh ke lantai sambil mengeluarkan darah di mulutnya.
“Ampun…” katanya.
Aku segera menghampirinya dan tanpa ada belas kasihan, kakiku menendang wajahnya. Dia meringgis kesakitan
“Jangan coba-coba melawan dengan si Abah…” kataku dengan angkuh dan menepuk dada.
“Ampun…ampun Bah…” katanya meringgis saat aku akan kembali menendang wajahnya.
“Makanya dengan aku, jangan coba-coba menegur apalagi melarang. Aku tidak mau dilarang oleh siapapun. Aku ingin bebas hidup di dunia ini.,” kataku.
Begitulah aku. Siapapun tidak akan berani melawanku. Mertuaku saja sudah beberapa kali aku pukul dan babak belur wajahnya, karena berani melawan kepadaku. Kasihan juga mertuaku, dia tidak bisa melawan saat aku menampar dan menendang wajahnya. Hatiku telah keras membatu. Tidak ada yang bisa menasihatiku. Bahkan perabot rumah tangga bisa hancur berantakan kalau aku sudah bernafsu.
Akibat kelakukanku, Istriku sering sakit-sakitan dan tak kuat lagi hidup bersama denganku. Beberapa kali ia minta cerai, namun jawaban yang kuberikan adalah bogem mentah yang melayang mulutnya, sehingga mengeluarkan darah segar.
Semua itu tidak lain disebabkan karena aku menganut ilmu setan yang sengaja aku beli dengan puasa selama beberapa hari dan mati geni, sehingga hidupku benar-benar dalam keadaan sesat. Aku tidak lagi takut dengan kematian, bahkan aku bagaikan serigala yang kelaparan; bisa bertindak semaunya.
Kuakui sejak masa muda, aku senang bergaul dalam lingkungan yang tidak baik. Aku senang bermain dan berkumpul dengan kawan-kawan yang sama-sama menganggur, tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Aku seringkali berada di terminal, sekedar untuk bermain domino atau meminta uang kepada sopir angkot. Kalau uang yang kukumpulkan sudah banyak, biasanya dibelikan minuman keras. Aku tak peduli dengan keadaan di rumah.
Hidup di terminal harus berani. Kalau tidak berani tidak akan bisa makan. Begitu pula dengan diriku; aku berani berhadapan dengan siapapun. Kalaupun harus masuk penjara, bagiku tidak menjadi masalah. Penjara harus menjadi bukti kalau hidupku benar-benar bukan sebagai pengecut. Pernah di terminal dikuasai oleh orang batak yang selalu meminta uang kepada setiap supir yang ada disitu. Ketika ada laporan kepadaku, ada orang batak yang membuat macam-macam di terminal, mendadak saja darahku mendidih. Sekektika aku langsung saja mencari orang batak itu. Ketika bertemu, tanpa pikir dua kali aku langsung memukul orang batak itu.
Namun rupanya orang batak yang kemudian kutahu namanya Nainggolan, membuat perlawanan, maka aku pun tidak tinggal diam. Maka terjadilah perkelahian yang ditonton banyak orang. Rupanya si Nainggolan mempunyai ilmu bela diri yang cukup juga, ia beberapa kali melakukan penyerangan kepadaku, sehingga aku dibuatnya terhuyung-huyung saat sebuah pukulan keras menghantam wajahku.
Namun aku tidak begitu saja menerima kekalahanku. Segera saja aku berdiri dan berkata lantang :”Keluarkan ilmu yang kamu miliki. Aku siap mati di sini…nah sekarang kamu bersiap-siap menghadapi serangaku…”
“Aku bukan lelaki penakut. Aku datang dari Sumatera untuk menaklukan orang yang macam-macam di sini...” katanya.
Mendengar ucapan itu, tentu saja aku marah. Aku pejamkan mataku dan mulutku mengucapkan kalimat-kalimat jangjawokan yang kuhapal kalau aku akan berkelahi. Ketika selesai kubaca jangjawokan itu, mendadak tubuhku seperti membesar dan keberanianku berlipat ganda. Seketika aku langsung menghantamkan pukulanku tepat kearah perut, sehingga mendadak si Nainggolan terpental ke belakang. Lalu dari mulutnya keluar darah segar. Ia tidak bisa lagi berdiri selain meringgis kesakitan dan memegang perutnya.
Teman-temannya sesama orang batak bergegas membawanya ke rumah sakit, sebab si Nainggolan jatuh pingsan. Aku hanya tertawa saja, ketika aku berteriak di terminal,”Ayo siapa lagi yang berani melawanku, maka ia akan seperti orang batak itu?” kataku menunjuk si Nainggolan yang sedang dibawa ke angkot.
Keadaan di rumah, aku sama sekali tidak mempedulikan. Kalau istriku sudah kehabisan uang belanja, aku tak mau ambil pusing. Kusuruh saja untuk meminjam kepada tetangga atau warung yang tidak jauh dari rumahku. Kalau ada tetangga yang tidak memberikan pinjaman, maka aku akan mendatangi rumahnya dan memecahkan kaca jendela. Tentu saja mereka takut dan segera meminjam uang. Begitu pula dengan warung yang berjualan tidak jauh dengan rumahku. Kalau mereka menagih uang, maka seketika aku akan segera menamparnya.
“Jangan coba-coba menagih utang ke Abah. Abah ini keamanan di daerah ini, jadi wajar kalau kalian memberikan sumbangan sukarela,” kataku. Dengan ucapan itu, tak ada tetangga yang berani melawan, apalagi mereka sudah tahu sikap dan kelakuanku yang tidak berpikir panjang.
Aku semakin berlagak jagoan tak terkalahkan. Bahkan sifat jelekku semakin menjadi-jadi. Pulang ke rumah tidak menentu, meskipun aku sudah mempunyai 2 orang anak. Kadang-kadang pula aku bertindak kasar dan keras kepada kedua anakku. Pernah aku menyiksa anak lelaki yang pertama karena dia mencuri uang tetangga. Aku siksa sampai tubuhnya merah-merah dan mengeluarkan darah karena aku menyiksa dengan kayu.
Istriku menjerit-jerit ketika aku menyiksa anakku, bahkan ia segera merangkulnya, karena anakku sudah meminta ampun.
“Dasar anak kurang ajar! Kamu mencuri uang hah! Awas kalau kamu ulangi lagu perbuatan itu, aku akan siksa kamu sampai mati,” ujarku.
Ketika itu, istriku berkata dengan lantang,
“Kamu menyiksa anakmu sendiri yang mencuri. Padahal kelakuan kamu setiap hari merampok dan mencuri di terminal. Apakah kamu tidak sadar?”
Bukan main merah mukaku mendengar ucapan begitu dari istriku.
“Apa katamu hah? Kamu berani melawan kepadaku? “ kataku seraya mendekati istriku dan tanpa bicara lagi. tanganku langsung menghajar wajah istriku. Ia menjerit kesakitan dan langsung terjatuh.
Aku bergegas mnenghampiri dan kakiku langsung menendang kepala istriku, sehingga ia menjerit kesakitan.
“Awas, kamu jangan coba-coba melawan kepadaku. Aku bisa bertindak apa saja pada kamu,”
Aku segera mengambil tali tambang plastik di dapur. Maksudku tidak lain akan mengikat kaki dan tangannya agar ia kapok. Kulihat istriku telungkup dengan rambut terurai kusut.
Aku mengikat kaki dan tangannya dengan keras sekali. Lalu aku letakkan di sudut rumah, dengan posisi yang telungkup. Aku segera saja meninggalkan rumah, setelah terlebih dahulu aku mengunci pintu.
Aku pun segera ke terminal lagi, berkumpul dengan teman-teman untuk minum-minuman keras. Aku mabok karena aku habis 3 botol. Aku merasa senang dan nikmat sekali, aku tak peduli dengan istriku.
Namun di saat aku sedang mabok malam itu, ada temanku yang memberitahu kalau istriku di rumah kondisinya sangat parah dan dibawa ke rumah sakit oleh tetangga dekat. Aku tak peduli semua itu, yang penting aku mabok. Aku tertidur di terminal sampai pagi.
Ketika pagi-pagi aku pulang, aku heran di rumah banyak tetangga berkumpul. Aku tidak menyadari, kalau pada hari itu istriku sudah tidak bernyawa lagi. Ia telah mati sejak malam, karena siksaanku yang bertubi-tubi.
Betapa aku terperanjat ketika masuk ke dalam rumah, kedua anakku sedang menangis terisak-isak dihadapan mayat yang sudah terbujur kaku ditutup kain seluruh tubuhnya. Aku penasaran, kubuka kain itu. Wajahku pucat pasi, sebab yang meninggal dunia itu adalah …istriku yang kemarin aku siksa. Aku terbelalak, tidak percaya apa yang kulihat.
Sekuatnya lelaki, saat itu aku tak kuasa menahan rasa menyesal yang mendalam. Aku merasa berdosa telah menyiksa.
“Bapak jahat, bapak kejam!” kudengar suara anakku yang berusia 7 tahun ditujukan kearahku. Ia menatap wajahku dengan penuh kebencian. Aku diam tak berkata sepatah kata pun, mengakui apa yang dikatakakan anakku.
Tak terasa bola mataku telah basah dengan air mata. Aku merasa berdosa selama ini telah menelantarkan istriku dan banyak membiarkan, padahal istriku sangat baik sekali. Ia sangat rajin sekali beribadah.
Ketika istriku dimasukkan ke liang lahat, aku hanya menangis terisak-isak. Aku benar-benar menyesal dan ingin bertobat, aku ingin memelihara kedua anakku agar mereka menjadi anak yang baik, tidak seperti aku yang hidupnya merugikan orang lain serta dibenci warga.
Beberapa teman di terminal menghadiri pemakaman istriku.
“Baru aku melihat kamu menangis di tinggal istrimu…” kata Ujang, temanku yang selalu bersama-sama.
“Aku kasihan…selama ini aku menelantarkan dan aku kerapkali menyiksa, menempeleng dan menendang. Aku menangis karena menyesal telah berbuat begitu…padahal istriku sangat setia. Aku kasihan pada kedua anakku, kepada siapa mereka dititipkan?”
“Kamu ini kaya bukan laki-laki. Soal wanita mah tidak usah khawatir. Banyak wanita yang mau dinikahi sama kamu, yuk sekarang kita ke terminal…buat apa di rumah malah menambah sedih”
Sejak kematian istriku, hiduku bukannya berubah, malah sebaliknya, aku semakin menjadi-jadi. Aku tidak bingung mencari pengganti istriku, karena setiap malam juga aku bisa mencari perempuan malam yang banyak berkeliaran. Aku tidak mau peduli dengan kedua anakku, mereka untung saja mau mengikuti bibinya di Garut, sehingga aku tidak terbebani.
Lingkungan pergaulan di terminal telah membawaku ke dunia hitam yang lebih brutal dan aku pun bersama teman-teman semakin nekat untkuk merampok. Aku semakin tertarik mempelajari ilmu kekuatan tubuh, apalagi ketika ada teman yang membawaku ke daerah Banten untuk memperdalam ilmu.
“Kalau kamu kuat, maka akan mudah memperoleh apa saja yang kamu inginkan. Kamu harus belajar di Banten. Aku sendiri sudah belajar di Banten, nah coba kamu lihat besi . Aku bisa memotong besi itu,” kata si Ujang seraya mengambil besi baja yang panjangnya satu meter. Lalu tidak berapa lama, besi itu dipotong menjadi dua. Tentu saja aku tertarik untuk belajar ilmu itu.
Di Banten aku mendalami ilmu kedugalan selama bertahun-tahun, aku tinggal di sebuah perkampungan yang jauh dari penduduk. Aku bertapa di gunung selama beberapa hari lamanya. Aku dibimbing oleh dukun yang memang mempunyai ilmu kedugalan yang luar biasa.
“Kamu akan menjadi manusia kuat, sepanjang kamu tidak menyebut nama Allah Swt. Kamu harus menghindari ketika mendengar suara adzan dan orang yang sedang mengaji Al-Quran, sebab dalam tubuhmu akan terasa panas. Tetapi kami akan semakin kuat dan wanita banyak yang tertarik kepada kamu,” ucap dukun yang berusia 75 tahun itu.
Aku gembira mendengar kata-katanya, sebab itulah sesungguhnya yang aku cari di dunia; aku menjadi manusia yang kuat dan banyak wanita yang menyukai diriku.
Selesai aku berguru kepada dukun itu, aku merasa kepercayaan diriku semakin berlipat ganda. Bahkan dalam dadaku berkobar semangat pantang mundur dan pantang menyerah dengan siapapun. Aku ingin memiliki uang yang banyak dan rumah yang mewah.
Mulailah hidupku memasuki dunia hitam yang kelabu. Aku tidak segan-segan untuk berkelahi dengan preman di sebuah terminal. Kekuatanku sungguh luar biasa, aku bisa sekali memukul langsung orang itu terpelanting jatuh dengan darah mengucur dari mulutnya. Aku pun terkadang bertindak sadis, apabila musuhku ternyata lebih berani, aku tak segan-segan menggunakan cara yang licik yaitu dengan mengincar kelemahan musuh. Pernah aku diajak berkelahi oleh seorang jagon dari daerah lain, aku lawan tantangan itu. Aku hampir saja kalah sebab ia memiliki ilmu yang lebih tinggi daripadaku, namun untung saja aku pun bisa mengatasi musuh, karena saat terakhir akan meninggalkan Banten, dukun itu pernah berkata kalau dalam keadaan terpepet, jangan lupa mengeluarkan keris kecil yang disimpan di sabuk. Keris itu harus ditusukkan ke dadanya, maka musuh akan terjatuh. Betul saja, ketika aku dalam keadaan terpojok, segera aku mencabut keris dan segera menusukkan kepada orang itu, ia langsung berteriak kesakitan.
Selama bertahun-tahun aku tidak pernah menyentuh tempat ibadah, bahkan sesuai amanat dukun di Banten, agar aku menghindari orang yang sedang mengaji atau mendengar suara adzan, maka kekuatanku akan semakin sempurna. Memang aku merasakan keanehna, setiap kali mendengar suara azdan, terasa telingaku panas tidak karuan, bahkan kalau tidak segera menutup kuping aku merasakan suara bergemuruh di gendang telingaku. Aneh, aku tidak mengerti mengapa demikian. Itu karenanya, aku lebih suka tinggal di tempat yang jauh dari mesjid atau madrasah.
Selama perjalanan hidupku, sudah sering sekali aku keluar-masuk penjara berurusan dengan polisi, sebab aku terkait dengan pembunuhan atau perkelahian antar gang, tetapi di penjara aku semakin terlatih dan berani. Bahkan selama menjalani hukuman penjara karena tindak kriminal pembunuhan, aku semakin mendalami ilmu kepada orang-orang yang berada di penjara. Ternyata mereka lebih hebat daripadaku, terutama ketika aku berkenakan dengan seorang lelaki dari Makasar, rupaya ia memperlajari ilmu yang kuat ditembak. Aku tertarik, namun ketika dia memberikan syarat agar aku puasa selama berbulan-bulan dan makan nasi cukup dengan garam saja, aku menolak.
Aku semakin menguasai beberapa daerah dan orang takluk di hadapanku. Kalau sudah begitu, aku tinggal menikmati hasilnya, sebab anak buahku akan menyetor uang jago dari beberapa tempat. Setiap hari aku mendapat uang yang cukup buat kebutuhan sehari-hari, setelah aku bagi-bagi kepada anak buahku yang jumlahnya cukup banyak.
Aku pernah merasakan kejayaan hidup dan bisa membeli apa saja yang kuinginkan termasuk aku bisa membeli rumah. Aku bisa menikahi seorang wanita yang lebih cantik dari istriku yang pertama, sampai-sampai aku dikarunia 6 orang anak. Mereka tumbuh besar sebagaimana layaknya anak-anak lain.
Namun meski begitu, sifatku tidak berubah, aku kerapkali keras dalam mendidik anak-anak dan istriku kadangkala aku tempeleng kalau terjadi pertengkaran denganku. Tak heran kalau rumah tanggaku tidak merasa tenteram, terlebih karena aku bekerja sebagai preman, yang sewaktu-waktu bisa tergeser oleh orang lain yang lebih hebat. Namun selama beberapa tahun, aku bisa menikmati uang dengan cara seperti itu.
Tetapi uang yang kudapati sama sekali tidak membekas. Aku masih senang mabok dan bergaul di terminal. Seminggu sekali sudah pasti aku mabok. Aku sudah sangat ketagihan dan tidak bisa ditinggalkan minuman keras. Kalau saja tidak minum, aku merasa dahaga dan haus sekali.
Tetapi lama kelamaan, seiring dengan usiaku yang semakin bertambah dan daya tahan tubuhku pun terbatas, mulailah secara pelan-pelan aku merasakan tubuhku digerogoti berbagai penyakit. Tadinya aku tidak peduli dan berusaha untuk bertahan, namun sekuat-kuatnya tubuhku, ada saja kelemahanku. Berbagai penyakit mulai menyerang diriku. Diawali penyakit darah tinggi. Aku berusaha untuk melawan penyakit ini, namun semakin dilawan dengan ilmuku, aku semakin tak berdaya. Darah tinggiku tidak pernah sembuh, kemudian disusul penyakit diabet, penyakit kencing manis yang sungguh-sungguh membuat aku tersiksa.
Kini hidupku benar-benar tersiksa, sejak aku jatuh sakit selama lebih 5 tahun lebih. Aku tak sanggup lagi untuk melangkahkan kaki. Kakiku lumpuh tidak bisa digerakkan sama sekali. Entah penyakit apa yang aku derita, hanya yang jelas ketika usiaku memasuki 70 tahun, mendadak berbagai penyakit secara perlahan menyerang diriku. Padahal terus terang saja, aku jarang sakit dan belum pernah masuk ke rumah sakit, apalagi berobat kepada dokter. Aneh, selama ini aku mempunyai kekuatan tubuh yang luar biasa. Banyak tetangga yang aneh dengan keadaan diriku yang tidak pernah jatuh sakit, padahal aku paling suka mabok selama betahun-tahun.
Di akhir hidupku aku merasakan kepahitan hidup yang luar biasa. Selama aku sakit nyaris tidak ada teman-teman yang menengok aku, aku dibiarkan begitu saja. Begitu pula di rumah, istriku kurang begitu peduli dengan keadaanku, apalagi dengan anak-anakku, mereka sama sekali tidak peduli. Boleh jadi, mereka sangat menginginkan agar segera saja aku meninggal dunia.
Terus terang saja, meski kakiku lumpuh dan badanku tinggal tulang, namun suaraku masih lantang, bahkan aku masih bisa membentak-bentak yang ada di rumah. Kalau saja ada keinginan yang tidak segera mereka enuhi, maka aku akan berteriak keras dan marah-marah dengan bahasa yang kasar dan garihal. Tentu saja kalau sudah begitu, mereka ketakutan, sehingga akan segera menyiapkan apa yang aku minta.
Pernah aku meminta daging sate ayam, namun ternyata istriku lama sekali menyiapkan sate. Aku marah-marah di kamar, namun tidak ada seorang pun yang masuk ke kamar, mereka membiarkan aku sendirian. Suaraku sudah hampir habis, namun tak seorang pun mau mendengarkan. Aku menangis sedih…sedih sekali. Rupanya istriku sengaja tidak mau membeli sate, karena kalau pun membeli, yang dimakan hanya satu.
“Dasar istri dan anak-anak kurang ajar!. Bapak dibiarkan sendirian di kamar. Apakah kamu budeg hah?” teriakku ketika istri dan anakku masuk ke dalam kamar.
“Tukang satenya belum ada, jadi harus nunggu dulu!” jawab istriku dengan suara ketakutan.
“Cari ke tempat lain, ‘kan masih ada? dasar goblog di rumah ini!”
Semua terdiam kalau aku sudah marah. Aku terus saja nyerocos bicara tidak karuan dan mengeluarkan kata-kata kasar. Ketika aku sudah merasa capai, aku pun tertidur. Begitulah aku, meski tubuhku sudah mengecil dan kakiku sudah tidak berjalan, namun nafsuku masih mengebu-ngebu.
Aku berobat ke dokter, namun penyakitku bukannya sembuh, tetapi justru sebaliknya semakin parah. Nafsu makan semakin berkurang. Setiap hari aku kerjanya marah-marah saja yang ada di rumah, aku tidak mau menerima harus terus sakit-sakit. Aku berteriak ingin sembuh. Namun percuma saja, sebab secara perlahan aku semakin digerogoti penyakit yang aneh. Kata dokter, telah terjadi komplikasi dalam tubuhku dan lama akan sembuh.
Dalam keadaan sakit, kerapkali aku ada yang menasihati agar segera bertobat kepada Allah Swt dan meminta ampun. Aku tentu saja marah kepada orang yang memberi nasihat itu. Apalagi karena aku tahu kalau orang itu dulu kelakuannya buruk, sehingga dengan mudah aku balikkan, “ Ah, kamu juga dulu kelakukan jelek, kamu kan sering menipu orang lain…diam sajalah!”
Aku telah menjadi orang yang keras kepala, hatiku telah membantu, tidak mau dinasihati orang lain. Namun suatu ketika, aku tidak mengira kalau anakku yang laki-laki membawa temannya dari kantor. Aku pun tidak begitu menghiraukan temannya. Namun ketika dia membaca surat yasin, aku mendadak marah dan kusuruh untuk berhenti, sebab aku merasakan panas sekujur tubuhku. “Hentikan membaca surat yasin itu…!” kataku lantang, namun dia tidak menghentikan membaca. Aku semakin marah dan mataku melotot kepada lelaki muda itu. Tetapi ia tenang saja membaca surat yasin hingga selesai.
Mendadak aku pun menjadi lemas dan tak kuasa lagi untuk marah-marah. Aku seperti disiram air yang dingin sekali, ketika ayat per ayat ku resapi. Rasa panas dalam tubuhku mendadak hilang seketika. Aku baru tahu kalau teman anakku itu adalah seorang Ustad. Surat Yasin yang dibacakan Ustad telah meruntuhkan kesombonganku, bahkan aku layu seketika. Aku merasakan ada makhluk halus yang lari dari tubuhku. Aku baru sadar kalau selama ini aku dikendalikan setan.
Ustad itu lalu mendekati aku. Aku merasakan ada kekuatan yang tak bisa aku lawan.
“Sekarang aku mau tanya? Apakah yang ada dihadapanku Abah atau setan?” tanya Ustad itu dengan mata menatap kearahku dengan tajam sekali. Suaraku yang tadi keras, mendadak sirna setelah dibentak. Aku bagaikan seorang terdakwa yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Aku melongo dibetak seperti itu. Aku seperti baru sadar berada dalam kungkungan setan selama ini.
“Aku…aku ….” Aku tak dapat meneruskan sebab kurasakan tenggorokan sangat berat.
“Abah sekarang istigfar sebanyak-banyaknya…coba ikuti aku!” katanya. Aku pun mengikuti apa yang diucapkan Ustad berulang-ulang. Beberapa kali aku dibentak karena salah dalam pengucapan.
“Sekarang coba Abah baca Al-Fatihah?” kata Ustad. Aku pun membaca surat Al-Fatihah, namun karena sudah lama tidak pernah kubaca, aku sampai terlupa dan terbata.
“Abah banyak yang salah dalam membaca Al-Fatihah…coba yang benar cara membacanya. Ikuti aku!” katanya.
Aku mengikuti bacaan Ustad itu. Meski berulang-ulang, namun aku merasakan ketenangan dalam jiwaku.
Ketika selesai menbaca Al-Fatihah, aku menangis terisak-isak di depan Ustad.
“Terima kasih, Ustad! Selama aku sakit aku sebenarnya ingin bertobat. Aku mengakui banyak kesalahan yang kuperbuat, namun tidak ada orang yang mau mengajari aku mengaji. Aku sekarang sadar, bahwa aku ini telah menjadi budak setan selama bertahun-tahun. Aku ingin bertobat dan memohon ampun kepada Allah Swt,” ujarnya dengan suara berat seraya menyeka air matanya.
“Allah itu Maha Pengampun kepada setiap hambanya yang ingin bertobat. Kalau begitu sekarang, abah harus memperbanyak zikir dan istigfar, sebab setan yang sudah lama ada dalam diri Abah akan terus menggoda…”
Aku pun diberi nasihat panjang sekali, sehingga beberapa kali aku mencucurkan air mata, aku teringat dengan dosa dan kesalahan yang pernah kuperbuat. Aku manusia yang banyak dibenci orang.
Sejak bertemu dengan Ustad itu, dia rajin mengunjungi aku. Aku sudah mengangapnya sebagai guru dan minta dibimbing tentang tauhid. Aku ingin bertobat dan mati dalam keadaan husnul khotimah.
Setiap hari aku selalu berzikir dan memohon ampun kepada Allah. Aku melaksanakan shalat semampunya. Aku berharap Allah mengampuni segala dosa dan kesalahan yang kuoerbuat. Aku sadar bahwa kematian tidak akan lama lagi akan menjemput. Itu sebabnya, aku pasrahkan sepenuhnya kepada Allah. Aku meminta maap kepada istri dan anak-anakku yang selama ini pernah aku sakiti. Mereka semua memaafkan kesalahan. Aku sendiri merasa bahagia dengan sikap mereka yang mau memaafkan aku.
Ketika mendengar nyanyian suara Darso yang berjudul Dina Amparan Sajadah, aku tak kuasa menahan air mata. Apa yang dinyakikan Darso tepat sasaran kepada diriku.Lagu itu benar-benar menusuk dadaku. Aku merasa terlalu banyak dosa. Setiap lagu itu terdengar di telinga, setiap kali itu pula aku meneteskan air mata.
Dina amparan sajadah
Abdi sujud pasrah
Diri nu lomokot ku dosa
Nyanggakeun sadaya-daya
Taya deui pamuntangan
Taya deui panghareupan
Mung Alloh, Pangeran Abdi
Pangeran Abdi Sadaya*** TAMAT
(Abah meninggal dunia tahun Awal 2007. Semoga Allah mengampuni segala dosa dan kesalahannya. Amiin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar