SUATU ketika Nabi Musa bersimpuh dihadapan Allah, beliau mengangkat tangan dan berdoa :”Ya Allah Tuhanku, Ya Ilahi Rabbi, perlihatkanlah kepadaku temanku di surga!”
“Benarkah kamu ingin mengetahuinya?” tanya Allah Swt.
“Benar, aku ingin tahu adakah orangnya yang kelak bisa aku lihat wajahnya di surga,”
“Kalau begitu, kamu datangi sebuah negeri nun jauh diseberang lautan. Datangilah seorang pemuda yang sehari-harinya bekerja di pasar sebagai seorang penjual daging,”
Sesaat Nabi Musa terdiam mendengar ungkapan langsung dari Allah. Jadi aku harus mencari lelaki itu, bisik hatinya. Aku harus menyeberang lautan. Tapi nggak apa-apa, aku ingin tahu siapa lelaki yang kelak nanti bisa kulihat dan bersama-sama dengan dirinya di surga itu.
Esok harinya ketika hari masih pagi, dan matahari belum menampakkan diri, Nabi Musa telah keluar dari rumahnya untuk mencari sosok lelaki itu. Dia berjalan mendekati pantai dan akan naik perahu untuk menyeberang lautan yang cukup jauh.
Perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan hari itu, sehingga hampir menjelang malam, Nabi Musa telah sampai di sebuah perkampungan yang sangat sepi,jauh dari keramaian. Di perkampungan itu, beliau bertemu dengan seorang pemuda miskin, kurus dan berjualan daging di pasar atau mencari kayu di hutan lalu dijualnya di pasar.
Nabi Musa timbul keraguan dalam dadanya, tidak mungkin pemuda ini adalah orang yang selama ini dicari. “Mungkin aku salah,…” bisik hatinya setelah agak lama dia memperhatikan pemuda itu. Kulitnya agak hitam dan rambutnya sedikit keriting. Namun ketika akan meninggalkan pemuda itu,tiba-tiba malaikat Jibril segera datang dan memberi kabar , kalau pemuda itu memang benar yang disebutkan oleh Allah.
“Wah, kalau begitu aku harus menyelidiki, apakah amal yang dikerjakan pemuda itu sehingga bisa aku lihat kelak berada dalam surga!” bisik hatinya diliputi rasa penasaran yang tiada terkira.
Nabi Musa terus memperhatikan pemuda yang tengah berjualan daging dan melayani beberapa orang pembeli. Dia sangat sederhana dalam berpakaian, tidak ada sesuatu yang menonjol dalam pribadinya. Badan tinggi kurus, serta memiliki hidung mancung dan wajah yang oval.
“Bolehkah aku bertamu ke rumahmu, wahai pemuda!” tiba-tiba Nabi Musa berkata setelah terlihat pemuda itu tidak tengah duduk setelah melayani seorang pembeli.
“Oh ya, terima kasih. Silakan kalau bapak ingin bertamu ke rumah saya. Saya seorang miskin dan hanya bekerja sebagai penjual daging. Aku akan bawakan daging, kalau bapak bersedia untuk dimakan, makanlah daging itu!”
Nabi Musa menganggukkan kepala dan berterima kasih atas tawarannya. Pemuda itu mengajak Nabi Musa ke rumahnya yang tidak terlalu jauh dari pasar. Tidak banyak pertanyaan yang diajukan oleh pemuda itu terhadap Nabi Musa, apalagi dia nampaknya seorang yang tidak suka banyak bicara.
“Silakan tidur di kamar yang sebelah. Tempatnya sangat sederhana, tidak ada ranjang yang bagus, selain ranjang kayu yang sudah tua,” ucapnya.
“Terima kasih, kamu sangat baik sekali…”
“Aku akan masak daging buat bapak ya!:
“Jangan merepotkan, biar saja, aku sudah bawa perbekalan dari rumah,”
Pemuda itu lalu meninggalkan Nabi Musa di sebuah kamar yang berukuran kecil. Tetapi Nabi Musa penasaran ingin tahu apakah kegiatan yang selanjutnya dilakukan oleh sang pemuda itu.
Nabi Musa memperhatikan gerak-gerik yang dilakukan pemuda itu. Dia membersihkan rumah, membereskan semua yang ada di rumah itu. Lalu memasak daging yang tadi dibawa. Terlihat juga dia sedang mempersiapkan makanan.
Nabi Musa melihat pemuda itu lalu masuk ke dalam kamar yang satunya lagi. Tiba-tiba dia keluar lagi dengan memboyong seorang nenek yang sudah sangat tua, badannya kurus dan rambutnya sudah memutih semuanya.
Anak muda itu lalu menyuapi makanan kepada nenek tua itu dengan penuh rasa kasih sayang, kemudian selesai memberi makanan lalu dibersihkan badannya dan diganti bajunya. Pemuda itu sangat telaten dan tidak ada keluhan sedikit pun dari mulutnya. Ia sabar menghadapi ibu yang sudah sangat tua itu. Selesai merawat ibunya, Nabi Musa melihat kalau ibu itu bibirnya bergera-gerak, entah apa yang sedang diucapkan, tidak dapat didengarnya.
Selesai mengurus ibu itu, dia lalu mendekati Nabi Musa yang tengah duduk untuk sekedar menemani dan mengajaknya berbincang-bincang. Tapi kemudian, Nabi Musa langsung bertanya:
“Wahai pemuda, apa yang kamu lalukan tadi? Dan siapakah ibu yang sudah tua itu?”
Pemuda itu menatap Nabi Musa, lalu berceritera:
“Wahai tamuku yang mulia, aku di sini bersama ibuku yang sudah sangat tua. Dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa, maka akulah yang selalu memberi makan dan membersihkan badan serta menggantikan pakainnya. Itulah pekerjaan, aku kasihan ibuku!” ucapnya.
“Subhanallah…jadi yang tadi kamu urus itu adalah ibu kandungmu?”
“Benar…!”
“Tapi tadi kulihat bibirnya bergerak-gerak seperti mengucapkan sesuatu!”
“Memang benar, setiap selesai kuberi makan dan kubersihkan badannya, dia lalu berdoa kepada Allah dengan ucapan : “Ya Allah, jadikanlah putraku kelak bersama-sama Rasul-Mu, Nabi Musa…di surga selama-lamanya” itulah setiap hari doanyanya.
Nabi Musa tersentak. Jadi kalau demikian, tidak salah kalau pemuda ini adalah penghuni surga sebab dia berakhlak mulia mengurus ibunya yang sudah sangat tua.
“Wahai anak muda, pernahkah kamu dan ibumu bertemu dengan Nabi Musa?” Tanya Nabi Musa seraya menatap pemuda itu.
“Aku belum pernah…hanya kudengar beliau adalah seorang Rasul yang agung dan mulia, kami ingin sekali bertemu!”
Nabi Musa tersenyum. Lalu beliau berkata,
“Wahai anak muda, ketahulah akulah Nabi Musa yang akan menjadi temanmu di surga kelak karena amal kebaikan yang kamu lakukan…!”
Betapa kaget dan terbelalak mata pemuda itu. Langsung saja dia merangkul kepada Nabi Musa, karena sangat bahagia bisa bertemu dengan seorang utusan Allah, yang selama ini sangat dirindukan baik oleh dirinya maupun ibunya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar