Halaman

Senin, 20 Juni 2011

Tiga Tahun Berpisah dengan Ayah dan Ibu


                      
            KISAH ini dialami oleh seorang lelaki bernama Nana, yang berpisah dengan orangtuanya selama 3 tahun. Ia bertugas sebagai tentara di Kodam III/Siliwangi. Sekitar tahun 1950, ia bergerilya ke hutan untuk mengejar gerombolan yang merusak perkampungan penduduk. Selama bertugas ia tidak sempat bertemu dengan kedua orangtuanya, Bagaimana kisah Nana ini, berikut penuturannya kepada Kuswari.

            Masih teringat dalam benakku, ketika aku remaja yang tinggal di sebuah kampung Batugede Kadungura Garut, kira-kira usiaku 17 tahun, aku diajak oleh kawanku untuk mengikuti tes menjadi tentara di Kota Garut. Waktu itu aku sama sekali tidak berminat jadi tentara. Tetapi karena tidak ada pekerjaan yang bisa aku kerjakan, maka ajakan teman itu, aku ikuti juga. Aku tidak memberitahukan ke kota akan mendaftar menjadi tentara, tetapi
            Untuk ke kota Garut dari rumah harus berjalan kaki yang cukup jauh, disambung memakai delman, karena saat itu kendaraan umum masih jarang. Kami ngobrol sepanjang perjalanan. Suasana jalan masih sangat sepi, banyak pepohonan besar di pinggir jalan. Jalan ke Garut pada saat itu masih dijumpai beberapa binatang seperti babi hutan atau anjing hutan.
            Ketika kami tiba di Kodim, ternyata sudah banyak para remaja seusiaku yang datang dari berbagai daerah yang sama-sama mau mendaftar menjadi tentara. Kami pun segera mendaftararkan diri dan langsung harus menjalani tes. Kami  di tes fisik dan membaca. Aku bisa menjalani semua tes, dan alhamdulillah karena fisikku sehat dan bisa membaca serta  cocok sebagai prajurit, maka aku pun diterima sebagai anggota tentara.
            Sementara kawanku yang mengajak aku masuk tentara, justru tidak diterima karena fisiknya yang tidak cocok sebagai tentara, ia terlalu kurus dan badannya ketinggian, sehingga tidak masuk sebagai tentara.Aku kasihan juga, tatkala dia menyampaikan ketidaklulusan dalam tes. “Aku mungkin ditakdirkan bukan untuk menjadi tentara, mungkin kamu yang kuajak memang ditakdirkan sebagai tentara,” kata Ujang seraya menatap kearahku dengan sedih.
            Aku harus berada di kantor sampai sore, karena ada formulir yang harus diisi olehku sebagai persyaratan lain . Sedangkan Ujang pulang lebih duluan. Ada beberapa orang yang diterima sebagai tentara pada saat itu, semuanya harus mengisi formulir yang telah disediakan. Di samping itu juga, kami harus diwawancarai oleh perwira  untuk mengetahui keadaan kami.
            Besok harus datang lagi ke kantor untuk menjalani latihan fisik dan tinggal di asrama. Aku tidak memberitahu kepada kedua orangtuaku, kalau aku sudah diterima menjadi tentara. Kalau mereka tahu, terutama Ibu pasti akan melarang aku masuk tentara, ibuku sangat takut aku mati tertembak. Maka ia tidak pernah mengizinkan kalau aku masuk menjadi tentara. Padahal saat itu, sangat mudah bagi warga negara yang ingin menjadi tentara.
Besoknya aku terpaksa harus membohongi kepada kedua orangtuaku dan  mengatakan akan bekerja di kota di sebuah perusahaan. Aku dibutuhkan sebagai karyawan bagian administrasi dan akan tinggal selama beberapa hari di wisma perusahaan. Ketika hal itu aku sampaikan kepada ayah dan ibuku, mereka tampak gembira karena aku sudah dapat pekerjaan.
“Yang penting pekerjaan itu halal. Ibu hanya bisa mendoakan semoga kamu menjadi orang yang berguna di mana saja kamu berada,” kata Ibu dengan wajah diliputi kegembiraan
            Bapak pun memberi nasihat kepadaku:
            “Bapak hanya mendoakan. Daripada kamu menganggur tidak karuan, kamu lebih baik belajar untuk bekerja di perusahaan milik orang lain, toh profesi apapun yang dijalani seseorang adalah mulia, sepanjang profesi itu adalah untuk kebaikan kamu dan keluargamu,” katanya.
            Aku bangga mempunyai ayah yang mendorong anaknya untuk maju. Aku terpaksa membohongi mereka, sebab yakin ibu pasti tidak akan setuju aku harus menjadi tentara. Aku hanya pasrah saja, semoga jalan yang aku ambil ini adalah  jalan yang terbaik. Aku pikir tidak ada lagi yang bisa aku lakukan, apalagi aku hanya memiliki ijazah SMP, jadi aku harus bulat tekadku menjadi seorang prajurit.
            Aku pun meninggalkan ayah dan ibu serta adikku yang masih kelas 6 SD. Mataku basah dengan air mata tatkala aku harus meninggalkan mereka di kampung halaman. Selama ini aku belum pernah jauh dengan keluargaku. Di saat waktu senggang, aku sering membantu ayah menjadi tukang delman. Ayah memiliki beberapa ekor kuda yang disewakan ke beberapa tetangga. Yah, lumayan  uang yang kudapatkan aku belikan baju atau bermain-main ke desa lain untuk sekedar menyaksikan hiburan .
            Selama berada di asrama, aku berlatih fisik maupun mental dalam menghadapi musuh. Aku belajar teori strategi dan taktik bergerilya, termasuk juga bagaimana caranya bertahan hidup di hutan.  Berbagai ilmu yang semua tidak pernah kuketahui dalam kemiliteran, sedikit demi sedikit aku mulai menguasainya. Aku pun belajar menembak yang tepat sasaran ke arah musuh.
            Pelatihku seorang yang berwibawa dengan pangkat kapten, dia dikenal disiplin dan ingin sekali melihat agar tentara memiliki kedisiplinan tinggi dan rasa tanggungjawab yang besar untuk mempertahankan dan membela negara  RI. Aku merasa semakin dewasa berada dalam lingkungan militer. Aku dituntut untuk menjadi prajurit yang siap bertempur di medan laga, serta mati di medan perang mempertahankan negara adalah kematian yang terhormat.
            Selesai berlatih, aku pun mendapat tugas untuk mengamankan beberapa daerah yang mulai bergejolak karena pada saat itu keadaan negara belum stabil. Di bawah kekuasaan Ir. Soekarno, keadaan masyarakat  terpecah, terlebih lagi dengan Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) yang dicangkan Bung Karno mengakibatkan masyarakat terpecah belah, sebab ada kelompok Islam yang tidak menyetujui, terutama disandingkan dengan komunis.
            Aku sendiri kagum dengan Ir. Soekarno. Aku pernah menyaksikan beliau pidato di Lapang Tegallega. Aku saat itu menjadi penjaga keamanan. Kulihat jelas wajah Bung Karno yang berwibawa dan bicaranya yang bergelora memberi semangat kepada rakyat. Semua bertepuk tangan menyaksikan dan menyimak pidato Bung Karno; nyaris semua masyarakat yang mendengarkan terkesima dengan suaranya yang lantang. Beliau memang seorang orator yang ulung dan mempunyai wibawa yang luar biasa.
            Kenangan yang tak terlupakan adalah ketika Bung Karno lewat dihadapanku, karena kebetulan saat itu aku sebagai prajurit pengaman. Terasa sekali kebesaran beliau sebagai  seorang pemimpin bangsa. Aku menyaksikan sendiri pribadi beliau yang memang membuat orang berdecak kagum dengan cara pidatonya. Semangatnya yang bergelora telah menumbuhkan rasa cinta bagi rakyat Indonesia.
            Pengalamanku sebagai tentara semakin bertambah seiring dengan tugasku yang harus kulaksanakan. Sebagai tentara, harus tunduk dan taat kepada komandan. Tidak ada  perintah atasan yang diabaikan. Prajurit harus siap  tempur dalam keadaan dan situasi apapun juga.
            Walaupun berat tugas sebagai prajurit, namun menjadi tentara  telah menjadi pilihanku, sebab aku berpikir tidak ada lagi profesi lain yang harus kugeluti selain menjadi tentara dengan gaji yang pas-pasan. Aku menerimanya dengan lapang dada dan kusyukuri sebab tidak semua orang bisa menjadi tentara.
            Saat itu tengah ramai-ramainya pemberontatakan yang dilakukan oleh DI/TII di Jawa Barat. Gerakan DI/TII  terus melakukan upaya untuk bisa mendirikan negara yang berdasarkan syariat Islam. Sementara pemerintah yang sah mengangap gerakan yang dipimpin Kartosuwiryo harus dilawan dan disingkirkan, sebab akan sangat mengancam terhadap  kesatuan negara RI.  Aku bersama tentara lain ditugaskan untuk mengejar  para pemberontak negara itu ke ujung-ujung pelosok desa yang masih banyak hutan-hutannya.
            Masih kuingat aku berjalan kaki selama berjam-jam mengejar mereka yang masuk ke dalam hutan. Bersama  teman-teman di kesatuan, kami menyusuri perkampungan  dan hutan belantara. Namun anehnya, kami tidak menemukan jejak mereka, padahal pengejaran telah dilakukan secara bergerilya. Mereka seperti menghilang ditelan bumi. Aku heran dengan cara mereka  bersembunyi sama sekali tidak dapat dilacak, padahal kami telah mengerahkan pasukan yang lebih banyak.
            Kami terus berjalan dengan membawa senjara. Ketika makanan kami telah habis, maka kami berusaha untuk tetap bertahan hidup dengan makanan-makanan yang ada di hutan. Kami makan dedaunan yang bisa dimakan dan ayam hutan memang bisa diperoleh dengan cara yang cukup sulit. Kami harus membakar ayam hutan yang dapat kuperoleh. Beruntung bisa makan ayam, sebab biasanya kami makan dengan daging ular atau daging  bajing.
            Masa yang pahit dan mengenaskan bagi seorang prajurit adalah berada di tempat yang jauh kesana kemari, sementara persediaan makanan dan minuman sudah habis sejak beberapa terakhir ini. Di sinilah benar-benar sebuah ujian dan siksaan yang harus dapat kuatasi. Pernah satu hari kami tidak mendapatkan makanan, selain mendapatkan air pegunungan yang tidak sengaja kami temukan di sebuah  perbukitan. Kami minum dengan hausnya.
            Benar-benar tersiksa  sebagai prajurit yang harus melaksanakan tugas negara. Tetapi musuh yang kami kejar dan cari-cari sama sekali tidak pernah terlihat batang hidungnya. Pernah suatu malam, kami mengintai gerombolan yang merusak perkampungan dan  membakar rumah penduduk, karena diduga penduduk di sana telah membocorkan persembunyian kaum gerombolan. Tetapi ketika kami mengejar, mereka berlari bagaikan kijang yang kesetanan dan menghilang di hutan yang masih perawan.
            Meski diberondong dengan tembakan yang bertubi-tubi, namun tak ada seorang pun gerombolan yang tewas dalam pengejaran itu. Aku tak habis pikir, bagaimana mereka bisa secepatnya itu menghilang, padahal aku melihat bayangan saat mereka berlari kearah selatan.
            Melelahkan mengejar gerombolan itu. Kami sampai terlunta-lunta ke perkampungan yang semakin jauh. Sampaikan kami di sebuah perkampungan ketika waktu sudah hampir menjelang malam. Bergegas kami menemui kepala desa kampung itu, setelah diberitahu rumhanya oleh seorang warga yang kebetulan bertemu dengan kami.
            Pak Kades menerima kami dengan ramah ketika kami tiba di rumahnya. Kami memperkenalkan sebagai tentara siliwangi yang tengah bertugas mengejar gerombolan.
            “Kami bahagia dengan kedatangan bapak ke kampung ini. Memang ada saja ancaman dari gerombolan yang datang  ke sini, namun hanya ada beberapa orang saja. Sebagian besar mereka banyak bersembunyi di hutan-hutan,” tuturnya.
            Kami ngobrol dengan Pak Kades panjang lebar, sehingga suasana menjadi semakin akrab dan mengangap kami sebagai keluarganya.
            Malam itu, kami tidur di rumah Pak Kades. Kami dilayani dengan baik dan terbuka. Beberapa warga pun berdatangan untuk bertemu dengan kami. Dari mereka kami dapat informasi keberadaan gerombolan.
            Pengejaran selama berbulan-bulan itu, hasilnya ternyata tidak sia-sia. Pihak TNI saat itu dapat mengejar tokoh dan para anggota DI/TII, karena masyarakat turut serta membantu melancarkan penangkapan itu. Keberhasilan menangkap para tokoh itu merupakan keberhasilan yang membanggakan pihak TNI.
            Semua prajurit yang tergabung dalam  pengejaran itu mendapat penghargaan pemerintah berupa kenaikan pangkat. Aku sendiri mendapat kenaikan pangkat karena turut serta mengejar musuh.
            Tugas-tugas selanjutnya ternyata tidak berhenti sampai di situ. Aku mendapat tugas lain  untuk mengamankan keadaan di beberapa daerah. Sebagai negara yang baru merdeka, banyak sekali masalah yang dihadapi terutama masalah keamanan. TNI pada saat itu menjadi tumpuan negara, apalagi mulai timbul pemberontakan dari orang-orang yang tidak puas dengan keadaan negara yang terus menerus dihadapkan dengan masalah politik.
            Masa tahun 1950 sampai 1960, merupakan tahun-tahun  yang sangat genting di negara Indonesia. Stabilitas politik masih rentan dengan berbagai masalah terutama sikap Bung Karno yang mengembangkan demokrasi terpimpin dan  sebagai presiden seumur hidup, telah menimbulkan gejolak yang mengkhawatirkan. Ketidakpuasan beberapa orang tokoh politik menimbulkan perbedaan yang sangat tajam, sehingga keadaam semakin runyam.
            Sebagai tentara yang berarti tugas dari negara harus dilaksanakan berakibat aku semakin jauh dengan keluarga. Aku harus menerima keadaan seperti ini. Saat ditugaskan ke beberapa daerah untuk mengamankan negara, aku tidak sempat lagi berkomunikasi dengan keluarga. Saat itu komunikasi sangat sulit, apalagi keluargaku berada di perkampungan yang jauh dari kota.
              Ada kerinduan untuk pulang ke kampung halaman, ingin bertemu dengan ayah dan ibu, namun sesuatu yang mustahil, sebab aku harus tunduk pada aturan sebagai prajurit. Selama kurang lebih tiga tahun, aku meninggalkan ayah dan ibu, mereka tidak tahu keberadaanku. Aku sendiri bingung untuk memberi kabar kepada mereka, sebab aku berada jauh di tengah hutan mengejar pemberontak yang muncul kembali dari kelompok yang berbeda.
            Baru aku menyadari sepenuhnya ternyata menjadi tentara pada zaman revolusi lebih berat risikonya, terutama harus siap dengan segala apa yang akan terjadi, termasuk menghadapi kematian ditembak musuh, yang sama-sama masih bangsa Indonesia sendiri. Aku kerapkali sedih dan menangis bila mengingat keadaan negara yang terus menerus dirongrong oleh orang-orang yang tidak merasa puas.
            Saat itu  aku masih teringat ketika aku berada di hutan mengejar beberapa pemberontak yang kembali muncul dan membuat keonaran kepada penduduk desa serta perkampungan.  Banyak warga desa yang kehilangan tempat tinggal, karena rumahnya dibakar oleh pemberontak. Peristiwa semacam itu, bukan sekali saja dialami oleh warga yang tinggal di desa. Sebagai tentara pun seringkali harus terus mengejar kelompok pemberontak yang masuk ke hutan-hutan. Entah sudah berapa kali aku harus terjun mengejar mereka ke hutan, seperti tahun  yang lalu.
            Demi menjaga keamanan dan stabilitas negara, maka aku harus menumpas gerakan pemberontakan itu sampai ke akar-akarnya. Namun kali ini aku harus mengelilingi perbukitan dan pegunungan yang hutannya lebat. Aku bersama kawan-kawan melakukan strategi dengan jalan mengepung pemberontak agar tidak lari ke daerah lain.
            Kami mengejar mereka di daerah kawasan hutan di daerah Ciawi Tasikmalaya. Aku menyusuri hutan-hutan yang diperkirakan tempat persembunyian mereka. Namun ternyata sejauh kami berjalan, mereka tidak dapar ditemukan, selain petani yang ada di sawah serta perkampungan penduduk.
            Ketika pencarian selama sebulan tidak membuahkan hasil dan pasukan ditarik lagi ke Bandung, maka kesempatan itu aku manfaatkan untuk bisa bertemu dengan kedua orangtuaku yang tinggal di Batugede Kadungora Garut.  Aku minta izin kepada komandan akan mengunjungi mereka yang sudah hampir 3 taun tidak bertemu. Semula mereka tidak mengizinkan, namun setelah aku berjanji akan kembali setelah bertemu kedua orangtua, barulan komandan mengizinkan.
            Aku pun meninggalkan pasukan yang akan kembali ke Bandung. Dari Ciawi aku akan melanjutkan menuju ke daerah Garut. Lumayan melelahkan sekali. Saat itu, kendaraan masih sangat jarang  bahkan nyaris tidak ada sama sekali. Daripada menunggu lama kendaraan yang tidak juga muncul, akhirnya aku putuskan untuk berjalan kaki saja.
            Sambil bertanya-tanya kepada warga di daerah yang aku lewati, aku terus berjalan menuju ke daerah Batugede.  Pakaiaku sudah kotor dan wajahku  yang semula bersih sudah terlihat agak hitam karena seringkali terkena sinar matahari. Aku terus melangkah kaki meski lelah, tapi ada rasa kerinduan dalam dada, sebab sudah tiga tahun belum menginjakkan kaki ke tempat kelahiranku.
            Ketika tiba di sebuah sungai, bergegas aku memburu sungai itu. Aku ingat sungai itu tempat dulu aku suka mandi dan berenang bersama teman-teman sekampung. Airnya terlihat bersih. Aku bahagia, beberapa menit lagi aku akan sampai ke rumah. Tak terbayangkan betapa ayah dan ibuku akan sangat bahagia bisa melihat anaknya yang kembali ke rumah dengan sehat.
            Selesai mencuci muka di sungai dan membersihkan kaki dan tanganku yang kotor, aku melanjutkan perjalanan ke arah barat. Di jalan aku bertemu dengan seorang perempuan tua, yang berkali-kali menatap kearahku. Aku menanyakan rumah Bapak Omo, nama bapakku. Wanita itu menunjukkan kearah selatan. Aku mengucapkan terima kasih.
            Aku terus berjalan, namun kuingat-ingat wajah wanita itu, aku baru sadar setelah agak jauh, kalau yang aku tanya itu adalah masih keluargaku sendiri, dia keponakan bapakku. Pantas saja ia beberapa kali menatap wajahku, mungkin penasaran atau heran melihat wajahku.
            Ketika aku sudah tiba di halaman rumahku. Tiba-tiba aku mendengar suara seorang wanita yang sangat kuhapal suaranya, dia memanggil namaku. Itulah ibuku yang sudah lama menanti kedatangaku. Dia berlari mendekatiku dan langsung saja merangkul aku. Dia menangis histeris karena gembira bisa melihat kembali aku berada di depan matanya.
            “Ibu mengira kamu sudah meninggal dunia….Alhamdulillah kamu selamat…kemana saja selama ini? Mengapa kamu tega membiarkan ibu dan bapakku?”
            Aku tak mampu menjawab pertanyaan itu, selain mencucurkan air mata. Aku merasa berdosa dan bersalah, karena tidak sempat memberi kabar kepada mereka. Bapakku yang sedang berada di dalam rumah, bergegas keluar rumah ketika mendengar suara tangisan.
            Bapak hanya terpaku sambil berdiri di dekat pintu seraya menatap kearah kami yang masih berpelukan. Beberapa tetangga yang rumahnya berdekatan keluar mendengar suara tangisan ibuku.
            Mereka kaget melihatku, sebab fisikku sudah berubah. Kulitku yang dulu putih kini menghitam, serta pakaianku kumal. Semua hanya menatapku dengan keheranan. Bapak mendekati kami dan menyuruh kami masuk.
            “Ibu dan bapak aku minta maaf….aku selama ini bertugas sebagai tentara yang ditugaskan ke beberapa daerah yang jauh dan tidak sempat memberi kabar, karena tugas dari negara,” kataku dengan suara sendu saat kami sudah duduk bersama.
            “Bapak sudah mencari ke sana kemari tentang kamu dan menanyakan kepada teman-teman kamu, namun mereka tidak tahu dimana kamu berada. Kami sudah mengangap kamu sudah meninggal dunia, namun ternyata kamu masih ada dan selamat…syukurlah kami masih bisa datang  ke sini!” kata bapak dengan berlinang air mata.
            “Sekali lagi, maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakiti bapak dan ibu, semua ini semata-mata karena tugas dari kesatuanku, aku harus mengamankan negara dari para pemberontak,” ucapku dengan suara parau.
            “Jadi kamu  menjadi tentara?” tanya Ibuku dengan mata menatap kearahku.
            “Iya, Bu! Tidak ada pilihan lain, inilah yang terbaik bagiku. Aku sudah menjadi tentara dan mendapat gaji setiap bulan…aku bertugas di Kodam III/Siliwangi,”
            Bapak dan ibuku hanya saling pandang.
            Bapakku kemudian berkata,”Ya, kalau itu adalah baik bagi kamu. Bapak tidak bisa menolak keinginan kamu, apalagi kamu sudah resmi menjadi  tentara dan mendapat gaji dari pemerintah,”
            Ibuku tak bisa berkata apa-apa lagi, selain menggeleng-gelengkan kepala. “Ibu hanya mendoakan saja agar kamu selamat menjalankan tugas  sebagai tentara,”
            Beberapa hari aku tinggal di rumah bersama kedua orangtuaku untuk melepaskan kerinduan selama 3 tahun tidak pernah bertemu. Aku banyak ceritera suka duka selama bertugas di daerah-daerah yang jauh. Mereka hanya mendengarkan apa yang aku tuturkan.
            Selama tiga hari aku berada di rumah, sebab aku harus segera kembali ke Bandung untuk menjalani tugas baru sebagai prajurit. Menjadi tentara adalah pilihanku dengan segala risiko yang harus kuhadapi. ***Tamat
           
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar