Sungguh malang nasib yang dialami Fitriani (24 tahun), bukan nama sebenarnya, ketika selesai upacara sakral pernikahan di depan penghulu dengan suaminya Eman (25), juga bukan nama sebenarnya, tiba-tiba dua orang polisi berpakaian preman menjemput sang kekasih. Polisi menciduk Eman karena diduga merampok seminggu sebelum pernikahan. Bagaimana suasana hari pernikahan itu dan bagaimana pula Fitriani mengisahkan kisah menyedihkan itu. Berikut penuturannya kepada Sdr. Kuswari
WANITA mana yang tidak akan berbinar wajahnya ketika hari pernikahan semakin dekat. Wanita mana pula akan hancur luluh hatinya ketika tahu kalau suaminya ternyata buronan polisi. Ah, sungguh tidak mengira sedikit pun kalau aku akan mengalami nasib sepahit empedu ini. Padahal selama ini, aku mengenal Kang Eman, adalah sosok lelaki yang bertanggungjawab, jujur dan sangat sopan kepada siapa saja. Namun ternyata di balik semua itu adalah kepalsuan belaka.
Kukenal dia ketika aku berkunjung ke rumah nenekku di daerah Depok. Pertemuan yang tidak sengaja itu, telah membuat jantungku berdebar-debar, sebab kuakui Kang Eman memiliki wajah yang tampan penampilan yang keren. Rumahnya tidak terlalu jauh dengan rumah nenekku, sehingga ketika aku berada di rumah nenek, otomatis aku sering ketemu dengan lelaki itu. Meski aku merasa berdebar-debar bila melihat wajahnya, namun aku merasa tidak ada respon dari lelaki itu, sebab dia sangat pendiam dan jarang bergaul.
Diluar dugaan selama aku menginap di rumah nenek, ternyata diam-diam, dia juga menaruh hati pada diriku. Itu sebabnya, aku kaget ketika suatu hari dia datang ke rumah nenek seraya memberikan rekening listrik, sebab setiap bulan dia yang menagih. Aku sempat gugup ketika dia sudah berdiri di pintu rumah seraya melemparkan senyum kearahku. Mendapat senyuman itu, aku menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Dia sendiri kemudian mengajak ngobrol kepadaku, sehingga tentu saja pucuk ditiba ulam tiba, itu sesungguhnya yang aku harapkan selama ini.
Rupanya kehadiran Kang Eman dalam hatiku, telah membuat aku kembali bersemangat menjalani roda kehidupan ini, padahal tadinya aku sudah tidak lagi menghiraukan laki-laki, aku sudah merasa kapok dengan lelaki yang pandai merayu. Bukan apa-apa, baru sebulan yang lalu aku dikhianati oleh pacar yang berbohong kalau dia tidak lagi memiliki wanita lain, namun ternyata dia pandai bersilat lidah. Dia ketahuan sedang berduaan dengan wanita lain. Aku tak tahan melihat dia bergandengan dengan seorang gadis, sehingga hari itu juga aku segera minta putus dan tidak ada hubungan apa-apa lagi. Walaupun dia berdalih dengan seribu alasan, namun aku tak percaya; dia lelaki penghianat.
Aku berusaha untuk tegar menghadapi lelaki. Untung saja ibu di rumah selalu memberi semangat, demikian pula dengan nenekku yang selalu memberi nasihat agar aku optimis menghadapi hidup, sebab setiap manusia sudah digariskan jalur kehidupannya. “Tidak perlu berputus asa, nanti juga ada lelaki yang lebih baik dan lebih tampan dari lelaki yang mengkhianati, asalkan kita sabar saja,” begitu kata nenekku yang selalu saja memberi semangat.
Kini indahnya hidup seakan kembali merangkul diriku, aku seperti mimpi yang sama sekali tidak mengira, kalau Kang Eman yang secara fisik lebih baik daripada Agus, pacarku yang dulu. Selain kulitnya bersih, dia pun dikenal sebagai aktivis di lingkungan perumahan itu. Aku sangat simpati dengan Kang Eman, terlebih lagi dia berasal dari keturunan baik-baik dan berlatar belakang pendidikan yang sama denganku yaitu SMA.
Sejak pertemuan pertama kali itu, bagaikan magnet yang terus menempel, Kang Eman hampir setiap hari datang ke rumah nenek sekedar untuk ngobrol atau menemaniku bermain di halaman rumah. Hatiktu berbunga-bunga kalau Kang Eman datang ke rumah, aku seperti menemukan kembali gairah hidup yang selama pudar. Aku terus terang saja, Kang Eman adalah lelaki ideal yang selama ini aku dambakan, apalagi dia pun kecil-kecil sudah bisa membantu orang tua dengan bekerja di pabrik sablon. Waktu senggangnya digunakan dengan membantu di RW yang setiap bulan menagih uang listrik kepada warga mkasyarakat yang tinggal di perumahan.
Ada rasa bangga menyelinap dalam kalbu, kalau aku mempunyai kekasih Kang Eman. Soalnya bukan apa-apa, kata nenekku, banyak wanita di perumahan yang menyukai Kang Eman, karena ketampanan dan rajinnya bekerja membantu di kepengurusan RW dan bekerja di sebuah pabrik penyablonan.
Aku semakin bangga dengan Kang Eman, karena sangat jujur dan terbuka kepadaku menyangkut apa saja yang dialami oleh dirinya. Begitu pula di tempat kerjanya. Dia sendiri berterus terang berasal dari keluarga yang sederhana dan bukan orang yang terpandang.
“Aku bukan keturunan orang kaya, aku biasa-biasa saja. Namun aku ingin sekali membahagiakan kamu, kelak kalau kita sudah menjadi suami-istri yang sah,” katanya. Kata-kata itu bagaikan embun pagi yang menyejukkan hatiku, aku terbuai dengan ucapannya. Aku semakin mencintai Kang Eman yang terlihat memiliki tingkat kedewasaan dan mempunyai rasa tanggungjawab sebagi seorang suami.
Itu sebabnya, ketika suatu hari dika berniat melamarku untuk dijadikan istrinya, aku hampir tidak percaya,
“Bukankah kita pacara baru saja sebulan, tapi kenapa kamu tergesa-gesar?” kataku dengan penuh keheranan.
“Buat apa lama-lama, lebih cepat menikah bukankah lebih bagus,” katanya.
“Aku sih tidak apa-apa, malah aku sangat bahagia dengan keseriusan kamu mau menjadikan aku sebagai istrimu, tapi apakah benar-benar kamu sudah siap lahir dan batin?”
“Insya Allah, aku akan berusaha menjadi seorang suami yang baik, pokoknya aku ingin segera cepat-cepat menikah, aku ingin berumah tangga. Bukankan usia kita sudah pantas untuk berumah tangga?”
“Aku percaya sama niat kamu yang baik. Sebagai wanita, aku menerima saja keinginan kamu untuk segera menikah…tapi apakah untuk menikah kamu sudah mempersiakan biayanya?”
Dia tidak menjawab ketika ditanya masalah keuangan. Beberapa kali dia menarik napas panjang.
“Justru itulah yang membuat aku selama beberapa hari terakhir ini selalu merenung dan berpikir, bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan uang untuk acara pernikahan kita”
“Sebaiknya kamu pikir secara matang….jangan dulu cepat-cepat kalau kamu belum siap benar…pernikahan memang bukan suatu yang gampang, banyak adat istiadat yang sangat memberatkan kita…terutama biaya itu-ini yang tidak sedikit jumlahnya..”
Kang Eman nampak memahami apa yang dikemukakan olehku. Ia terlihat termenung ketika sudah menyangku masalah keuangan. Aku tahu persis dia belum memiliki uang yang cukup untuk pernikahan, apalagi uang yang diperlukan tidaklah sedikit. Aku kasihan juga dengan Kang Eman, yang begitu sungguh-sungguh ingin segera membina rumah tangga.
Aku sendiri ingin sekali membantu Kang Eman menyiapkan pernikahan, namun sudah hampir setahun ini aku tidak bekerja. Sejak putus dengan pacar yang dulu, aku berhenti bekerja sebagai penjaga sebuah swalayan. Kini aku ingin bekerja kembali, sekedar untuk mencari tambahan kebutuhan sehari-hari. Sekedar penjaga toko, tidaklah sulit mencari pekerjaan, namun aku sudah bosan dan jenuh bekerja di toko. Aku ingin bekerja di sebuah perusahaan yang lebih baik gajinya.
Aku pun berusaha mencari lamaran pekerjaan dibantu oleh Kang Eman. Rupanya sudah menjadi jodohku aku ternyata bisa diterima di sebuah perusahaan periklanan besar. Gaji yang kuperoleh lebih dari cukup, bahkan dua kali lipat dibandingkan aku bekerja sebagai penjaga toko. Aku bisa bekerja di perusahaan itu berkat kenalan Kang Eman yang sudah akrab dengan pimpinannya. Kebetulan saat itu perusahaan sangat membutuhkan tenaga wanita untuk menangani bidang administrasi.
Aku merasa bahagia bisa bekerja di perusahaan periklanan itu, sehingga seiring dengan waktu berjalan, aku bisa menyisihkan uang untuk persiapan pernikahan. Begitu pula dengan Kang Eman, yang setiap bulan selalu menyimpan uang di bank. Kami kerapkali ke bank berbarengan sekedar untuk menabung uang. Ada rasa bahagia yang sulit sekali kuungkapkan, sebab Kang Eman benar-benar calon suami yang sangat kubanggakan. Dia mempunyai rasa tanggungjawab yang besar terhadap diriku.
Hubungan kami semakin terjalin erat dan semakin memahami keadaan kami masing-masing. Aku pun sedikit banyak mengenal karakternya, yang memang pendiam dan terkadang pula emosinya meledak kalau saja ada kesalahan yang diperbuat olehku. Namun kemarahannya tidak lama, ia sudah meminta maaf serta mengingatkan aku agar jangan sekali lagi berbuat sesuatu yang tidak dia sukai.
Namun dibalik semua itu, ada sifat jelek yang suka ditutup-tutupi, yaitu terkadang berbohong, namun aku masih memaklumi dengan sifatnya. Misalnya beberapa hari yang lalu dia berbohong akan mengunjungi temannya yang sedang ulang tahun, namun ketahuan sedang bermain di tempat bilyar, padahal aku sudah mengatakan tidak suka dia bermain bilyar. Namun dia bersikeras untuk terus bermain bilyar.
“Kalau bisa kamu berhenti bermain bilyar, nanti uang kamu habis untuk dipakai bermain begituan?”
“Tidak seberapa bermain bilyar. Teman-temanku sering mengajak bermain, aku terbawa-bawa,” katanya.
“Bukankah kita sedang mempersiapkan untuk secepatnya menikah, mudah-mudahan tabungan kita sudah cukup!”
“Masalah nikah nanti sajalah, aku senang bermain dulu dengan teman-teman,”
Sebuah jawaban yang sama sekali tidak kuduga sebelumnya, padahal dulu dia sangat berharap sekali ingin segera menikah, tetapi sekarang sudah berubah pikiran. Aku sempat tersengang mendaoat jawaban itu.
“Koq, kamu jadi bicara begitu…bukankan dulu kamu yang mengajak aku cepat-cepat untuk menikah, sekarang kamu berubah!”
“Nikah itu mudah…yang penting aku ingin berpuas dulu menghabiskan masa lajangku…!”
Aku heran dengan ucapan, padahal biasanya tidak begitu. Aku menyadari kalau pergaulan dengan sesama temannya banyak sekali pengaruh pada dirinya. Apalagi aku tahu, kalau teman-teman seringkali mengajak bermain bilyar dan menonton acara musik kesukaannya. Aku menjadu khawatir, dia terbawa arus yang tidak baik dan berpengaruh sekali dalam dirinya.
Kekhawatiranku rupanya menjadi bukti, sebab dia sekarang semakin tergila-gila bermain bilyar serta seringkali pulang larut malam. Aku kasihan dengan perilaku yang berubah begitu, sehingga suatu kali aku berterus terang bicara pada Kang Eman.
“Aku melihat perubahan dalam diri kamu, yang selama ini aku sama sekali tidak mengira…mengapa kamu berubah!” kataku dengan suara pelan dan tidak emosi, aku ingin memberikan nasihat yang mudah-mudahan bisa mengubah jalan pikirannya.
“Ah, itu perasaan kamu saja, aku tetap seperti yang dulu, aku bahkan sangat mencintai kamu…!”
“Tidak, suara hatiku berkata lain tentang kamu…ada sesuatu yang tiba-tiba kamu berubah…kamu terpengaruh oleh lingkungan pergaulan yang tidak baik…terus terang aku sudah mengatakan, kalau aku agak kurang suka kamu bersama teman-teman bermain bilyar…!”
Kang Eman menatap karahku, lalu berkata:
“Baiklah kalau kamu tidak suka…aku akan meninggalkan kamu saja!”
Aku kaget mendengar ucapan begitu, sehingga langsung saja aku memburu ketika dia sudah berjalan tiga langkah.
“Maafkan aku, bukan maksud aku begitu!”
“Ya sudahlah…barangkali kita bukan jodoh…kita akhiri saja sampai di sini!”
Bagaikan mendengar guntur di siang hari mendengar ucapan Kang Eman yang sama sekali tidak aku duga sebelumnya. Aku bengong.
“Maafkan aku, aku tidak bermaksud menyakiti kamu!” kataku dengan suara gugup, sebab kulihat matanya merah, karena marah kepadaku.
“Sudahlah…aku mau pergi ada keperluan yang harus segera kuselesaikan.” Katanya seraya meninggalkan aku yang masih terpaku, bengong dengan sikapnya yang berubah drastis.
Ada perasaan menyesal dan cemas dalam hatiku, aku khawatir kalau Kang Eman tidak akan lagi datang ke rumah. Dia marah hanya karena aku nasihati begitu. Namun niat aku semata-mata demi kebaikan bersama.
Aku sempat cemas dan bingung, ketika hampir dua minggu dia tidak pernah bertemu atau menelpon. Aku mencoba menghubungi di pabrik tempatnya bekerja, namun dia sedang keluar.Aku jadi penasaran, mengapa dia jadi berubah begitu.
Hubunganku dengan Kang Eman agak sedikit renggang, terlebih ketika aku mendengar kabar kalau dia sering pulang larut malam bersama rekan-rekan sepermainan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau aku terus menanyakan keberadaan dia, nampak seperti aku mengejar-ngejar.
Sebulan dia tidak pernah datang ke rumah sebagaimana biasanya, tentu saja tidak hanya aku yang cemas, termasuk juga nenekku kelihatan cemas.
“Kamu sudah patus dengan Kang Eman?” tanya nenekku, karena sudah sebulan tidak melihat batang hidung.
“Tidak Nek, dia pernah bilang kalau di pabriknya sedang sibuk pekerjaan. Jadi dia tidak akan dulu bermain ke rumah…!”
Nenek tidak berkepanjangan menanyakan Kang Eman, hanya mengingatkan aku agar menjaga baik-baik hubungan dengan Kang Eman, sebab menurut penialain nenekku, Kang Eman merupakan sosok lelaki yang bertanggungjawab.
Suatu sore, aku dibuat kaget ketika Kang Eman datang ke rumah. Rasanya bahagia bisa bertemu kembali.
“Kang Eman lagi banyak kerjaan ya!, sampai lupa nggak ke sini-sini,” dengan wajah manis dan senyum bahagia. Aku sudah melupakan peristiwa yang lalu.
“Akang minta maaf, bukannya menghindar, setiap hari bertumpuk pekerjaan. Apalagi cetakan harus selesai tepat waktunya!” katanya.
“Ya syukurlah kalau begitu. Aku hanya cemas, takut terjadi apa-apa dengan diri kamu, apalagi selama ini tidak ada kabar!”
“Aku tidak akan meninggalkan kamu, pokoknya aku tetap ingin menjadikan kamu sebagai istriku,” katanya. Kata-kata itu membuat hatiku melambung ke angkasa, aku bagaikan menemukan intan berlian yang hilang dan kini sudah bisa ditemukan kembali.
Aku sendiri tidak menyinggung masalah sebulan yang lalu, takut kembali menggugah luka lama dirinya, yang mungkin saja kalau aku singgung-singgung dia menjadi berbalik marah lagi. Itu sebabnya, aku hanya tersenyum gembira ketika dia memutuskan untuk segera melamar aku. Mudah-mudahan inilah yang terbaik, sehingga aku tidak dipusingkan dengan ketidakpastian jodoh.
Niat baik Kang Eman, sudah barang tentu disambut baik seluruh keluarga, terlebih nenekku, yang terlihat wajahnya berbinar ketika mendengar Kang Eman akan melamarku secepatnya.
Tidak ada hambatan yang berarti, sesuai dengan rencana, Kang Eman melamar ke rumahku dengan membawa orangtuanya sekaligus bersilaturahmi dengan keluarga kami. Aku sangat bahagia dengan lamaran Kang Eman, berarti aku benar-benar akan menjadi istrinya. Aku ingin bahagia bersamanya, meski kami menyadari keadaan kami yang sangat sederhana.
Saat lamaran itu pun, disetujuai pernikahan tidak terlalu lama lagi. Direncanakan sekitar dua bulan lagi. Dengan adanya kesepakatan itu, aku merasa bahagia berarti aku akan segera menjadi istri Kang Eman. Terbayang dalam benakku, betapa hatiku berbunga-bunga bisa naik ke pelaminan. Bayangan indah itu begitu menari-nari dalam benakku, sehingga aku tersenyum sendiri di kamar. Betapa indah hidup berumah tangga dengan lelaki yang sangat kucintai.
Kang Eman berupaya semaksimal untuk mengumpulkan uang untuk persiapan pernikahan kami. Uang hasil kerja pun disisihkan meski relatif sangat kecil, kulihat dia begitu gigih dan bersemangat untuk bisa mengumpulkan uang.
Aku tidak pernah tahu, selain bekerja di pabrik sablon, kerjaan apalagi yang dia kerjakan. Namun aku percaya, dia orang yang tidak mungkin berbuat sesuatu yang melanggar hukum. Aku sangat percaya itu. Namun dalam kenyataannya tidaklah demikian. Justru aku benar-benar terjepit menghadapi masalah yang sama sekali diluar dugaan. Ah, Kang Eman mengapa hidup kita menjadi begini?
Hari yang dinanti yaitu pernikahanku dengan Kang Eman, akhirnya tiba juga. Aku sudah mempersiapkan acara pernikahan. Undangan sudah disebarkan kepada semua para tetangga dan kenalan orangtua, termasuk keluarga Kang Eman. Kubayangkan betapa indahnya aku akan menjadi permaisuri sehari, sementara Kang Eman menjadi raja yang gagah dan tampan.
Kulihat Kang Eman sangat lelah, bahkan ketika seminggu akan akad nikah, dia terlihat masih bekerja.
“Sudahlah Kang! Jangan terlalu lelah, jangan dipaksakan harus selalu diada-adakan, yang penting kita selamat!”
“Tidak aku ingin membahagiakan kamu. Bukankan pernikahan ini terjadi satu kali, jadi aku agar kamu terlihat lebih bahagia!”
Tentu saja aku bangga mendengar ucapan itu. Benar-benar Kang Eman mempunyai perhatian yang sangat besar pada diriku. Aku semakin menyayanginya.
Benar saja, Kang Eman memberikan uang besar yang sama sekali diluar perkiraan kepada orangtuaku dan menginginkan agar acara pernikahan ini mengundang penyanyi dangdut agar suasana bertambah meriah. Orangtuaku tidak keberatan, karena uang tersedia cukup besar.
“Mengapa tidak kita tabung saja uang itu? Kita kan bisa untuk mencicil rumah?”
kataku.
“Tidak aku ingin melewati pernikahan dengan kami memberikan kesan yang mendalam, baik terhadap para undangan maupun orangtua kamu,” katanya.
Aku tak bisa berkata sepatah katapun. Aku melihat ada perubahan yang menyolok selama beberapa hari terakhir ini. Aku tidak mengira, ia bisa memberikan uang sebesar 20 juta rupiah kepada orangtuaku. Uang darimana sebesar? Pertanyaan itu terus menggoda dalam pikiranku. Aku tidak mengerti dengan Kang Eman ini. Namun aku sama sekali tidak su’udhon apa yang telah dikerjakan olehnya. Aku percaya dia tidak mungkin berbuat hal yang melawan hukum.
Tiba juga hari pernikahan itu. Aku mengenakan baju pengantin sunda kebanggaanku. Sejak semalaman aku tidak bisa tidur nyenyak, ada rasa bangga dan gembira yang sulit kulukiskan. Ah, betapa indahnya besok aku resmi menjadi suami Kang Eman.
Ketika tiba puncak acara, kulihat wajah Kang Eman begitu berbinar, dimataku ia sangat gagah dan tampan. Aku benar-benar bahagia, kebahagiaan yang sulit sekali kubayangkan, terlebih saat itu semua keluarga dari aku dan Kang Eman berkumpul bersama-sama untuk ikut mengiringi kebahagiaan kami.
Di saat suasana sedang terjadi proses akad nikah, aku melihat ada dua orang lelaki berambut cepak ikut masuk ke tempat acara itu. Kami pikir itu adalah tamu undangan yang sengaja ingin menghadiri acara pernikahan itu. Namun kulihat geligatnya, dua orang lelaki yang berusia sekitar 30 tahuan itu nampak terus menerus menatap calon suamiku, seolah sedang meyakinkan, bahkan sesekali ia melihat sebuah gambar yang disimpan di saku.
Penghulu yang menikahkan kami pun tidak ada rasa curiga, sebab acara itu sangat sakral dan dihadiri banyak orang. Namun aku melihat sesuatu yang aneh dengan Kang Eman, mendadak wajahnya pucat pasi, berubah merah dan gugup. Beberapa kali mengucapkan ijab kabul yang lambat, sehingga harus di ulang-ulang. Namun akhirnya, dia bisa juga mengucapkan ijab kabul yang disaksikan banyak orang.
Aku bahagia telah resmi menjadi istri Kang Eman. Hatiku berbunga-bunga, kami akan menikmati masa-masa indah pengantin baru.
Namun ketika selesai ijab kabul, tiba-tiba dua orang lelaki tadi yang terus memperhatikan Kang Eman, langsung meminta berbicara kepada orangtuaku. Tentu saja kami heran dengan perilaku dua lelaki yang tidak dikenal itu.
“Maaf…kami datang ke tempat ini mencari seseorang yang berbahaya..,dia telah melakukan perampokan…!” ujarnya seraya mengelurkan senjata api. Tentu saja yang hadir di situ ketakutan.
“Siapa yang bapak cari itu?” tiba-tiba bapakku berkata lantang.
“Setelah kami amati ternyata…inilah orangnya…pengantin lelaki . Wajahnya sama dengan foto yang kami cari!” ujar sambil memperlihatkan sebuah foto Kang Eman.
Aku terhentak mendengar kabar itu. Kulihat wajah Kang Eman pucat pasi, ia tidak bisa berbuat apa-apa, ketika dua orang itu langsung menangkap Kang Eman dan kedua tangannya langsung dibrogol.
Aku menjerit histeris, menyaksikan kejadian yang sama sekali diluar perkiraanku.Aku harap ini adalah mimpi pahit. Namun beberapa kali aku mencubit kulit tanganku, aku yakin aku bukan sedang bermimpi, aku menghadapi kenyataan pahit, lebuh pahit dari empedu.
“Kang Eman…” hanya itu yang keluar dari mulutku, aku terjatuh ke lantai, pingsan menghadapi kenyataan ini.
Aku tak tahu bagaimana suasana acara pesta pernikahan itu, juga reaksi para udangan yang sudah mulai berdatangan. Aku tidak tahu, sebab aku jatuh pingsan lama sekali. Aku baru sadar ketika aku ditangisi oleh ayah dan ibuku. Aku menatap ke sekelilingku; beberapa kali aku menarik napas panjang, lalu aku menangis terisak-isak seraya merangkul ibuku yang nampak terpukul dan stress dengan kejadian ini.
Ya Allah, mengapa takdir ini begitu pahit harus menimpa diriku, aku tak kuat mendapat cobaan seberat ini. Ya Allah, berilah aku kekuatan untuk sabar dan tabah menghadapi ujian dari-Mu, keluhku dalam doa seraya meneteskan air mata duka. Aku bingung, sedih, marah, kesal berkecamuk dalam hatiku. Masa-masa indah pengantin baru, hanyalah sebuah impian belaka. ****TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar