KETEGARAN seorang istri yang tiada duanya. Selama 9 tahun mendampingi suami yang jatuh sakit stroke. Kesabaran dan telaten merawat suaminya telah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Kisah nyata ini dialami oleh Ny. Lilis yang sampai sekarang masih setia merawat suaminya dalam keadaan tergolek lemah.
RASANYA aku ingin sekali suamiku sembuh dan bisa berjalan sebagaimana biasanya. Namun harapan itu semakin punah, ketika berlalunya hari demi hari keadaan suami semakin mencemaskan. Badannya yang tinggi besar dengan wajahnya yang tampan, semakin mengecil dan sekarang tinggal tulang yang dibungkus kulit. Ia tidak berdaya terbaring di ranjang dengan kondisi yang sangat lemah. Hari-hari dihabiskan dengan derai air mata dan menahan rasa sakit yang kerapkali menyerang dirinya. Aku kasihan sekali, kalau dia sudah menangis menahan sakit dan berteriak-teriak. Aku pun tak kuasa melihatnya, aku pun menangis.
“Mah, aku sangat sakit sekali!” keluhnya saat aku sedang berada di dapur hendak memasak. Aku pun bergegas mendekatinya dan memegang kakinya yang sakit. Aku mengusap-usapnya dengan penuh rasa kasih.
“Pah, harus sabar menghadapi ujian berat ini...” kataku menghibur. Kata sabar mungkin sudah ratusan kali aku ucapkan kepadanya, sebab tidak ada lagi kata lain menghadapi orang yang sedang sakit, kecuali ucapan itu. Namun terkadang aku juga tidak sabar menghadapi suami, apalagi kalau dia sudah marah-marah, aku tak kuasa menangis dan segera berlalu meninggalkan dia. Dia pun berteriak-teriak memanggilku dengan suara parau. Kalau sudah begitu aku sangat kasihan sekali, maka aku pun mendekatinya.
Aku kasihan melihat keadaan fisiknya yang menurun drastis. Ia kerapkali sudah berputus asa menghadapi penyakit yang tak kunjung sembuh. Semua dokter dan pengobatan alternatif sudah didatangi, uang pun habis sudah mencapai ratusan juta rupiah, tetapi keadaan suamiku tidak ada perubahan. Aku pasrah menghadapi keadaan yang sangat pahit ini. Siapakah orang yang sanggup menghadapi ujian seberat ini?
Masih terbayang dalam benakku, suamiku sudah ada 6 bulan berada di Bandung, dia bekerja di Riau sebagai salah seorang manajer hotel berbintang ternama di kota itu. Gaji yang diperoleh sangat besar. Dia pulang ke Bandung hanya 6 bulan sekali atau bahkan setahun sekali. Uang yang dikirim kepadaku selalu besar, namun terus terang saja aku merasa tidak enak, sebab jauh dari orang yang kucintai.
Aku sendiri pernah menginginkan untuk ikut ke Riau, namun dia melarangku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, namun belakangan aku merasa tidak enak dan tercium gelagat yang tidak baik, aku mulai berprasangka kalau suamiku mempunyai simpanan wanita lain. Aku berusaha untuk sabar menghadapi suamiku.
Watak suamiku memang agak keras dan kerap ingin menang sendiri. Egonya sangat tinggi, sehingga terkadang kalau marah, tangan kanannya akan sangat mudah melayang ke wajahku. Aku sudah kesal kalau sudah diperlakukan begitu. Aku pun suka melawan dengan menyerangnya, tetapi apalah daya kekuatanku sangat terbatas, sehingga aku tak bisa berbuat apa-apa.
Kalau sudah bertengkar dan berkelahi, maka aku yang menjadi bulan-bulanan dan keadaan badanku sakit serta mukaku bengkak-bengkak, bekas tamparan dan pukulan yang bertubi-tubi. Untung saja ibuku segera membawaku berobat dan aku ditangani dokter yang sudah biasa menanganiku.
Berulangkali aku mengajukan cerai dan berpisah kepada suamiku karena tidak tahan diperlakukan seperti itu.Namu setelah dipikir mendalam, aku kasihan kepada anak-anakku yang sangat membutuhkan kasih sayang kedua orangtuanya. Anakku 4 orang adalah hasil buah pernikahan kami. Dua laki-laki dan dua orang perempuan. Mereka menjadi kebanggaan keluarga karena ditakdirkan mereka memiliki wajah yang cantik dan ganteng.
Selama berumah tangga dengan suamiku, terus terang saja aku banyak suka dukanya. Namun kuakui aku memang seorang istri yang royal dan senang jalan-jalan. Ketika suamiku memperoleh gaji dari perusahaan tempat bekerja, aku selalu foya dan membeli berbagai makanan yang enak atau membeli baju dan pakaian yang aku sukai. Aku tidak berpikir untuk masa depan, yang penting saat sekarang aku merasa puas dengan uang yang kumiliki.
Gaji suamiku tergolong besar untuk ukuran waktu itu, apalagi dia bekerja di sebuah hitel ternama di Kota Bandung. Bahkan dengan gaji itu sebenarnya aku bisa menabung atau membeli tanah, namun aku lebih senang dipergunakan untuk kesenangan sesaat.
Salah satu sifat suamiku adalah tidak merasa betah bekerja lama-lama di sebuah perusahaan. Dia selalu ingin mencari gaji yang lebih besar dari saat sekarang. Itu sebabnya, dengan jabatan yang cukup tinggi dan menguasai Bahasa Inggris secara fasih, suamiku tidak sulit pindah bekerja, malahan banyak teman-temannya yang meminta untuk memimpin sebuah departemen. Dia tidak membuang kesempatan, apabila ada perusahan hotel yang memberi gaji besar, maka ia akan segera keluar dan melamar sebagai karyawan baru.
Memang uang tidak sulit diperoleh, apalagi dengan kemampuan berkomunikasi bahasa Inggris. Begitu pula ketika dia berkeinginan untuk bekerja di sebuah hotel di Saudi Arabia, karena gaji per bulannya berlipat-lipat dibandingkan dengan di Indonesia, maka dia segera pindah ke luar negeri.
Sebagai istri, aku tidak bisa mencegah dan menghalangi-halangi keinginannya. Aku hanya manut saja terhadap keinginan suamiku. Pernah suatu ketika aku menyampaikan keinginanku agar bekerja tidak berpindah-pindah, namun jawabannya sangat sederhana,
“Buat apa bekerja kalau gajinya kecil, kalau ada yang lebih besar, pindah saja!. Bukankah bekerja itu untuk mendapat uang yang besar?” katanya. Aku tak bisa membantah, karena aku hanya seorang ibu rumah tangga, yang hanya sekedar menerima gaji dari suamiku setiap bulannya.
Memang dalam masalah keuangan, suamiku tidak pelit, dia dengan mudah memberikan seluruh gajinya. Kalau minta, hanya untuk keperluan rokok atau membeli bahan bakar minyak. Dia terbuka dalam masalah keuangan, tidak ada yang disembunyikan.
Ketika bekerja di luar negeri, yaitu di Saudi Arabia, uang gajian setiap bulannya sangat besar yang membuat aku bahagia. Aku pergunakan untuk membeli perhiasan atau membeli perabot rumah tangga. Seminggu sekali, suamiku mengirim surat mengabarkan kondisi pekerjaan dan suasana di tanah suci. Dia pun sempat melaksanakan rukun Islam yang kelima yaitu menunaikan ibadah haji. Aku tentu saja senang mendengar kabar itu. Aku berharap, setelah kepulangan dari Saudi Arabia mengalami perubahan, paling tidak menjaga diri agar tidak ringan tangan kepadaku sebagai istrinya.
Tidak terasa selama kontrak 2 tahun bekerja di Hotel Saudi Arabia, akhirnya terlewati juga. Meski pihak perusahaan menawari kembali untuk bekerja kembali, namun suamiku menolak dan ingin pulang ke kampung halaman. Dia ingin berkumpul bersama keluarga.
Uang yang diperoleh selama bekerja di luar negeri dimanfaatkan untuk investasi kalau sudah tua, begitu kata suamiku, maka uang yang banyak itu dibelikan beberapa rumah dan tanah serta perhiasan yang berharga. Di samping juga, menabung untuk bekal pendidikan keempat anakku yang mulai beranjak dewasa. Hidupku merasa tenang, karena aku menyiapkan bekal masa depan untuk keluargaku.
Sepulang dari Saudi Arabi, beberapa minggu suamiku mencari lowongan pekerjaan di Bandung. Tidaklah sulit bagi suamiku untuk bekerja di hotel, walau gajinya tidak sebesar di Saudi Arabia. Namun, rupanya dia tetap mencari gaji yang lebih besar lagi. Namun entah bagaimana ceriteranya, kalau suatu ketika suamiku ingin bekerja di Riau karena disitu ada hotel yang baru dibuka dan membutuhkan tenaga seorang manajer umur dengan gaji yang sangat besar.
Suamiku tidak membuang kesempatan itu, maka ia pun mengajukan lamaran dan diterima langsung, karena ternyata pemilik hotel itu sudah mengenalnya. Sebenarnya aku agak keberatan harus berpisah kembali.
“Pah, kapan berkumpul bersama-sama dengan istri dan anak-anak, apakah papih tidak capai nanti bekerja di sana?” tanyaku saat beberapa hari akan berangkat ke Riau.
“Kalau tidak bekerja, darimana kita dapat uang?”
“Bukankah selama ini juga Papih bekerja, gaji yang diperoleh lumayan buat kebutuhan sehari-hari?”
“Tapi gaji sekarang ‘kan sangat kecil sekali. Mamah sendiri, suka kekurangan uang, makanya aku harus bekerja diluar Jawa!”
“Tadinya sih, aku lebih senang Papih bersama-sama ada di sini, berkumpul bersama mamah dan anak-anak, tapi kalau memang keinginan Papih begitu, aku tidak bisa berbuat apa-apa!”
“Mungpung aku sehat dan masih dipercaya untuk memegang jabatan manajer di perusahaa, yah kita manfaatkan sebaik-baiknya, nanti juga kalau aku sudah capai dan tidak kuat lagi bekerja, aku akan menerima mamah di rumah,”
Aku hanya menarik napas dalam-dalam. Sebenarnya dalam hatiku, aku keberatan suamiku kembali harus meninggalkan aku bersama anak-anak di rumah. Aku menginginkan bekerja di perusahaan yang sekarang sedang dijalani, namun suamiku memang sangat ambisi mencari gaji yang lebih besar.
Aku hanya bisa mendoakan tatkala akhirnya suamiku pergi juga meninggalkan rumah untuk mencari nafkah di Pulau Riau. Menurut suamiku, dia sudah diberi rumah dinas yang tidak jauh dari perusahaan. “Mamah di Bandung saja sampai anak-anak menyelesaikan sekolah. Papih akan mengirimkan uang ke bank, nanti mamah tinggal mengambil sewaktu-waktu ada kebutuhan,” ucapnya. Aku hanya menganggukkan kepala.
Sejak ditinggalkan suami, aku merasa kesepian dan tidak ada gairah, selain pekerjaan rutin sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Aku terkadang menghabiskan waktu dengan bermain bersama teman-teman atau di rumah menonton film yang kusukai. Namun tetap saja, bila malam tiba aku seringkali ingat kepada suamiku, aku merasa kehilangan dia dan ingin bersama.
Setelah beberapa lama berada di Riau, aku pernah menelepon dan meminta agar aku ikut bersama dia, tetapi dia tidak setuju dan memarahi aku. Aku hanya menangis ketika dimarahi dan tetap ngotot aku ingin tinggal bersamanya.
“Tapi bagaimana dengan anak-anak yang masih sekolah? Masa akan pindah ke sini!” tanya suamiku.
“Pindahkan saja ke Riau, apa susahnya?” kataku ketus. Aku kesal karena suda beberapa kali aku meminta agar ikut bersamanya, dia selalu menolak. Hal tersebut membuat aku tanda tanya dan menimbulkan kecurigaan.
Aku tak dapat berbuat apa-apa dengan keputusan suami yang tidak mau bersamaku. Sebagai seorang wanita yang tajam perasaannya, aku sudah mencium gelagat yang tidak baik. Memang secara kasat mata, aku belum pernah melihat suamiku bersama dengan wanita lain. Namun dalam hatiku ada saja kecurigaan kearah sana. Masalahnya bukan apa-apa, suamiku bekerja dalam lingkungan yang sangat mendukung untuk menyeleweng atau bermain wanita.
Pikiran jelek senantiasa menghantui perasaanku. Aku pun senantiasa bertanya-tanya; dalam hubungan biologis, lelaki mana yang mampu bertahan selama berbulan-bulan tidak berhubungan dengan istri? Nafsu biologis merupakan kodrat ilahi yang sulit untuk dihindari oleh siapapun. Itu karenanya, diam-diam aku menyimpan rasa curiga yang tak dapat kuungkapkan. Aku hanya memendam saja dalam hatiku. Habis mau apalagi? Toh suamiku tidak mau didampingi selama berada di perantauan.
Selama tidak ada suami, aku bebas bermain ke sana kemari, tidak ada yang melarangku. Aku selalu menghabiskan waktu dengan jalan bersama anak-anak atau pergi ke tempat-tempat wisata. Ada kecemburuan dalam hatiku, kalau aku tengah berjalan-jalan aku melihat sepasang suami istri yang berjalan mesra, mendadak saja emosiku muncul tak terkendali. Aku iri sekali melihat mereka bisa bersama-sama? Aku sering memalingkan wajah dan menghindar untuk berlama-lama menyaksikan sepasang suami istri yang sedang berjalan bergandengan.
Selama lebih lima tahun, suamiku berada di perantauan. Dia pulang ke Bandung setahun sekali terutama saat akan mendekati hari raya. Aku menerimanya dengan tangan terbuka. Selama berada di rumah, suamiku sering mengajak jalan-jalan. Kami menghabiskan waktu dengan bersenang-senang.
Pernah suatu ketika, aku mengungkapkan keinginanku agar dia bekerja lagi di Bandung dan tidak perlu lagi pergi ke Riau, kukira wajar-wajar saja aku berkata demikian, namun ternyata diluar perkiraan dia marah-marah dan tidak menerima keinginanku. Aku tidak mau kalah dan balik menyerang suamiku, sehingga terjadi debat kusir yang tidak ada ujungnya, kami sama-sama merasa benar sendiri. Akhirnya, prasangka yang selama ini terpendam dalam hatiku, terlontar dari mulutku.
“Terus terang saja, kalau Papih sudah mempunyai istri muda, jangan berbohong dan menutup-nutupi!” kataku dengan linangan air mata.
“Apa kamu bilang? Apa buktinya aku mempunyai istri lagi. Kamu jangan berkata begitu, aku tidak suka?”
“Kalau begitu mengapa Papih tidak mau kalau aku ikut bersama ke sana, aku kan istrimu?”
“Tapi anak-anak di sini dengan siapa? Pokoknya kamu tetap saja di sini, minggu depan aku akan berangkat lagi!”
“Pokoknya aku tidak rela kalau Papih berangkat lagi! Sampai kapan Papih akan meninggalkan aku? Aku ingin Papih berada di rumah dan menikmati masa tua di sini!”
Suamiku tidak menghiraukan aku. Dia tidak peduli dengan keinginanku. Aku hanya terisak-isak menangis. Aku tidak ingin kesepian berada di rumah, aku ingin suamiku selalu berada di sisiku. Aku tidak mau malam-malam ketika terbangun, tidak ada orang yang kucintai berada di sisiku.
Diam-diam aku suka memperhatikan suamiku saat menerima telepon dari luar. Biasanya kalau ada telepon, ia bergegas menjauhiku dan berbicara lama sekali. Aku tidak tahu siapa lawan bicara suamiku? Ketika aku tanyakan, dia hanya menjawab kalau itu adalah bos di perusahaan yang menanyakan suatu masalah. Suatu malam ketika suamiku sudah tertidur pulas, telepon genggamnya aku periksa, ternyata banyak SMS yang membuat darahku mendidih, apalagi dalam SMS itu terungkap kata-kata mesra dari seorang perempuan yang membuat aku marah besar.
Semalaman aku tidak bisa tidur, memikirkan SMS kubaca selamalam. Aku semakin yakin dengan kecurigaanku selama ini, kalau suamiku memiliki lagi istri muda. SMS itu merupakan barang bukti yang tidak bisa dibantah lagi. Sebelum keberangkatan ke Riau, aku akan menanyakan siapa wanita yang selalu SMS ke telepon selulernya. Apapaun reaksinya akan aku hadapi. Aku ingin kejujuran dan keterusterangan suamiku. Kalau memang sudah memiliki istri muda, lebih baik berpisah saja denganku, toh buat apa hidup kalau aku harus dimadu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar