Pak Mumin namanya, tinggal di Gg. kecil tidak jauh dari mesjid Baiturahman. Sudah berusia tua, namun masih tekun berjualan kelontong yang ditanggung sendiri. Harganya hanya Rp 500 sampai Rp 1000. Biasanya dia berkeliling jalan kaki menjajagan dagangannya ke tiap-tiap orang yang berminat. Saat habis dagangannya betapa wajahnya ceria, namun ketika pulang ke rumah masih tersisa, hatinya terenyuh. Di rumahnya, istri dan anaknya menunggu.
Namun yang membuat hati Pak Mumin terpukul ialah anaknya yang laki-laki depresi dan sehari-hari hanya melamun sambil merokok jarum kretek berbatang-batang. Dia sulit diajak bicara, bahkan ketika ada yang mengajak ngobrol diam saja. Awal kejadian depresi ialah ketika ia bekerja pada orang china. Kebetulan majikannya itu mempunyai anak perempuan yang menarik hatinya. Dia jatuh hati dengan anak majikannya, namun ternyata kasih sayangnya bertepuk sebelah kanan, sang anak majikan tidak menyukainya. Beberapa kali keinginannya itu disampaikan, namun tidak ada jawaban. Dia keluar bekerja dan pikirannya tidak menentu
Akibat ditolak itulah membuat dia menjadi sakit hati dan beakibatkan stres berkepanjangan. Meski telah diingatkan oleh bapak dan ibunya,-dunia tidak selebar daun jambu- namun dia seperti sudah tertutup oleh nasehat siapapun. Dia kuat duduk selama berjam-jam.Tidak mandi dan tidak mau bicara dengan siapapun. Diam dan melamun adalah pekerjaan utamanya. Untung saja dia tidak beringas atau mengamuk kepada orang lain. Dia hanya suka termenung atau minta rokok kepada tetangga. Kalau ada rokok segera dihisap, seolah menjadi pelariannya, bila tidak dia hanya diam namun kadangkala memaksa.
Istri Pak Mumin tidak bertahan lama hidup, dia meninggal dunia dalam usia yang sudah tua. Sementara Pa Mumin sendiri pun usianya sudah lanjut, dan pernah beberapa kali saya ke rumahnya untuk menegok, sungguh saya terharu dua anak manusia yang satu mendekati usia lanjut, yang satunya lagi, jiwanya goncang.
Masih terbayang dalam ingatan, saat saya ke rumahnya selesai solat magrib. Pak Mumin tidur di ranjang sementara anaknya dibawah, karena tidak mau diajak tidur diranjang kayu tua. Mereka berdua tidak saling bersapa. Pak Mumin sebenarnya ingin membawa ke psikiater agar bisa disembuhkan, tapi jangankan ke psikiater untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari harus menunggu belas kasihan orang lain.
Ketika saya menegok, wajahnya sangat gembira. "Beginilah keadaan bapak sering sakit-sakitan, istri bapak sudah meninggal dunia, sementara anak bapak begitu keadaannya. Saya sedih harus menghadapi kenyataan pahit seperti ini....terutama anak laki-laki yang depresi ini...dia kerjaannya diam dan melamun. Namun ketika ibunya meninggal dunia, dia sadar tetapi tidak menangis...bisa saja...kasihan sekali anak ini!" ujarnya dengan suara berat dan napas turun naik.
Saya sebenarnya ingin menumpahkan air mata di rumah sederhana itu. Dapur dan ruang tamu menyatu dengan kamar tidur. Kalau ke toilet harus keluar rumah karena berada 4 meter dari rumahnya. Sungguh keadaan keluarga yang memprihatinkan. Air mata dan kedukaan membalut dalam tubuhnya yang semakin digerogoti usia yang bertambah tua.
"Saya tak dapat membayangkan...bagaimana kalau saya meninggal dunia, sementara anak saya siapa yang mengurus!" keluhnya seraya menatap ke langit-langit rumah. Pikirannya menerawang memikirkan masa depan anaknya yang tumbuh dalam keadaan kegoncangan jiwa yang sangat berlebihan. Pak Mumin hanya bisa pasrah dan tidak bisa berbuat apapun karena keadaan ekonomi yang serba kekurangan.
Pak Mumin tinggal di rumah sendiri, dia tidak mengontrak, jadi tidak terlalu berat untuk membayat kontrakan. Namun karena dia tidak bekerja, makanan hanya diperoleh beberapa anaknya yang diantarkan setiap pagi dan sore seadanya. Badanya sudah kurus dan tidak lagi mampu berjalan jauh. Namun dia masih bisa tersenyum bila bertemu dengan tetangga yang menengoknya. ***3 Februari 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar