Mang Haji Dira di Kadungora tergolong yang kaya raya se-kecamatan. Semua orang di kadungora mengenal sosoknya. Dia adalah adik ibu yang boleh dikata satu-satunyha yang diberi kelebihan harta benda, sehingg istrinya yang dulu PNS, mengundurkan diri jadi guru SD. Bersama suaminya mengelola usaha toko bahan-bahan bangunan. Berkat ketekunan dan kerja keras, usahanya semakin berkembang pesat. Anaknya pun bertambah menjadi 9 orang yang masih kecil-kecil. Segala kebutuhan anaknya dipenuhi dan disiapkan rumah satu per satu.
Entah karena kecapaian atau melahirkan anak terlalu banyak, sehingga istrinya jatuh sakit berkepanjangan. Berobat ke dokter dan sempat dirawat di rumah sakit selama beberapa hari lamanya, namun tidak ada kabar. Tahu-tahu ada kabar yang mengejutkan, kalau Bi Yayah meninggal dunia, maka kami pun bergegas ke sana. Kasihan anak-anaknya yang masih kecil, mereka menangis histeris ditinggal ibu kandungnya. Sementara Mang Haji pun tak kuasa menahan air mata, menangis terisak-isak.
Ditinggal istri, bagaikan burung yang kehilangan sayap, kasihan kepada anak-anaknya yang sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Tidak ada jalan lain kecuali mencari pasangan hidup yang bisa mengerti tentang dirinya. Maka menikahkah dengan seorang janda. Namun usia pernikahannya tidaklah lama karena ada ketidakcocokan diantara mereka, akhirnya mereka berpidah. Mang Haji menikahi janda mantan istri seorang ustad, berasal dari Tasikmalaya yang sangat cocok dan bisa membimbing anak-anaknya.
Belakangan ternyata Mang Haji pun terkena stroke ringan, yang harus mendapat perawatan intensif ke dokter. Boleh jadi, masalah yang dihadapi cukup berat terutama menghadapi anak-anak yang tumbuh dewasa, dengan segala macam keinginan yang harus dipenuhi, sementara usaha yang tengan dirintis sedikit demi sedikit tergerogoti dan yang namanya usaha ada masanya jaya dan saatnya kritis. Berulang kali ke dokter untuk kesembuhan stroke ringannya, ada kemajuan yang cukup menggembiarakan, sehinnga tubuhnya bisa kembali normal dan merasa sudah ada peningkatan. Rupanya selama 3 bulam tidak pernah kontrol lagi ke dokter, padahal kontrol seharusnya dilakukan sebulan sekali.
Maka suatu malam, saat akan tidur malam mendadak tubuhnya tidak bisa digerakkan, sekujur tubuh terasa kaku. Dia hanya bisa mengeluh kesakita, istrinya kebingungan menghadapi peristiwa yang diluar dugaan. Beberapa kali ia mencoba memegang badan suaminya, tetapi sama sekali kaku dan hanya bisa mengeluh. Meski beberapa kali untuk membangunkan, namun Mang Haji sudah tidak berdaya lagi, akhirnya dia memanggil anak-anaknya yang sedang tertidur. Tentu mereka semua kaget melihat bapaknya sudah tidak berdaya.
Malam itu juga, langsung dibawa ke rumah sakit terdekat di Garut, namun dokter sudah angkat tangan untuk menangani dan harus dirujuk ke Bandung, maka dibawa saja malam itu juga ke RS Islam Jl. soekarno-hatta. Kondisinya sudah kritis. Ketika tiba di RS dibawa ke ruang ICU. Doklter pun sibuk menangani pasien yang kritis.
Sampai esok harinya, ternyata Mang Haji tidak sadarkan diri berbaring di rumah sakit dalam keadaan lemah tergolek. Nampaknya keadaan semakin terus memburuk dan tidak ada harapan hidup lagi. Napasnya sudah turun naik dengam pelan sekali. Alat oksigen di mulutnya hanya sebagai alat pembantu yang sewaktu-waktu bisa dicabut kalau napasnya sudah berhenti.
Akhirnya kondisi Mang Haji semakin kritis dan nyawanya tidak dapat diselamatkan. Usianya yang baru menginjak 58 tahun tak dapat lagi menikmati kekayaan yang selama ini dikumpulkan. Dia meninggalkan toko bahan bangunan dan beberapa rumah di daerah Kadungora. Hartanya menjadi warisan anak-anaknya.
Itulah hidup, suami istri itu dikubur berdampingan meninggalkan 9 orang anak dan tanah, rumah serta kekayaan lain. Semoga menjadi pelajaran berharga akan makna hidup di dunia. Mereka telah berjuang membesarkan anak-anaknya dan apa yang diperjuangkan harus ditinggalkan dalam kesunyian dan kesepian.*** 3 Februari 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar