Halaman

Senin, 20 Juni 2011

Akibat Salah Tangkap, Nyawaku Hampir Melayang



            KISAH salah tangkap kerapkali mewarnai kehidupan manusia di dunia ini. Petugas keamanan pun bukanlah malaikat, sebagai manusia  bisa saja terjadi kesalahan, seperti yang menimpa kepada salah seorang lelaki yang  bernama  Jajang  (bukan nama sebenarnya). Berikut penuturannya yang mengharukan kepada Sdr. Kuswari.

            KEJADIAN ini terjadi setelah pemberontakan PKI atau yang sering disebut dengan Gerakan 30 September 1965. Aku saat itu termasuk salah seorang aktivitas dalam partai PNI yang didirikan oleh Bung Karno. Suasana saat itu cukup mencekam, terlebuh setelah ada kabar tersiar kalau pengurus dan anggota PKI yang ada di Indonesia akan ditangkap dan dibunuh, sebab telah melakukan pembunuhan para jenderal. Tak terbayangkan bagaimana keadaan keluarga yang terlibat dalam partai itu, meskipun hanya sebagai simpatisan atau anggota yang tidak tahu apa-apa, terpaksa harus berhadapan dengan hukum.
            Masih teringat aku mempunyai teman yang akrab di kampungku. Ia memang bukan aktivis PKI, namun pada saat itu pernah sekali mengikuti kegiatan yang diadakan PKI. Ia tidak tahu apa-apa tentang politik. Namun sungguh tragis nasibnya, karena ia terbukti pernah ikut kegiatan PKI, akhirnya dia diambil oleh tentara pada malam hari. Kasihan sekali istri dan anak-anaknya yang menagis tatkala bapaknya dibawa oleh dua orang yang berambut cepak. Meski mengakui tidak aktif di partai terlarang itu, namun tidak ada yang bisa menolong. Sahabatku itu  esok harinya sudah tidak bernyawa lagi. Dia dibunuh dengan cara yang sangat keji dan tidak berperikemanusiaan. Sungguh mengerikan ketika melihat mayatnya dalam keadaan yang menggenaskan.
            Aku sendiri tenang-tenang saja pada saat ada penangkapan besar-besar di daerah Ciparay Kab. Bandung, sebab aku bukanlah termasuk simoatisan atau anggota PKI, lebih-lebih sebagai simpatisan. Aku tidak mempunyai masalah, apalagi aku salah seorang anggota PNI.
            Banyak temanku yang aktif di PKI ditangkap dan ternyata kembali tinggal nama, mereka secara  keji dibunuh oleh sekelompok orang yang mendapat tugas dari pusat. Aku hanya mengelus dada bila teringat kejadian yang mengerikan itu, sebab tanpa proses hukum, mereka dibunuh lalu dilemparkan ke sungai. Hampir setiap hari, ada saja mayat yang mengapung di sungai. Penduduk dengan gotong royong segera mengangkat mayat itu, lalu setelah diketahui orang tersebut penduduk di situ, segeralah mayatnya dikuburkan.
            Aku mengira kalau aku aman-aman saja tidak akan ada yang menangkap. Namun suatu malam, entah kabar dari mana dan siapa yang memberitahu kalau tengah malam, rumahku ada yang mengetuk beberapa kali. Aku terbangun dan segera saja menuju pint depan. Aku tidak merasa curiga sedikit pun. Kupikir yang datang itu adalah anggota keamanan atau pak RT , ada keperluan mendadak.
            Namun ketika aku membuka pintu, betapa aku terperanjat sebab dua orang lelaki telah berdiri dengan menodongkan pistol, yang tentu saja membuat  badanku bergetar dan seluruh tubuhku lemas seketika.
            “Apakah anda yang bernama Jajang? (bukan nama sebenarnya)” tanya seorang lelaki yang berbadan tinggi dan berambut cepat.
            “Betul pak!” kataku gugup.
            “Ke sini kamu. Kamu harus ikut kami!” katanya.
            Mendadak saja tubuhku berkeringat, sebab aku tahu kalau yang dua orang itu, melihat dari penampilannya adalah tentara. Aku berusaha menenangkan diri, dan segera  membangunkan istri. Tentu saja istriku kaget dan terlihat wajahnya cemas.
            “Bapak mau kemana?” tanyanya dengan rasa penasaran.
            “Tenang saja, Bu!” kataku berusaha menenangkan istriku.
            Raut wajah  istriku berubah seketika saat melihat dua orang lelaki berada di luar sedang  menungguku.
            “Pak, bagaimana dengan anak-anak?” tanyanya.
            “Tenang saja, Bu. Berdoalah kepada Allah, mudah-mudahan tidak ada apa-apa. Bapak tidak merasa bersalah dan tidak merasa berdosa selama ini,” kataku.
            Aku pun segera meninggalkan rumah dengan berat hati. Hatiku sudah tidak menentu dan aku ingin tahu siapa yang memberitahu.
            Aku dibawa ke mobil patroli dengan mata ditutup. Hatiku sudah kebat-kebit, apalagi aku mendengar pembicaraan dalam mobil, kalau aku akan dibuang di daerah Ciwidey.
            Aku bingung dan tidak mengerti; apa sesungguhnya yang terjadi dengan diriku. Apa kesalahan yang telah aku perbuat. Aku sama sekali tidak merasa bersalah, tetapi mengapa mereka menangkapku.
            Sepanjang perjalanan malam itu, aku tak tenang, apalagi di dalam mobil itu ternyata bukan hanya aku sendiri, tetapi sudah ada orang lain. Aku tidak dapat melihat siapa saja yang ada dalam kendaraan itu, sebab mataku tertutup. Namun aku bisa menduga kalau dalam kendaraan itu lebih dari 4 orang.
            Kami dilarang bercakap-cakap sesama penumpang, harus diam. Kendaraan terus melaju di tengah malam. Angin dingin terasa menerpa kami, namun kami berusaha untuk bertahan dalam kedinginan.
            Harapanku sangat tipis bisa hidup kembali, sebab aku tidak ada kesempatan untuk membela diri. Saat itulah aku membayangkan istri dan anakku yang pastinya akan berduka selamanya, sebab ditinggal suami. Aku teringat anakku yang masih kecil-kecil yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian; mereka akan menjadi anak yatim. Tak terasa  kalau bola mataku sudah basah dengan deraian air mata;membayangkan peristiwa yang akan terjadi. Aku akan mati ditembak.
            Jam 2 malam, kendaraan sudah sampai di kantor Kodim yang ada kawasan Bandung Selatan. Semua  tahanan diturunkan satu per satu. Lalu dikumpulkan di sebuah tempat terbuka. Penutup mata sudah dibuka. Kami merasakan dingin sekali. Ternyata yang ditangkap malam itu, jumlahnya cukup banyak lebih dari 10 orang.
            Beberapa orang diantara mereka, terlihat stress dan wajahnya tegang; mungkin sudah dapat menduga kalau malam itu adalah malam terakhir mereka bernapas. Esok harus mungkin mayatnya sudah di kubur. Kudengar ada yang terus menerus beristigfar dan berzikir, mungkin menyadari kalau nyawa mereka sudah di ujung tanduk.
            Aku sendiri sama seperti tahanan yang lain; hatiku tak menentu. Gugup dan bingung, aku ingin melakukan pembelaan; mengapa aku ditangkap dan apa kesalahan yang telah kuperbuat. Namun tidak mungkin malam itu bisa bicara, sebab tentara yang menangkap memasang wajah yang angker dan menakutkan.
            “Kita bawa mereka  ke daerah Ciwidey…! Di sana periksa dulu satu per satu,” ujar salah seorang diantara mereka. 
            Kami tidak lama dimasukkan kembali ke kendaraan yang agak besar. Lalu kendaraan melaju kearah Ciwidey. Tak dapat kubayangkan; bagaimana perasaan orang-orang yang berada di dalam kendaraan itu. Aku sendiri sudah pasrah dan tidak bisa berbuat apa-apa.
            Sepanjang perjalanan adalah rasa gelisah dan cemas mewarnai hati kami. Kematian rasanya begitu dekat; tidak ada  lagi harapan kami hidup. Kami sudah pasrah menghadapi risiko kematian.
            Aku berusaha menenangkan diri, namun tetap saja gelisah tak menentu menghadapi detik-detik kematian yang tinggal beberapa jam saja. Dalam benakku selalu terbayang wajah istriku dan anak-anakku. Mereka akan kehilangan diriku yang benar-benar sebagai penopang nafkah keluarga.
            Tiba di daerah Ciwidey, kami diperiksa kembali satu per satu. Semua tahanan yang diperiksa dan terbukti ikut sebagai aktivis PKI, langsung saja diikat tanganya ke belakang, kemudian dibawa masuk ke dalam kendaraan. Mata mereka ditutup.
Ketika tiba giliranku diperiksa, komandan yang memeriksa bertanya:
“Betulkah kamu yang bernama Jajang?” tanya tegas.
“Betul, Pak!”
“Apakah kamu pengurus PKI”
“Bukan Pak, aku aktif di PNI?”
“Lho, tetapi mengapa dalam data ini kamu sebagai pengurus PKI?”
“Maaf Pak, selama ini saya tidak  pernah aktif di PKI, saya aktif di PNI yang didirikan Bung Karno. Saya pengagum Bung Karno sebagai proklamator dan pejuang kemerdekaan Indonesia!”
“Tunggu dulu kalau pengakuan kamu begitu! Aku akan cek kembali….!”
Aku duduk dengan perasaan masih diliputi ketegangan, sebab kalau sudah terbukti sebagai pengurus PKI, aku akan langsung dijebloskan masuk ke dalam kendaraan. Tak dapat kubayangkan, bagaimana perasaan orang-orang yang sudah positif sebagai anggota PKI, mereka hanya tinggal menunggu eksekusi.
Tidak lama kemudian, orang yang memeriksa aku sudah kembali ke ruangan pemeriksaan.
“Aduh, Pak! Maafkan kami. Kami telah salah tangkap. Memang benar ada pengurus PKI yang bernama Jajang, namun ternyata bukan di Ciparay Kabupaten Bandung, tetapi di Babakan Ciparay, Kota Bandung,”
Mendengar keterangan itu, hatiku berbunga-bunga dan plong dadaku seperti terbuka. Aku bahagia tidak terkira.
“Alhamdulillah…rupanya Allah Swt, masih melindungi hamba-Nya. Aku selamat tidak dibunuh,” kataku dengan penuh rasa gembira tidak terkira.
“Sekali lagi kami mohon maaf kesalahan tangkap anak buah kami, sebab mereka tidak teliti melihat alamat…”
Aku hanya terdiam saja. Tak terbayangkan, kalau saja pemeriksaan tidak teliti, mungkin aku sudah menjadi mayat. Saat itu, para tahanan yang sudah terbukti sebagai anggota PKI, segera dibawa naik kendaraan menuju daerah Ciwidey. Di sanalah mereka dieksekusi tanpa ada proses pengadilan. Sungguh kasihan!
Malam itu juga, aku bergegas minta pulang meski masih gelap gulita. Aku ingin segera bertemu istri dan anak-anakku. Betapa mereka bahagia kalau aku kembali dalam keadaan selamat.   
Untung saja malam itu, masih ada mobil omprengan yang menuju ke pasar. Aku segera saja naik mobil itu, meski diliputi dengan perasaan hati yang masih tegang. Rasanya ingin aku segera sampai ke rumah dan mengabarkan kepada istriku kalau aku dalam keadaan selamat.
Peristiwa itu sampai sekarang masih terbayang dalam benakku. Aku bersyukur kalau ternyata Allah masih memberi kesempatan kepadaku untuk bisa hidup sampai saat sekarang ini. ***Tamat












Tidak ada komentar:

Posting Komentar