Kisah ini dialami oleh Anwar (51 tahun), sopir antarpropinsi Jawa-Sumatera. Suatu ketika tanpa diduga ia harus berurusan dengan polisi karena ada kiriman barang yang ternyata barang itu adalah narkoba. Ia terpaksa diintererogasi polisi karena diduga sebagai kurir. Meski sudah berulangkali mengelak, namun polisi itu sempat menahan dan minta jaminan. Untung saja ia, ia mempunyai nomor HP pemilik barang itu, sehingga dengan polisi berusaha mencari pemilik barang haram itu. Bagaimana kisah selanjutnya, Kuswari mengisahkannya:
SEBAGAI sopir bus antanpropinsi Jawa-Sumatera sudah terbiasa menerima titipan barang untuk disampaikan ke Medan. Ketika itu, aku menerima titipan barang yang terbungkus kardus dan plastik secara rapi dari bagian administrasi perusahaan, lalu kusimpan tidak jauh dari tempatku menyetir. Jelas disitu tercantum nomor HP pemilik barang itu. Aku sendiri sudah memegang alamat yang akan kutuju. Aku hapal alamat itu. Tugasku hanya mengantarkan barang itu, nanti di tempat itu akan ada yang mengambilnya. Kurasa tugasku sangat ringan dan sudah terbiasa mengantarkan barang seperti itu.
Kupikir barang itu biasa-biasa saja, paling juga kaset atau VCD, aku tidak memikirkan lebih jauh tentang barang itu. Tak kukira barang itu menjadi malapetaka yang sama sekali tidak terlintas dalam benakku. Selama perjalanan aku tenang-tenang saja, toh aku sudah terbiasa mengantarkan barang semacam itu. Minggu yang lalu saja aku mengantarkan barang yang lebih besar dari itu.
Sebagai sopir aku sudah terbiasa dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi. Ketika kendaraan bus sudah masuk ke wilayah Medan, waktu sudah sore, di ujung jalan kulihat ada beberapa orang polisi yang berdiri, tengah memeriksa. Rupanya polisi di Medan sedang merazia semua kendaraan dan memeriksa barang yang dibawa setiap penumpang. Aku tenang saja, sebab razia sudah biasa lagi buatku.
Ketika dua orang polisi berseragan masuk ke dalam kendaraan, mereka langsung memeriksa semua penumpang dan membuka barang-barang di bawa. Menurut mereka, pemeriksaan ini harus dilakukan secara ketat karena dari Jawa banyak sekali narkoba yang beredar di Medan.
Cukup lama dua orang polisi itu memeriksa semua barang yang ada pada penumpang. Meski kesal harus menunggu, namun aku sabar. Ketika dia mendekati kearahku, salah seorang polisi yang masih muda menanyakan barang yang disimpan tidak jauh dariku,
“Coba lihat barang itu…itu barang siapa?” tanya polisi seraya menunjuk kepada barang titipan yang akan aku sampaikan.
“Barang titipan Pak, akan aku sampaikan kepada nomor HP ini,” kataku seraya menunjuk nomor yang tercantum di situ. Aku memberikan barang itu.
“Aku periksa dulu barang itu,” kata polisi seraya membawa barang itu keluar bus. Aku tenang saja, tidak ada kecurigaan sedikit pun. Lama aku menunggu barang itu. Sementara para penumpang sudah mulai kesal dan gelisah, karena pemeriksaan berlangsung cukup lama.
Tiba-tiba polisi yang membawa barang itu naik ke bus dan meminta agar aku mengikuti ke kantor polisi,
“Lho memangnya ada apa Pak?” aku heran dan tidak mengerti.
“ Kamu harus diperiksa dulu, ayo kamu ikut aku ke kantor polisi,” ucapnya. Aku pun segera mengikuti polisi turun dari bus. Aku tidak merasa curiga sedikit pun. Sudah biasa aku berhadapan dengan polisi, bukan satu kali ini saja.
Aku dibawa ke kantor polisi, sementara kulihat para penumpang gelisah ingin segera berangkat.
Di kantor polisi, aku diinterogasi secara mendalam.
“Darimana kamu mendapatkan barang itu?” tanya polisi seraya menatapku tajam sekali dan kesan yang kutangkap ada kecurigaan terhadapku.
“Aku hanya mengantarkan barang itu dari perusahaan…nomor HP nya kan ada di situ,”
“Coba kamu hubungi nomor HP ini dan hubungi pula kantor perusahaan kamu…kamu terpaksa ditahan di sini,”
“Memangnya barang itu apa sih Pak?” aku penasaran ingin tahu barang itu.
“Barang ini sangat berbahaya. Barang ini narkoba!” katanya.
Seketika aku hanya bengong, mataku terbelalak, nyaris tidak percaya apa yang dikatakan Polisi barusan. Narkoba, wah urusan dengan narkoba akan menjadi masalah besar bagiku, bahkan aku terus ditanya mendetail tentang barang itu.
“Pak aku akan menelepon HP yang tercantum di barang itu. Aku bersumpah, itu milik yang punya HP ini,” kataku seraya menelepon pemilik barang itu. Beberapa kali aku kontak namun tidak diangkat-angkat, tentu saja aku cemas dan ketakutan, sebab kalau tidak ada yang mengakui barang itu, maka aku akan menjadi tersangka sebagai pembawa barang itu.
Polisi menatapku saat aku sedang mengontak pemilik barang itu. Beberapa kali aku menghubungi, tidak ada jawaban, baru kemudian setelah agak lama, kontakku tersambung dengan pemilik barang itu. Aku gembira, sebab dengan jawaban itu aku sudah dapat memberikan argumentasi yang kuat bahwa barang itu bukan milikku atau aku sebagai kurir.
“Pak dimana aku sampaikan barang ini?” tanyaku.
“Oh..ya..ya nanti akan ada yang mengambil. Berhenti saja di sebuah jalan Gatot Subroto dekat perempatan yang agak sepi…nanti akan ada yang mengambil!” kata suara di HP ini. Aku segera mencatat alamat secara lengkap, lalu kuberikan kepada polisi.
“Nah kalau begitu, maka aku akan menyamar untuk menangkap pemilik barang itu bersama-sama dengan kamu. Namun kamu tetap harus menyimpan jaminan ke polisi uang sebesar lima juta rupiah…” katanya.
Aku tak bisa menolak, terpaksa aku menyampaikan hal itu kepada pimpinan bus yang ada di Bandung. Pimpinan rupanya memahami kondisi yang dihadapi olehku, sehingga menyetujuinya, daripada bus akan diamankan di kantor polisi dan penumpang disuruh turun.
Semua penumpang nampak marah, namun polisi segera memberitahukan kalau masalah yang dihadapi oleh sopir sangat berat, sebab membawa barang yang dilarang pemerintah. Setelah ada penjelasan dari polisi, maka kendaraan bus bisa melaju kembali .
Polisi mengikuti dari belakang dengan kendaraan kijang, sementara barang itu dibungkus rapih kembali dan di simpan di tempat semula. Kendaraan terus melaju ke terminal yang ada di Medan yang jaraknya masih sangat jauh.
Di Terminal semua penumpang turun. Aku segera melajukan kembali kendaraan menuju sebuah tempat untuk menyampaikan barang haram itu. Aku menjadi kesal dan marah, sebab barang itu menjadi masalah yang runyam.Kalau tidak ada yang mengambil terhadap barang itu, sudah dipastikan aku akan dituduh sebagai tersangka dan harus berhadapan dengan huku,
Selama perjalanan aku terus berdoa, agar pemilik barang ini mengambilnya di tempat yang sudah disebutkan tadi. Kulihat dibelakang polisi yang berpakaian preman terus mengintaiku. Mereka tampak sangat waspada, apalagi ketika aku turun di sebuah perempatan jalan yang agak sepi. Aku kembali menelepon, dan langsung ada jawaban untuk menunggu di jalan itu, sebab akan ada yang mengambil.
Aku berdiri di sebuah jalan. Memang waktu sudah hampir malam dan jarang sekali ada kendaraan yang lewat. Aku menunggu dengan berdebar-debar sebab kalau barang itu tidak ada yang memgambil, maka risikonya akulah yang harus ditahan.
Lama sekali aku menunggu di tempat itu dengan perasaan gelisah. Kulihat beberapa kali polisi di kendaraan kijang terus mengawasiku dengan cermat. Dua orang polisi berpakaian preman itu sudah bersiap-siap akan menangkap yang mengambil barang itu.
Tidak lama kemudian, ada dua orang perempuan masih muda mengenakan kerudung mendekatiku dan menanyakan barang yang dimaksud. Aku gembira melihat kedatangan mereka. Segera saja aku berikan barang itu setelah terlebih dahulu seorang wanita menandatangani tanda terima.
Selesai menandatangani, dua orang polisi rupanya sudah bersiap-siap sejak tadi. Maka ketika aku sudah memberikan barang itu dan dua wanita itu akan pergi, langsung saja kedua polisi mengangkat pistol. Kedua wanita itu langsung shock dan tubuhnya bergetar ketakutan, wajahnya pucat pasi menghadapi dua orang polisi yang sama sekali tidak terduga itu.
Aku kasihan melihat dua orang wanita itu. Masih terlihat kedua wanita itu tak berkutik tatkala polisi menangkapnya. Mereka tak bisa berkata apa-apa, sebab barang bukti narkoba sudah ada ditangannya. Aku bergegas naik ke bus, dan segera menghidupkan kendaraan untuk kantor polisi mengambil uang jaminan dan berita acara tentang narkoba.
Tiba di kantor polisi, aku segera menghadap bagian narkoba untuk menyelesaikan masalah barang yang sudah diantarkan. Namun pihak polisi tidak segera memberikan uang jaminan, malah menyuruh aku untuk segera saja ke Bandung.
“Uang jaminan, nanti saja diselesaikan, sebab kamu harus menjadi saksi atas barang narkoba itu. Nanti kamu akan mendapat surat panggilan sebagai saksi,” katanya. Aku tak bisa berkata apa-apa. Hari itu juga aku bergegas kembali ke Bandung, setelah Polisi meminta foto copy KTP dan menulis namaku dan alamat perusahaan bus.
Rasanya aku lega sekali sudah terbebas dari masalah yang sangat berat dan menyulitkan. Tak dapat kubayangkan, bagaimana kalau barang itu tidak ada yang mengambil, maka aku dituduh sebagai tersangka pemilik barang itu dan urusannya menjadi panjang.
Istriku kaget ketika kuberitahukan kalau aku sudah berurusan dengan polisi karena mengirimkan barang yang isinya narkoba. Setelah kujelaskan, ia nampak kembali tenang. Bukan apa-apa, istriku paling kapok harus berurusan dengan pihak aparat, termasuk juga aku.
Sungguh gembira, aku tak dapat panggilan dari polisi sebagai saksi, aku sangat beruntung, sebab aku malas untuk datang lagi ke Medan, apalagi jarak antara Bandung-Medan, bukan jarak yang dekat. Sementara itu, uang jaminan sebesar lima juta rupiah, tidak diketahui rimbanya, terpaksa aku mengganti setengahnya kepada perusahaan. Aku masih tetap beruntung, sebab kalau harus menjadi saksi, urusannya menjadi berabe. Biar saja aku menggantikan, yang penting aku terbebas berurusan dengan polisi masalah narkoba.
Kejadian itu membuat aku lebih berhati-hati mengantarkan barang yang akan kuantarkan. Aku kapok harus berurusan dengan kepolisian menyangkut narkoba, sebab masalahnya akan menjadi panjang dan hidupku tidak akan tentram. ***Tamat
Kisah ini dialami oleh Iteng (45 tahun) sebagai seorang sopir yang mengantarkan barang-barang ke Jakarta. Namun suatu malam, di daerah Karawang ia yang tengah menyopir disetop oleh seseorang yang meminta tolong. Niat baik berujung pertaka, sebab ternyata yang ditolong itu adalah salah seorang perampok yang membawa kawan-kawan. Dia dirampok oleh 5 orang penjahat dan dibuang ke sungai dalam keadaan tangan terikat. Kernetnya meninggal dunia karena dilemparkan ke sungai yang cukup dalam. Berikut kisahnya diceriterakan oleh Kuswari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar