Aki Omo diberi usia sampai 80 tahun ketika ia meninggal dunia. Dia adalah kakek saya yang memiliki kekayaan cukup banyak, terutama tanah puluhan tumbak di daerah Babakan Ciparay. Dulu daerah itu adalah pesawahan yang luas membentang, namun sekarang telah dipenuhi bangunan perumahan dan sekolah negeri. Dulu sewaktu masih keciil saya sering bermain ke sawah bersama-sama untuk melihat sawah yang dipanen. Banyak bapak dan ibu yang memotong padi di sawah ikut membantu'memanen padi.
Suasana yang paling nikmat adalah tatkala makan bersama di tengah sawah. Meski makan hanya dengan ikan asin, sambel, lalab, tahu, tempe terasa sangat nikmat sekali. Warga kampung bersama-sama berkumpul untuk menikmati makan bersama.
Namun semua itu kini tinggallah sebuah kenangan indah yang tidak akan mungkin terulang kembali. Masa sudah berganti, waktu telah berlalu, kakek yang dulu tinggal di jl. Kopo akhirnya tanah dan rumah dijual, lalu pindah ke daerah Gandasoli Katapang, daerah yang sangat jauh dari kota. Disitu pun membeli tanah dan membangun rumah. Saya saat itu masih sekolah di SMA, jadi ingat benar tempat tinggal kakek. Kalau saya datang ke sana, Aki sangat gembira dan mengajak ngobrol.
Aki sangat rajin dan tidak pernah ketinggalan solat lima waktu. Demikian pula dengan Ibu Enis, hanya saja karena orangtua dulu seringkali adat hindu dibawa-bawa, misalnya masih suka memberikan sesaji di dapur dan membakar menyan. Setiap hari raya Islam, misalnya Maulid nabi, ia akan memanggil anak-anak dan cucu serta tetangga yang berdekatan rumahnya. Aki membacakan doa dan al-fatihah, lalu membakar kemenyan, sehingga ruangan penuh dengan asap, yang membuat mata merah dan batuk beberapa kali.
Namun yang sangat menyedihkan ialah tatkala ia mempunyai penyakit gatal, mungkin alergi, sebab kalau sudah jadi alergi, maka terlihat badannya merah bekas digaruk-garuk. Saya suka kasihan kalau sudah begitu, ia pun sering mengeluh dengan penyakit yang dideritanya. Usia semakin bertambah, Aki saat menjelang sakaratul maut mengalami sakit yang sangat berat bahkan beberapa kali saya membaca surat yasin dan surat pendek, belum juga ditakdirkan meninggal dunia.
Entah apa yang menyebabkab begitu, saya belum mengerti, hanya saja setelah Mang Kinya memetik daun kelor lalu mengusapkan ke selutuh badannya, Aki pun tidak lama menghempuskan napas terakhir di rumah Gandasoli. Istrinya yang kedua, memelihara dan merawat semenjak dia sakit, bahkan ia rela memandikan dan membersihkan kotoran yang melekat di tubuh Aki.
Aki telah mewakafkan tanah untuk kuburan di jalan Gandasoli dan ia dan Ibu Enis dikubur berdampingan. Semoga Allah mengampuni segala dosa dan keselahan yang telah mereka perbuat.*** 4 Februari 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar