Kisah ini dialami oleh Ny. Yati (bukan nama sebenarnya) yang mengalami penyiksaan fisik yang luar biasa oleh suaminya. Padahal selama pacaran hampir 5 tahun, ia tidak memperlihatkan sebagai suami yang kejam, tetapi justru sebaliknya. Dia sangat baik dan memperhatikanku. Tetapi aneh, setelah berlangsung rumah tangga selama beberapa tahu, barulah ketahuan kalau dia seorang suami yang temperamental,yangmembuat hidupku tersiksa. Kisah ini ditulis oleh Kuswari.
AKU berpacaran sejak masih SMA dulu. Dia orangnya sangat baik dan ramah, meski pendiam. Masa indah remaja kami lewati dengan kenangan indah yang tak terlupakan. Aku bangga mempunyai pacar seperti Kang Dadang. Dari segi fisik, dia itu atletis dan tidak heran kalau banyak wanita yang menyukainya. Aku terkadang cemburu kalau dia dikelilingi teman wanitanya. Ia lelaki yang sangat perhatian sekali, bahkan masalah kecil saja dari penampilan yang tidak cocok, dia mengemukakan terus terang.
Seiring waktu berjalan, aku pun melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama di Bandung. Begitu pula dengan pacarku. Ia tak ingin berpisah dengan gadis lain. Aku semakin yakin dan percaya kalau memang dia lelaki yang sangat setia dan bertanggungjawab. Tak jarang dia mengantarkan aku kalau aku kuliah sampai sore, demikian pula kalau ada kegiatan lain.
Memang ada saja masalah selama dalam pacaran, tetapi kami masih bisa mengatasi dan berusaha menahan emosi untuk tidak saling memperbesar permasalahan yang kami hadapi. Kami bisa memecahkan masalah sebaik mungkin. Aku selalu mengalah dan meminta maaf kalau memang itu adalah kesalahan yang kuperbuat. Aku semakin tahu karakter yang dimiliki Kang Dadang, meski baru sebatas pengalaman yang dialami selama berpacaran.
Selama kuliah, nyaris tak menghadapi kendala yang berarti bagi kami. Kang Dadang dapat menyelesaikan kuliah selama 5 tahun, demikian pula denganku. Waktu terasa begitu singkat. Mungkin memang sudah jodoh yang ditakdirkan Allah Swt, akhirnya setelah sepakat untuk membangun rumah tangga, maka kami pun sepakat untuk menentukan hari pernikahan.
Kebanggaan dan kebahagiaan bercampur menjadi satu, tatkala akhirnya kami menjadi sepasang pengantin, Kulihat suamiku sangat gagah dan tanpa dengan mengenakan pakaian adat sunda. Aku berharap, suamiku tetap menjadi sosok yang setia dan mencintaiku sampai akhir hayatku.
Bulan madu kami isi dengan perjalanan wisata ke tempat-tempat yang romantis. Suamiku mengerti tentang keinginanku yang dulu pernah aku utarakan sebelum menikah, yaitu kalau bulan madu ingin mengunjungi berbagai tempat wisata di Jawa Barat. Kami mengisi hari-hari dengan penuh pesona dan keindahan yang tiada terkira. Hidup terasa indah dan bunga-bunga asrama semakin bertaburan dalam hati kami.
Namun ternyata perjalanan pernikahanku dengan Kang Dadang bagaikan berada dalam neraka. Rumah bukannya menjadi tempat bersemainya kasih sayang diantara kami, tetapi telah berubah menjadi ajang penyiksaan yang tidak terduga sama sekali. Belai kasih sayang seolah hilang disapu angin. Cumbu mesra pun berlalu tiada arti. Hidup benar-benar seperti sebuah impian. Aku tak mengira semua ini bisa terjadi, padahal tadinya aku mengira suamiku selama pacaran adalah lelaki yang penuh perhatian dan kasih sayang.
Aneh bin ajaib, mengapa suamiku bisa berubah 180 derajat? Apakah yang menjadi penyebab semua itu? Aku tak habis pikir dan tak bisa kumengerti dengan perilaku suami yang bagaikan orang kesetanan. Ia seakan menjadi monster di rumah. Ketika aku mencoba protes atas sikap dan tindakannya, ia malah balik menyerang dengan ucapan yang sangat tidak pantas.
“Pokoknya kamu harus tunduk sama aku. Di rumah ini yang berkuasa adalah aku. Kamu jangan berbuat sesuatu yang tidak aku sukai. Kalau aku berkata, kamu harus pulang jam 2 dari kantor, maka jangan coba-coba kamu lewat dari jam itu, aku akan marah,” katanya.
“Aku tak habis dengan keadaan bapak yang berubah. Mengapa dulu bapak tidak pernah sama sekali marah atau membentak, namun sekarang aku sering disiksa dan dimarahi? “
“Diam! Kamu jangan banyak bicara. Pokoknya kalau kamu membantah, aku akan bertindak lebih kasar lagi!”
“Aku tak mau dengan tindakan kasar bapak. Lebih baik aku diceraikan saja. Buat apa aku mempunyai suami yang galak!”
“Apa kamu bilang!” Matanya melotot dan tangannya langsung menampar ke wajahku. Aku meringgis kesakitan. Bukan kali ini saja, dia menampar wajahku, sering sekali ia menyakitiku.
Aku berusaha bertahan dengan sikap suami yang keterlaluan itu. Aku sebenarnya berat kalau harus berpisah dengan suamiku. Kalau bercerai aku kasihan pada kedua anakku yang masih kecil-kecil dan butuh perhatian. Bagaimana nanti keadaan mereka kalau aku berpisah.
Aku hidup bagaikan terpenjara. Diatur dan diawasi oleh suamiku, kemanapun aku pergi. Pernah aku terlambat datang ke rumah, karena di kantor ada pekerjaan yang harus aku bereskan. Aku tak mengira kalau dia langsung menampar wajahku ketika aku tiba di rumah. Kedua anakku langsung menangis tatkala tahu aku dipukul.
“Aku di kantor banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Bapak koq keterlaluan sekali!” kataku protes seraya menghempaskan badannku ke kursi. Kedua anakku berlari mendekati.
“Aku tak mau mendengar alasan apapun dari kamu. Kalau kataku, pulang harus tepat waktu, maka kamu harus tepat waktu….aku tak suka dengan wanita yang membandel,!”
Aku hanya terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Dia memang tidak mau kalah dan akan terus nyeroscos bicara kalau aku melawan. Ujung-ujungnya aku akan ditampar atau disiksa dengan kayu.
Pernah terjadi hanya karena masalah sepele, aku pergi ke rumah tetangga karena ada yang sakit, suamiku di rumah marah-marah dan tanpa ampun lagu aku mendapat siksaan yang bertubi-tubi.
“Aku sudah katakana, kamu jangan ke rumah tetangga, buat apa ke sana, kamu diam saja di rumah,” katanya.
“Tapi ada tetangga yang sakit, masa kita tidak menengok?”
“Pokoknya kamu jangan keluar rumah tanpa aku izinkan!”
Aku tertunduk dan menggelengkan kepala, tidak mengira sikap dia seperti itu. Aku sendiri kerapkali melawan kalau sudah diperlakukan kasar, namun aku tak berdaya menghadapi semua itu.
Bapakku seringkali mengunjungi ke rumah untuk sekeda menengok kedua cucunya. Namun seringkali dia menanyakan badanku yang terlihat sering ada bekas pukulan atau siksaan. Aku berusaha menutupi perilaku suamiku yang kasar. Namun lama-kelamaan, akhirnya bapakku tahu juga akan keadaan rumah tanggaku.
Bapakku sangat menyayangiku, karena aku adalah satu-satunya anak perempuan. Ibuku sudah lama meninggal dunia ketika aku masih kuliah. Bapak tidak menikah lagi setelah ibu meninggal dunia. Ia lebih sibuk dengan kebun yang dimilikinya dan rajin memelihara ayam serta membudidayakan ikan lele.
Naluri sebagai seorang bapak, dia mengetahui kalau suamiku seringkali bersikap kasar. Namun bapak selalu menasihati agar sabar dan tabah :”Berdoa saja mudah-mudahan saja Allah mengubah perilakunya menjadi baik dan tidak kasar,” katanya. Diam-diam aku kerapkali melihat basah air matanya, kalau melihat wajahku bengkak karena dipukul suami.
Aku berusaha mempertahanan rumah tangga dan menyadari sepenuhnya kalau memang suamiku mempunyai karakter yang jahat dan pencemburu berat. Boleh dikata, hampir setiap hari aku mendapat tekanan dan terror yang membuat aku menjadi orang yang gugup dan tidak percaya diri. Di kantor banyak rekan kerja yang mengetahui masalah yang aku hadapapi, bahkan mereka mendukung kalau aku mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama. Namun aku masih bertahan dan berharap suamiku berubah kelakukannya.
Tetapi harapan dan keinginan itu hanyalah mimpi belaka. Aku merasa tidak nyaman berada di rumah, karena sikapnya yang bagaikan musuh menghadapiku. Aku sendiri rasanya berada di depan harimau bila berhadapan dengan dia. Nyaris tak ada lagi kemesraan yang aku rasakan. Bahkan melayani kebutuhan biologis suamiku aku sama sekali tak bergairah. Diam-diam aku menyimpan kebencian dan dendam yang mendalam dalam kalbuku.
Bapakku yang tahu keadaan aku yang seringkali mendapat perlakuan kasar, setiap hari selalu memikirkan nasibku, sehingga terkadang ia tidak makan kalau melihat fisikku yang drastis menjadi kurus. Bapak sangat sabar sekali, meski dalam hatinya menyimpan duka derita yang mendalam. Namun lama kelamaan, akhirnya bapak jatuh sakit karena merasa tidak bisa menerima aku diperlakukan kasar oleh suami.
Bapak begitu sangat menyayangiku, bahkan ia sama sekali tidak pernah memukul kepadak, bahkan membentak pun belum pernah. Tak heran, kalau ia sangat sakit hati dan menderita anak kesayangannya diperlakukan sekejam itu. Aku seringkali menangisi bapak yang sakitnya semakin parah, apalagi usianya sudah semakin tua.
Akhirnya takdir tak bisa dilawan, bapakku meninggal dunia dalam keadaan menyimpan rasa sakit hati mendalam kepada menantu yang tega menyiksaku. Bapak hanya berwasiat agar aku sabar dalam menghadapi ujian dari Allah. “Semoga saja Allah membuka jalan kepada suami kamu, menjadi suami yang baik hati dan sayang kepada kamu dan anak-anakmu,” ucapnya.
Suamiku seolah tak peduli dengan kematian mertua. Dia acuh tak acuh yang membuat aku ingin meluapkan kemarahan, namun tak bisa berbuat apa-apa, sebab dia bisa berperilaku lebih kasar kepadaku. Aku hanya mengelus dada atas sikap suamiku yang menurut aku sangat keterlaluan. Dia hanya sebentar melayat bapakku, lalu pulang lagi ke rumah.
Pernah suatu ketika suamiku marah-marah hanya karena aku ikut bersama rekan-rekan di kantor ke rumah sakit untuk menengok pimpinanku yang sedang sakit. Ketika pulang magrib, suamiku sudah berada di pintu rumah dengan mata merah dan wajah kecut. Ketika melihat aku turun dari kendaraan dinas yang diantar sopir kantor, wajah suamiku mendadak berubah seketika.
Dia langsung bereaksi saat aku berada dihadapannya dan berkata :
“Dasar wanita tolol! Aku sudah katakan jangan pulang jam segini….ternyata kamu wanita nakal,” ucapnya.
“Aku kan sudah bilang tadi pagi, kalau aku akan menengok Pak Karim yang sakit keras,”
“Tapi aku kan bilang jangan malam. Lagi pula aku paling tidak suka kamu diantar sama laki-laki lain!”
“Itu kan sopir di kantor?”
“Walaupun sopir di kantor, aku tidak suka!”
“Ah, hanya mengantarkan saja, mengapa dipermasalahkan?”
“Bagi kamu tidak masalah, tapi bagi aku itu adalah masalah!”
“Kenapa sih membesar-besarkan masalah sepele?”
“Itu bukan masalah sepele, tetapi bagiku masalah besar!”
Suamiku terus nyeroscos tidak mau kalah, malah dia terlihat memberikan reaksi yang berlebihan. Marahnya tidak sampai disitu. Dia membentak-bentak seraya tangannya melayang kearah wajahku. Aku berusaha menghindar. Aku menjerit-jerit saat suamiku terus mendekati. Kedua anakku keluar kamar saat mendengar aku berteriak-teriak. Mereka pun ikut menangis dan memburuku yang ketakutan atas tindakan bapaknya.
“Pak, sudah jangan siksa Mamah!” teriak anakku yang cikal seraya memeluk ibuku yang ketakutan. Aku dikerubiti keduanya dengan tangis yang tidak henti-hentinya. Mereka sudah tahu kalau bapaknya akan bertindak diluar perikemanusiaan, maka mereka segera melindungiku.
Suamiku masuk ke kamar. Kukira dia tidak akan berbuat apa-apa. Aku sungguh kaget, ketika keluar lagi dari kamarku, dia sedah membawa setumpuk pakaianku. Lalu dia pergi ke dapur untuk mengambil minyak tanah.
Meski aku menangis dan memohon agar tidak dibakar baju-bajuku yang masih baru dan setiap hari dipakai ke kantor, namun usahaku tidak ada artinya, sia-sia belaka. Dia melemparkan baju-baju itu ke halaman rumah. Beberapa tetangga melihat perilaku suamiku, yang memang sudah dimaklumi. Minyak tanah satu jerigen ditumpahkan ke baju-bajuku, lalu dia mengambil korek api dan langsung membakarnya. Tanpa sedikit pun ada rasa kasihan kepada yang meminta agar jangan dibakar, namun dia seperti tuli dan keras hari.
Aku hanya menangis, ketika melihat kobaran api sudah menyala di halaman rumah. Baju-bajuku yang tidak kurang 10 buah, yang masih baru dan kerapkali dipakai untuk acara-acara tertentu, musnah sudah dalam sekejap. Aku sedih dan marah melihat semua itu. Namun aku mencoba bersabar dan tabah menghadapi kelakukan suamiku yang sudah sangat keterlaluan.
Sejak kejadian itu, aku tidak pernah bertegur sapa, bahkan di rumah bagaikan dengan musuh. Aku selalu menghindar dan menjauhi serta tidak mau bersama-sama dengannya. Malam pun aku tidur bersama kedua anakku di kamar sebelah. Aku membiarkan dia.
Aku pun pergi dari rumah bersama kedua anakku, tinggal di kakakku di tempat yang agak jauh. Aku biarkan saja suamiku. Benar-benar aku merasa benci dan dendam kepada suamiku yang sangat keterlaluan. Seharusnya dia tidak perlu membakar baju-baju yang aku pakali setiap hari. Baju-baju itu adalah kesukaanku dan aku mencicil baju itu kepada temanku, namun sekarang sudah hancur musnah.
Ada sebulan aku tidak bertegur sapa. Dan aku pernah berkata, sebaiknya kita cerai saja kalau kelakuan tidak mau berubah. “Pokoknya aku tidak mau kelakukan bapak seperti itu. Aku minta cerai saja dan tidak ada lagi ada hubungan apa-apa, antara bapak dengan mamah. Lebih baik kita jalan sendiri-sendiri,” kataku.
Suamiku hanya terdiam mendengar vonisku. Dia seolah tak mendengar dan berlalu begitu saja meninggalkan aku sendirian di ruangan. Dia tak bereaksi sedikit pun, dan tidak memberi keputusan. Aku tak peduli dengan sikapnya itu. Aku sudah bulat tekadku ingin berpisah, percuma dilanjutkan kalau aku menjadi pelampiasan nafsu. Sudah bukan satu dua kali dia memperlakukan aku bagaikan binatang. Namun anehnya lagi, meski aku sudah disakiti, beberapa waktu kemudian dia meminta maaf seraya mencucurkan air mata serta menyesali perbuatannya itu. Kali ini aku tidak ada lagi ampun baginya, aku akan tetap meminta dia menceraikan aku atau aku menggugat dia.
Namun selang beberapa bulan kemudian, tanpa diduga aku melihat suamiku pulang kerja dengan membawa bungkusan besar. Aku tadinya tak menghiraukan apa yang dilakukan suamiku, namun dia langsung menyapa dan berkata dengan lemah lembut sekali :”Mah, aku meminta maaf kepada Mamah…aku telah menggantikan semua pakaian yang aku bakar. Tuh aku membeli baju-baju kesukaan mamah!’
Aku terpaku mendengar ucapannya. Sama sekali tidak terduga dan tidak terlintas dalam benakku kalau dia akan mengganti baju-baju yang dibakarnya. Bahkan yang membuat aku kaget, dia pun membelikan kalung emas yang sangat aku impikan.
“Ini semua buat mamah!” katanya.
“Bapak dapat uang darimana?” tanyaku penasaran dan heran.
“Aku dapat rezeki dari kantor. Pokoknya ini uang halal. Aku belikan semua untuk mamah dan anak-anak kita,”
Tentu saja istri mana yang tidak merasa bahagia memperoleh hadiah dari suami. Aneh dengan suamiku, suatu ketika dia sangat kejam dan keterlaluan, namun disisi lain dia pun tidak pernah hitungan dalam masalah uang, bahkan dia rela memberikan semuanya. Aku terkadang menggeleng-gelengkan kepala mengingat perilaku suami yang terkadang aneh.
Aku lemah kalau suamiku sudah memberi hadiah yang sangat aku inginkan. Meski telah membakar baju-bajuku, namun akhirnya ia menggantikan dan memberikan hadia kalung emas. Tekad yang bulat untuk bercerai, akhirnya lama-lama menjadi layu, apalagi suamiku tidak lagi bertindak kasar. Entah, aku sendiri tidak tahu; apakah semua itu hanya pura-pura saja sekedar menghibur aku.
Aku sudah melupakan semuanya. Suamiku sedikit ada perubahan setelah aku bertindak agak tegas dan tinggal sementara bersama kakakku. Beberapa kali ia pun mengucapkan rasa penyesalahan telah menyiksa dan membakar bajuku. “Aku berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatan itu,!” katanya. Aku terdia, sebab bukan kali ini saha terlontar ucapan itu.
“Tapi bapak ini suka berbohong, lain kali bapak pasti akan bertindak kejam kepadaku!”
“Tidak Mah! Aku kasihan sama Mamah…aku juga terkadang menyesal mengapa aku mempunyai sifat jelek begitu!”
“Ya sudah kalau begitu. Dari dulu juga pintu hati mamah selalu terbuka. Pokoknya sekarang tidak ada lagi kekerasan di rumah. Mamah sudah tidak mau lagi bersama-sama dengan bapak kalau tidak mengubah perilaku,”
Suamiku menganggukkan kepala. Namun dalam hatiku aku belum percaya 100 % soalnya bukan apa-apa, dulu juga dia pernah berjanji untuk tidak melakukan pemukulan dan penyiksaan lagi, namun semua itu hanya kepalsuan belaka. Kali ini pun aku masih menyimpan keraguan dalam hati sanubari. Itu karenanya, aku minta ketegasan dari dia untuk benar-benar berjanji tidak akan menyiksa.
“Kalau ternyata tidak sesuai dengan janji Bapak, terpaksa aku menggugat cerai, sebab diteruskan juga percuma saja. Aku masih mempertimbangkan janji bapak, sebab dalam kenyataan sudah beberapa kali sering ingkar,” kataku.
Suamiku kembali meminta maaf dan kali ini berjanji tidak akan menyiksaku lagi, dia malah berkata ingin bertobat dan benar-benar ingi hidup berumah tangga secara baik. Sebagai wanita, kalau sudah melihat suamiku bersungguh-sungguh begitu, aku pun lemah dan mengalah serta menerima kembali dia sebagai suamiku. Aku sendiri berharap tidak ada lagi penyiksaan pada diriku.
Kuakui memang di samping suamiku wataknya yang tidak mau mengalah dan terkesan ingin menang sendiri, namun ada sisi lain kebaikannya yaitu kalau dapat uang banyak tidak segan-segan untuk membelikan barang yang aku inginkan. Begitu pula kepada kedua anakku. Dia akan menghabiskan uang untuk membahagiakanku. Aku sebenarnya tidak suka dengan cara seperti itu, namun aku tidak bisa berbuat apa-apa, sebab kalau saja aku berkomentar dia pasti akan marah.
Sejak dia meminta maaf dan berjanji tidak akan bertindak keras lagi kepadaku, ada perubahan yang sangat menggembirakan. Meski tidak drastis perubahan itu, namun sudah membuat aku bahagia. Dia yang semula sangat mudah marah dan sering membentak, sekarang agak berkurang.
Aku mencoba memhami latar belakang suamiku, yang ternyata setelah aku mempelajari dan bertanya kepada kakak dan adik-adiknya yang tinggal di kota lain, aku semakin tahu tentang keadaan yang sebenarnya. Aku mendapat penjelasan dari kakaknya yang tinggal di Jakarta, kalau sejak kecil dia mendapat tindakan kekerasan dari bapaknya sehingga sangat membekas sekali. Bapaknya sering memukul karena nakal. Di samping itu, sejak remaja dia sudah kehilangan kasih sayang kedua orangtuanya, karena mereka bercerai, dan dia tinggal dengan pamannya yang tidak mempunyai anak laki-laki.
Aku menjadi tahu kalau memang suamiku memiliki sifat jelek seperti itu. Latar belakang keluarga dan lingkungan pergaulan menjadi salah satu sebab mengapa dia menjadi keras dan mempunyai sifat cemburu yang berlebihan.
Selama lebih setahun suamiku memperlihatkan hubungan yang hangat dan harmonis bersamaku, bahkan aku dimanjakan. Namun ternyata ketika memasuki tahun kedua, aku sama sekali tidak menduga kalau ternyata perilakunya kali ini benar-benar diluar dugaan.
Aku masih ingat kalau masalah dengan suamiku sangat sederhana dan tidak perlu diperbesar. Ketika aku sedang bersama suamiku belanja di sebuah Swalayan di Kota Bandung, aku bertemu dengan teman sekalas di SMA. Seorang laki-laki yang ganteng dan memang sahabat dekat denganku. Andika, namanya.
Saat bertemu, aku dengan Andika ngobrol agak lama, maklum sudah 15 tahun aku tidak pernah bertemu dengan dia. Andika memberikan alamat dan nomor telepon rumah. Kukira pertemuan itu biasa-biasa saja, bahkan aku memperkenalkan Andika kepada suamiku. Namun sungguh tidak mengira kalau peristiwa itu menjadi malapetaka yang sangat besar bagi diriku.
Suamiku sejak melihat Andika di Swalayan, ia sama sekali tidak mau ngomong denganku. Bahkan yang tadinya aku akan belanja sebuah baju pun mendadak dibatalkan, karena suamiku acuh tak acuh dan memasang wajah angker. Kulihat ia seperti menyimpan amarah yang bergolak dalam dadanya. Kupikir, suamiku marah karena aku bertemu dengan Andiku. Aku sudah siap-siap kalau saja dia akan marah.
Ketika di mobil, aku menegur dan meminta maaf kalau dia merasa tidak enak dengan pertemuan aku dengan temanku. Dia diam saja tidak menjawab dan tidak berekasi sedikit pun atas ucapanku.
“Mamah minta maaf kalau bapak merasa tidak enak, karena aku bertemu dengan teman sekelas waktu SMA,” kataku.
Dia kembali tidak memberikan reaksi sedikit pun,malah mobil dijalankan dengan kecepatan yang cukup tinggi, sehingga hampir saja menabrak tukang becak. Gelagat kemarahan sudah dapat aku rasakan, kalau pertemuan aku dengan teman sekelas akan menjadi malapetaka.
Ketika tiba di rumah sore hari, kebetulan kedua anakku sedang ada di rumah, suamiku kemarahannya meletup-letup dan aku menjadi sasaran pelampiasan nafsu yang berlebihan. Aku dikatakan sebagai wanita murahan dan tidak sopan serta menyakiti dirinya. Meski aku bertahan dan meyakinkan dia, tetapi dia tidak mau mendengar alasan apapun dari mulutku.
Aku menjadi sasaran kemarahan. Beberapa kali aku ditampar dan ditendang, sehigga mulutku berdarah. Aku mengerang kesakitan dan meminta maaf atas kesalahan ini, tetapi dia tidak mempedulikan sama sekali, bahkan tangan dan kakinya tidak henti-hentinya terus menghujan ke wajah, kepala dan anggota tubuh yang lain.
Aku sudah meringgis kesakitan dan menjerit-jerit selama dalam penyiksaan itu. Terakhir dalam penyiksaan itu, dia membawa gunting. Kukira dia akan membunuhku, namun tanpa diduga, rambutku yang panjang dan hitam dipegang kuat-kuat, lalu dengan bernafsu rambutku digunting sesuka hati. Aku berontak, namun tak berdaya sama sekali.
Tanparan demi tanparan aku terima dengan rasa sakit yang luar biasa. Rambutku berceceran di lantai. Kedua anakku menjerit-jerit tatkala melihat aku dalam keadaan tersiksa. Mereka membela aku dan berusaha merangkulku. Aku memeluk mereka. Suamiku meninggalkan kami bertiga dalam keadaan luka mendalam dalam kalbuku. Kedua anakku menjadi penyelamat dan telah mengakhiri penyiksaan terhadap diriku.
Meskipun masih kurasakan sakit di sekujur tubuhku, dan mukaku bengkak-bengkak, aku bergegas meninggalkan rumah itu bersama kedua anakku. Aku tak peduli dengan suamiku yang berada di kamar. Entah apa yang sedang dia lakukan. Aku terburu-buru naik ke angkot menuju rumah kakakku.
Aku tak peduli dengan keadaan rambutku yang acak-acakan, untung saja aku masih sempat membawa kerudung sehingga bisa menutup rambutku yang tidak menentu. Dalam hatiku, aku harus mengambil keputusan yang tegas, aku sudah tidak mau lagi hidup bersama lelaki yang jahat dan ringan tangan. Dia bukanlah lelaki yang penyayang terhadap diriku. Buat apa aku mesti bertahan dalam keadaan yang menyakitkan? Lebih baik aku meninggalkan dia dan hidup menyendiri.
Ketika kakakku melihat keadaanku yang bengkak wajahnya, dia marah bukan kepalang. Dia akan melaporkan ke polisi, namun aku berusaha untuk mencegahnya. “Sudahlah, pokoknya aku akan menggugat cerai. Aku sudah kapok. Dia ingkar janji dengan sumpahnya sendiri. Biarkan saja tidak usah dilaporkan ke polisi…!” kataku.
Sebenarnya bisa saja aku melaporkan tindakan kekerasan suami ke polisi dan memasukkan ke dalam penjara, namun aku pikir kasihan kepada kedua anakku yang nantinya akan dicela oleh teman-temannya kalau mempunyai bapak masuk ke dalam penjara.
Untuk sementara aku tinggal bersama kakakku. Aku sudah tidak mau lagi bertemu dengan suamiku. Siksaan itu telah membuat aku berontak dan keinginan untuk berpisah semakin bulat dalam diriku. Aku harus mengajukan gugatan cerai dan bersiap-siap untuk menjadi seorang janda. Kupikir menjadi janda lebih baik daripada aku harus mengalami siksaan bertubi-tubi.
Aku tidak mau lagi bertemu dan selalu menghindar. Lebih dua minggu aku tidak bertemu. Aku masih tetap tinggal bersama kakakku dan sesekali ke rumah untuk sekedar mengambil baju ke kantor. Aku tidak mau bertatap muka lagi. Siksaan terakhir itu telah membuat aku trauma dan ingin bercerai.
Aku pun langsung mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama. Setelah mengalami 3 kali siding gugatan cerai dan suamiku tidak pernah datang untuk menghadiri gugatan cerai, akhirnya pengadilan memutuskan gugatan ceraiku. Alasanku bisa diterima oleh majelis hakim setelah aku menjelaskan tindakan suamiku yang kasar dan kerapkali menyiksa diluar batas kewajaran.
Sejak aku mengajukan gugatan cerai, aku tidak mau tahu lagi tentang keadaan dirinya. Aku pun tidak pernah ngobrol atau bercakap-cakap, sebab bagiku tidak ada artinya. Memang pernah suatu hari dia meminta maaf, namun aku bersikeras kalau hubungan harus berakhir.
“Aku sudah tak mau lagi hidup bersama-sama. Aku sudah tak kuat lagi dengan tindakan bapak yang bukan satu dua kali menyiksa diriku. Aku benar-benar sakit hati dan sudah kupikirkan kalau cerai adalah lebih baik,” kataku.
Suamiku terdiam. Tidak bereaksi sedikit pun. Mulutnya tertutup rapat. Tiba-tiba dia berkata :”Ya sudah kalau begitu!” katanya sambil beranjak dan keluar rumah.
Sejak itu aku tidak pernah lagi bertemu dengan dia. Apalagi setelah dia membawa semua barang-barang miliknya. Aku tidak mau tahu tentang dia, toh sudah terlalu sakit hati ini selama dia berumah tangga denganku.
Walaupun aku harus membiayai kedua anakku sekolah dan menafkahi kebutuhan sehari-hari, alhamdulillah aku bersyukur bisa mengatasi semuanya. Sebagai pegawai negeri sipil di sebuah instansi pemerintah, aku bisa menutupi semua kebutuhan hidupku, walaupun pas-pasan.
Hidup menjadi janda ternyata lebih baik dan membuat aku lebih bebas. Aku tidak perlu lagi khawatir dengan suamiku yang sangat mengekang sekali kebebasanku. Aku sudah tidak ada ikatan apa-apa lagi dengannya. Aku menikmati hidup dengan aktivitas kerja sehari-hari.
Aku berusaha untuk menjadi seorang ibu dan sekaligus bapak di rumah. Kedua anakku sangat tunduk dan patuh kepadaku. Mereka tidak mau mengikuti bapaknya, karena mereka tahu kalau sewaktu-waktu bapaknya bertindak kasar dan ringan tangan.
Kini aku lebih merasa tenang dan tentram hidup tanpa bersuami. Aku bertekad untuk membesarkan kedua anakku agar mereka menjadi anak yang berhasil dan dapat dibanggakan. Aku lebih rajin dan giat bekerja di kantor serta menyelesaikan segala tugasnya dengan benar.
Ketika ada tawaran untuk kuliah di Pascasarjana, aku manfaatkan kesempatan itu untuk menggali ilmu secara lebih mendalam. Aku ingin membuktikan bahwa aku adalah wanita karier yang bisa mandiri.
Aku menyadari hidup adalah ketentuan takdir yang sudah digariskan sang Maha Penyayang. Aku yakin, Allah akan memberi pertolongan kepada hamba-hambanya yang selalu taat menjalankan perintah-Nya.
Aku harus belajar menerima takdir yang boleh jadi sangat berat sekali kupikul. Namun aku yakin, meski aku seorang diri mengasuh dan membesarkan kedua anakku, aku akan bisa mengatasi semua masalah yang muncul.****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar