Kisah nyata ini dialami oleh Gunawan (sebut saja begitu). Istrinya direbut oleh seorang lelaki yang memang di daerah itu merupakan seorang preman yang ditakuti, bernama Toteng (Bukan nama sebenarnya). Toteng terkenal karena kejahatannya . Sehari-hari kerjanya memeras dan meminta uang kepada penduduk di daerah itu. Kalau tidak ada yang memberi, ia tidak segan-segan memukul dan menendang. Semua orang takut menghadapinya, karena ia memiliki ilmu yang disebut pancasona, sulit dilumpuhkan dan ditaklukkan. Bahkan ketika kepalanya sudah dipenggal, ia bisa hidup kembali. Aneh bin ajaib! Istri Gunawan suatu ketika direbut oleh Toteng dan Gunawan sendiri disiksa serta dipukul bertubi-tubi hingga jatuh pingsan dan masuk ke rumah sakit. Gunawan sakit hati dan dendam diperlakukan begitu. Ia pun belajar kepada seorang kyai yang pintar untuk membunuh Toteng. Kuswari mengisahkannya
AKU sebenarnya dilahirkan di daerah Garut. Namun karena istriku bertempat tinggal di Majalaya Kab. Bandung, maka aku pun tinggal di daerah itu. Pekerjaanku hanyalah sebagai seorang pedagang di pasar dengan keuntungan yang cukup lumayan untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari. Kuakui istriku memang cantik dan boleh dikata menjadi bunga desa yang banyak menarik para pemuda di daerah itu. Pertemuanku dengan istriku sungguh tidak terduga, ketika ia bermain ke rumah kakaknya di Garut. Dari pertemuan pertama kali itulah, akhirnya aku berhubungan dengan Ririn, yang kini menjadi istriku.
Kami hidup rukun dan damai, sebab istriku mau menerima apa adanya tentang aku. Meski sebagai pedagang di pasar, terkadang ada saja kerugian atau dagangan tidak laku, namun Ririn tidak pernah mengeluh. Dia selalu mendorong aku dan kerapkali menasihati agar sabar dalam menjalani kehidupan ini. Sikap dan perilakunya sungguh wanita yang sangat baik, sehingga aku semakin mencintai pribadinya.
Selama hampir lima tahun dilewati berumah tangga dengan Ririn, tidak ada masalah yang serius, kecuali kebahagiaan apalagi istriku memberiku dua anak yang lucu-lucu. Aku sendiri sudah bisa membangun rumah meski tidak terlalu besar. Hidup kami tentram dan usahaku secara perlahan mengalami kemajuan yang menggembirakan.
Namun sungguh tak diduga, kalau suatu ketika aku mengalami malapetaka yang sangat menyakitkan hati seumur hidup. Istriku, entah bagaimana caranya, tiba-tiba berubah pikiran dan direbut oleh seorang preman bernama Toteng (bukan nama sebenarnya). Aku memang tahu dengan preman itu, sebab hampir setiap hari meminta jatah uang kepada para pedagang. Para pedagang banyak yang memberi bila diminta, sekedar untuk membeli satu bungkus rokok atau sepiring nasi. Tidak ada yang berani melawan terhadap Toteng, sebab dia akan marah dan tidak segan-segan langsung menempeleng siapa saja yang berani melawan.
Pernah ada seorang pedagang yang melawan kepada Toteng karena tidak memberi uang yang diminta sebesar lima ribu rupiah (waktu itu uang sebesar itu sangat besar),namun pedagang itu tidak menghiraukan. Toteng yang kesal sejak tadi tidak diacuhkan, langsung saja mengeluarkan pisau tajam dan tanpa berpikir lagi, langsung menusukkan ke perut pedagang itu. Suasana di pasar menjadi ramai dan ibu-ibu menjerit histeris melihat darah bercucuran. “Jangan coba-coba melawan terhadap saya!” ujarnya lantang seraya mengambil uang beberapa ribu rupiah di dompet pedagang yang meringgis kesakitan. Aku yang melihat kejadian itu, segera menolong dan membawa ke rumah sakit.
Tidak ada seorang pun yang berani melapor ke polisi, sebab urusannya akan menjadi panjang. Toteng dengan sikapnya yang pendendam akan membuat perhitungan dengan siapa saja yang berani melawan. Dia sudah terbiasa berurusan dengan polisi, namun polisi tidak lama mengeluarkannya. Toteng memang ditakuti oleh polisi. Dia tidak segan-segan melakukan santet terhadap polisi yang berurusan dengan dirinya. Soal santet? Dia memang menguasai ilmu itu.
Sebenarnya sudah banyak orang yang sakit hati dengan perilaku Toteng itu. Selain memeras, ia pun kerapkali memerkosa wanita yang diinginkan. Tidak ada yang berani melakukan perlawanan terhadapnya, karena berat risikonya. Itu sebabnya, warga lebih banyak diam saja diperlakukan apapun oleh lelaki itu. Banyak yang mendoakan agar Toteng segera mati atau menjauh dari daerah ini atau jatuh sakit. Tetapi jangankan jatuh sakit, justru warga tidak mengerti, selama ini ia tidak terdengar sakit.
Rumah tangga Toteng tergolong “awet rajet”, sudah lebih 7 kali dia menikahi wanita, namun selalu berakhir dengan perceraian. Istrinya tidak akan tahan hidup bersama lelaki yang kasar seperti dia. Selain ringan tangan, dia jarang sekali memberi nafkah untuk kebutuhan sehari-hari. Istrinya dibiarkan saja melarat, bahkan terkadang meminta makan kepada tetangga.
Anak-anak Toteng dibiarkan begitu saja, sehingga terpaksa istri-istrinya mengurus sendiri setelah berpisah dengan dirinya. Semua istri Toteng hidup menderita, bahkan ada yang meninggal dunia karena terus menerus mendapat siksaan. Dia sendiri seolah tidak merasa kasihan dengan tindakan keras kepada istrinya. Kalau sudah tidak suka dengan istrinya, maka dengan mudahnya ia meninggalkan begitu saja, tanpa ada beban. Ia memang lelaki yang tidak bertanggungjawab.
Ia semakin mendalami ilmu kesaktian diri yang semakin hebat. Bahkan ia pernah memperlihatkan kehebatan yang luar biasa. Suatu ketika, di pasar yang tidak jauh dari Terminal, banyak orang yang berkumpul berdesa-desakan. Aku sendiri heran, ada apa gerangan. Ternyata dari kabar yang kudengar, Toteng sedang memperagakan ilmu yang baru dipelajari. Aku tak acuh dan tidak ingin melihatnya. Tetapi semua orang-orang ribut dan ramai.
Rasa penasaran menodorong aku melangkahkan kaki untuk menyaksikan apa yang sedang didemontrasikan Toteng dihadapan banyak orang. Meski berdesak-desakan aku ingin melihat apa yang diperagakan lelaki itu.
“Jangan macam-macam dengan si Toteng…aku sudah mempelajari ilmu kesaktian diri yang dinaman Pancasona…nah kalau kalian ingin melihat ilmu ini…berkumpul dan saksikan sekarang juga…,” teriaknya dengan bangga diri dan kesombongan.
Semua orang menatapnya tanpa berkedip. Di tengah-tengah kerumunan warga, Toteng berdiri dan di depannya ada air yang disimpan dalam ember. Entah untuk apa air itu. Aku sendiri ingin tahu apa yang akan diperbuatnya. Tiba-tiba dia mengeluarkan senjata tajam sedang samurai yang panjangnya dua meter. Lalu dengan tiba-tiba, Toteng memotong leher kepalanya sendiri, yang tentu saja semua warga yang melihat menjerit histeris, kaget dan tidak percaya menyaksikan keajaiban itu. Tidak sedikit warga yang menjauh dan muntah melihat kepala berpisah dengan badan. Aku sendiri terbelalak melihat keanehan itu. Baru pertama kali aku saksikan!
Kepala Toteng menggelinding jatuh ke tanah dengan darah mengucur deras. Tetapi dia masih berdiri dengan tangan kanannya masih memegang pedang. Kepala yang jatuh itu, segera diambil oleh tangan kirinya. Dia lalu mengambil air yang ada di ember. Air itu disiramkan ke kepalanya sendiri, lalu diletakkan kembali ke lehernya sendiri dan suatu keajaiban terjadi seketika, kepala Toteng menempel kembali dalam hitungan detik. “Hah….aneh! kunaon bisa kitu euy!” teriak warga yang melihat demontrasi aneh itu. Semua warga berdecak kagum melihat keganjilan Toteng. Sungguh luar biasa ilmu yang dimiliki lelaki sakti ini.
“Ha…ha…ha…inilah ilmuku yang baru….maka jangan coba-coba dengan aku!” Toteng tertawa terbahak-bahak melihat semua warga yang menyaksikan tak berkedip matanya. Ia terlihat semakin sombong dan angkuh serta mengangap semua orang berada di bawah kesaktiannya. Beberapa orang anak buahnya, bergegas memburunya, lalu memangku Toteng dengan penuh kegembiraan.
Kehebatannya nyaris tidak ada yang menandingi, sehingga dengan mudah ia menguasai beberapa wilayah. Semua pedagang, sopir atau pemilik kendaraan wajib setoran kepada Toteng dalam jumlah uang tertentu. Anak buahnya yang dimanfaatkan untuk mengelola keuangan. Setiap hari anak buahnya setoran. Di Terminal, tidak ada yang berani menolak permintaannya. Perintahnya bagaikan sang raja yang tidak boleh ditentang.
Aku tak mengira kalau suatu hari, terjadi malapetaka kepada diriku. Tanpa disangka, Toteng berjalan-jalan ke pasar dan bertemu dengan istriku. Saat itu istriku sedang berada di warung menunggui. Aku tidak tahu, bagaimana kejadiannya, hanya yang jelas aku mendengar istriku tiba-tiba menjerit-jerit histeris. Aku yang kebetulan sedang berada di belakang warung, bergegas mendekati. Betapa aku kaget, kulihat istriku sedang ditarik-tarik oleh Toteng mau dibawa.
Tidak ada yang berani menolong, sebab semua orang tahu, kalau Toteng sudah mempunyai keinginan kepada seorang wanita, tidak ada yang bisa menolak meskipun wanita itu sudah mempunyai suami.
“Hai…lepaskan istriku!” aku berteriak lantang dan nafsuku membludak dalam dada. Toteng melepaskan tangan istriku, lalu menatap kearahku dengan marah besar.
“Kamu siapa hah? Berani sekali kamu melawan keinginanku!” tanyanya dengan bibir bergetar penuh rasa nafsu.
“Aku tidak rela, istriku diambil sama kamu!” kataku. Istriku bergegas mendekatiku dan mengajak segera pulang ke rumah, sebab ia tahu kesaktian Toteng.
“Hebat kalau begitu!” ucapnya seraya mengeluarkan pisau tajam dan langsung menusukkan kearah badanku. Aku segera menghindari tusukan itu dengan meloncat ke belakang. Istriku menjerit menyaksikan itu.
Toteng secara membabi buta terus melancarkan serangan kearahku. Aku terus mundur ke belakang dan mencari posisi aman. Terus terang saja, aku sangat polos dan tidak menguasai ilmu bela diri, sehingga aku menjadi gugup dan berusaha untuk melarikan diri. Aku semakin terdesak karena Toteng terus mengejar. Tidak ada yang berusaha menolongku, selain mengingatkan kepada Toteng agar tidak diteruskan untuk menyakitiku.
Serangan Toteng tidak bisa dibendung, beberapa kali aku menangkis serangan itu, sehingga darah berkucur di tanganku. Kulihat dia semakin bernafsu ingin menghabisi nyawaku. Aku semakin tersudut dan terjepit. Tiba-tiba pisau yang tajam menancap di perutku, sehingga aku merasakan sakit luar biasa. Aku terjatuh dan ambruk dengan mengeluarkan darah segar. Toteng lalu meninggalkan aku dalam keadaan terluka.
Beberapa orang segera memburuku dan membawaku ke rumah sakit. Aku masih sadar ketika sampai di rumah sakit,langsung dimasukkan ke bagian emergency dan ditangani dokter. Masih kurasakan pisau yang menancap di perutku ditarik oleh dokter, dan aku jatuh pingsan karena sakit luar biasa.
Entah berapa lama aku pingsan di rumah sakit. Hanya saja ketika aku sadar aku sudah berada di salah satu ruangan perawatan. Tidak ada siapa-siapa di ruangan itu, kecuali aku sendirian. Tidak lama aku kedatangan mertuaku yang laki-laki dengan air mata berlinang. Istriku tidak ada. Ketika aku tanyakan, membuat aku terhentak dan kaget.
“Toteng sudah membawanya…entah kemana?” ujarnya dengan tangisan tersedu-sedu. Betapa aku marah dan nafsu bergejolak istriku diambil lelaki jahat itu.
Aku hanya bisa menangis dan tak bisa berbuat banyak,sebab aku menyadari tidak menguasai ilmu bela diri apapun. Aku memang lemah. Dua anakku yang masih kecil diasuh oleh ibu mertua yang sangat menyayangi mereka. Dalam hatiku aku menyimpan dendam berkepanjangan. Aku harus membuat perhitungan dengan si Toteng yang telah menghancurkan masa depanku.
Ketika aku dinyatakan sudah sembuh dan bisa pulang ke rumah, aku terpukul sebab istriku tidak diketahui keberadaannya. Ia seperti ditelan bumi. Toteng telah merebut dan mengambil istriku. Entah sekarang berada dimana?
Aku tidak tahu, apa yang diperlakukan Toteng terhadap istriku. Sejak kejadian itu, istriku tidak pernah pulang ke rumah. Aku tidak tahu bagaimana nasibnya. Aku sedih dan kasihan kepada kedua anakku yang selalu menanyakan keberadaan ibunya. Aku pernah mencari-cari dan menanyakan keberadaan Toteng. Namun sama sekali tidak diketahui. Aku dengar-dengar istriku dibawa ke daerah Banten. Hancur sudah hatiku. “Aku harus membuat perhitungan dengan si Toteng!” ucapku dalam hati.
Rasa dendamku tumbuh dalam jiwaku, aku akan membuat perhitungan dengan lelaki kasar itu. Aku yakin sehebat-hebatnya manusia di muka bumi ini, akan ada yang mengalahkan. Kehebatan Toteng ada titik lemahnya yang harus aku pelajari dan kuasai ilmunya. Itu sebabnya, aku mulai merencanakan untuk melakukan balas dendam, mengingat kalau dia dibiarkan hidup akan sangat berbahaya bagi orang lain. Kalau perlu dia harus dilenyapkan di dunia ini.
Aku mulai bertanya-tanya kepada beberapa orang yang memahami dan menguasai ilmu untuk melumpuhkan dan melenyapkan Toteng. Berdasarkan informasi dari beberapa orang, aku diberitahu ada seorang kyai yang tinggal di Banten dan bisa mengalahkan ilmu yang dimiliki oleh Toteng. Aku tertarik ketika mendengar informasi itu. Aku akan berusaha untuk mencari sampai bertemu dengan kyai itu. Aku akan belajar sungguh-sungguh demi melenyapkan nyawa si Toteng yang berbahaya.
Aku yakin suatu ketika Toteng akan datang lagi ke daerah Majalaya, sebab dia memang dilahirkan di daerah itu. Tetapi biasanya dia tidak lama, sudah muncul kembali. Kejadian itu bukan sekali dua kali, tetapi sering terjadi. Pernah dia menghilang selama beberapa tahun, kemudian muncul lagi.
Aku sedih memikirkan istri dan kedua anakku. Bagaimana dengan nasib istriku sekarang, apakah masih hidup atau sudah mati? Kasihan pula kepada kedua anakku yang masih membutuhkan kasih sayang ibunya. Aku berusaha untuk bersabar menghadapi ujian yang sangat berat itu. Aku hanya berdoa semoga, istriku berada dalam lindungan Allah Swt.
Setelah memikirkan secara matang, akhirnya aku berencana untuk menemui kyai yang ada di Banten yang bisa menaklukkan ilmu yang dikuasai oleh si Toteng. Mertuaku tak bisa melarangku saat aku mempunyai keinginan untuk mempelajari ilmu yang bertujuan melenyapkan si Toteng. Mereka mengizinkan aku. Aku pun menitipkan kedua anakku, dan menyuruh untuk dijual saja rumahku kalau kekurangan biaya.
Tekadku sudah bulat untuk mempelajari ilmu bela diri. Kalau sudah kumiliki ilmu itu, aku akan mencari Toteng untuk melakukan pembalasan dan menanyakan keberadaan istriku. Aku menyiapkan perbekalan secukupnya. Setelah pamitan kepada mertua, aku pun melangkahkan kaki untuk menemui seorang kyai yang namanya sudah ada di kantong dan nama pesantrennya.
Ternyata letak pesantrennya cukup jauh dari daerah Banten. Aku harus naik lagi kendaraan menuju sebuah perkampungan yang agak terpencil. Memang Kyai Faqih, sebut saja begitu namanya, terkenal sebagai jawara yang dihormati di Banten. Ilmunya luar biasa hebat, bahkan menurut beberapa orang di Banten dia setiap hari melaksanakan sholat di Mekkah. Wah, luar biasa hebat, bagaimana bisa ke tanah suci?
Meski jalan menuju ke lokasi tempat tinggalnya cukup terjal dan melewati gunung dan perbukitan, namun akhirnya aku sampai juga lokasi pesantren milik Kyai Faqih. Ketika bertemu dengan beliau, nampak ia tersenyum dan langsung menerima kehadiranku di pesantren.
Sebelum kusampaikan maksud dan tujuanku datang ke menemui beliau. Kyai Faqih yang berbadan agak kecil dan kulitnya hitam serta sorot matanya tajam, telah berkata : “Aku sudah tahu kedatangan kamu ke sini. Aku pun tahu masalah yang kamu hadapi, sekarang yang ingin aku tanyakan kepada kamu: Apakah kamu datang ke sini masih menyimpan dendam atau tidak?” tanyaku seraya menatapku tajam.
Sebelum menjawab, aku terperangah kalau beliau sudah tahu masalah yang kuhadapi. Setelah menarik napas, aku menjawa pertanyaan beliau.
“Ya, aku menyimpan dendam kepada Toteng, karena dia mengambil istriku…”
“Sikap dendam itu merupakan penyakit yang berbahaya. Kamu harus menyingkirkan dulu dalam hati sifat jelek itu. Kalau kamu sudah bisa menghilangkan, maka kamu akan bisa mengalahkan musuh kamu. Si Toteng itu tidak ada arti apa-apa. Dia akan hancur dengan kesombongannya sendiri. Kamu pun bisa mengalahkan hanya dalam beberapa jurus saja. Hanya saja kamu harus benar-benar ikhlas dalam menegakkan kebenaran, kamu harus niat lillahi ta’ala dalam melawan si Toteng. Ia akan kalah oleh kamu,kalau kamu tinggal di sini selama satu tahun dan kamu mengikuti latihan yang aku ajarkan,” katanya.
“Pak Kyai, aku akan mengikuti apa yang kyai katakana. Aku mohon untuk bisa tinggal di sini. Aku akan mengikuti petunjuk Pak Kyai!”
“Kamu tinggal di sini…kamu harus bangun malam setiap hari jam 12 malam. Kamu harus melaksnakan puasa daud selama tinggal di sini. Kamu harus sholat tahajud, lalu ikuti gerakan yang akan aku ajarkan kepada kamu!”
Aku menganggukkan kepala sebagai tanda setuju mengikuti petunjuk dari Kyai Faqih. Sejak itulah aku menginap di Pondok Pesantren dengan ketekunan dan kesunggugan sebab aku bertekad untuk mengalahkan ilmu yang dimiliki Toteng. Setiap hari aku mengurangi tidur, dan memperbanyak shalat tahajud dilanjutkan dengan zikir selama berjam-jam.
Pagi harinya aku dilatih gerakan silat dengan jurus-jurus yang selama ini aku tidak pernah mengenalnya. Kaki dan tanganku dilatih untuk bisa memukul dan menendang secara tepat sasaran. Tidak itu saja, aku pun dilatih tenaga dalam untuk menguatkan daya pukulan secara cepat. Ada pula ilmu yang aku pun baru mengenalnya yaitu tanpa disentuh lawan jatuh. Ilmu ini harus diiringi dengan latihan fisik dan mengolah tenaga dalam.
Aku konsentrasi penuh dan berlatih sungguh-sungguh mendalami ilmu bela diri. Aku yakin bisa mengalahkan Toteng yang memang memiliki ilmu yang tinggi. Kyai Faqih selalu mengingatkan :”Sehebat apapun kekuatan manusia tetap lemah dihadapan Alloh. Oleh karena itu, yang Maha Hebat, Maha Gagah dan Maha Besar hanyalah Alloh semata. Musuh akan kalah terhormat bila dikalahkan dengan kebaikan. Itu yang harus kamu ingat. Namun menghadapi si Toteng, maka kamu harus yakin sepenuhnya kepada Alloh,kamu bisa mengalahkan meskipun agak sulit dan berat, sebab ilmu dia itu ditunggangi iblis yang sudah lama bersemayam dalam jiwanya,”
Tak terasa kalau aku sudah ada setahun berada bersama Kyai Faqih dan aku mengalami perubahan yang sangat menggembirakan, aku menguasai jurus-jurus untuk menaklukkan Toteng. “Kalau memang dia sulit untuk dibunuh dan tubuhnya menyatu kembali setelah berpisah, maka jalan satu-satunya, dia harus dijauhkan dari air. Jangan sekali-kali dekat dengan air, sebab air menjadi kekuatan orang yang mempelajari ilmu itu,”
Aku menyimpan amanat Kyai Faqih sedalam-dalamnya dalam hati, kuikat dalam ingatan dan kucatat dalam otakku sebab aku akan menghadapi orang yang luar biasa kehebatannya. Tetapi aku yakin, aku bisa mengalahkan dengan pertolongan Alloh Swt. Dengan mengucap bismillah demi berjuang membela kebenaran dan keadilan aku bersiap-siap pulang dari pesantren. Sebelum meninggalkan pesantren, Kyai Faqih mendoakan aku dengan khusyu dan aku tetap berada dalam lindungan dan ampunan Alloh Swt.
Kembali ke daerah asal istriku, aku langsung menemui mertuaku. Betapa mereka bahagia melihat aku datang. Anak-anakku sangat gembira kedatanganku. Namun istriku, tetap tidak diketahui rimbanya. Entah masih ada atau sudah meninggal. Kali ini aku bertekad akan mencari istriku dan melawan si Toteng yang sudah menghancurkan keluargaku.
Aku bertanya kepada beberapa orang yang ada dit terminal, ternyata si Toteng setiap hari minggu datang ke terminal untuk mengambil setoran uang. Informasi itu aku manfaatkan untuk bisa bertemu. Di rumah, tidak lupa aku terus menerus memperbanyak zikir dan berdoa agar Allah Swt memberi kekuatan dan kemampuan untuk menaklukkan ilmu yang dimiliki Toteng.
Hari minggu, benar saja aku melihat Toteng sedang berjalan ke arah terminal. Segera saja aku kejar lelaki itu. Dia nampak menatapku tajam sekali saat aku menghentikannya.
“Kamu siapa hah? Berani sekali menegurku?” katanya lantang.
“Masa kamu lupa…ingat aku dengan kamu ada perhitungan. Aku mau menanyakan; dimana istriku kamu bawa?”
“Oh…rupanya kamu ya…kamu berani sekali. Aku tak dengan istriku…aku tidak pernah ngurus istri orang lain?”
“Dasar lelaki kurang ajar…Sekarang saatnya aku harus melakukan perhitungan dengan kamu…”
Wajah Toteng nampak merah. Terlihat jelas kalau dia merasa tersinggung dengan ucapanku. Aku tenang-tenang sebab, sebab aku sengaja memancing dia untuk marah terlebih dahulu.
“Tidak kukira kalau di sini ada orang yang berani melawanku…” katanya.
“Sudah saatnya aku akan membalas sakit hatiku yang selama ini aku pendam. Aku hanya membela kebenaran dan menanyakan istriku yang kamu ambil setahun yang lalu, dimana dia sekarang?
“Yang aku ambil bukan hanya istri kamu. Banyak wanita yang kuambil..jadi aku tidak tahu…sekarang maunya kamu apa?”
“Aku akan membunuh kamu sekarang juga…karena keadaan kamu di daerah ini sangat meresahkan warga…dan sudah sepantasnya kamu harus mati ditanganku!”
“Wah…kamu berani sekali berkata begitu…aku ini sudah banyak membunuh manusia…di penjaran aku sudah terbiasa…sekarang kamu berani melawanku!”
“Aku sudah siap menghadapi kamu…kamu sudah harus bertobat karena dosa-dosa kamu sudah terlalu banyak…kalau kamu tidak segera bertobat, saatnya aku akan melawan kamu!”
“Kalau begitu bagus, aku sudah lama tidak berkelahi…jangan di sini tempatnya…tetapi di Lapang Tegal, agar semua warga menyaksikan,!”
Lapang Tegal berada 2 km dari Terminal yang dipakai untuk pertandingan adu domba atau pertandingan sepakbola .
“Baik besok aku sudah menunggu di Lapang Tegal…sekarang bersiap-siaplah kamu untuk menghadapi kematian!”
Aku tersenyum sini mendengar ucapan itu. Toteng segera saja berlalu meninggalkan aku.
Hari itu juga bergegas mendatangi Kantor Polisi yang tidak jauh dari Terminal. Aku melapor akan berkelahi dengan Toteng besok hari di Lapang Tegal, tentu saja Polisi yang memang sudah kenal denganku merasa kaget. Tetapi setelah aku jelaskan bahwa perkelahian ini semata-mata adu kekuatan dan kalau ada pihak yang menang, tidak akan ada tuntutan hukum.
“Jadi polisi hanya sebagai saksi saja. Aku melakukan ini demi keamanan di daerah, karena si Toteng sudah bertindak keterlaluan dan harus segera dilenyapkan di muka bumi ini,”
Komandan polisi yang bertubuh agak gemuk, menganguk-angukkan kepalanya. Dia hanya berpesan agar perkelahian diakhiri dengan kekelurgaan dan harus mengakui kepada yang menang dan kalah.
Malam hari, aku bangun dan melakukan shalat tahajud dalam upaya memohon pertolongan Allah Swt, sebab aku yakin tanpa ada pertolongan yang Maha Kuasa, aku tida ada arti apa-apa.
Rupanya perkelahian aku dengan Toteng telah menyebar luas ke seluruh penduduk, sehingga pagi itu banyak warga yang sudah berkumpul. Di pasar dan terminal, semua warga membicarakan hangat akan terjadinyanya perkelahian. Mereka penasaran ingin menyaksikan perkelahian yang pastinya akan menjadi ramai, sebab selama ini Toteng dikenal sebagai preman yang sulit untuk dibunuh. Pernah beberapa bulan yang lalu ada perkelahian serupa yang dimenangkan oleh Toteng. Kali ini pun tentu akan memakan korban. Namun meski ada yang terbunuh, tetapi Toteng tidak ditahan, karena sesuai dengan perjanjian, siapa yang menang tidak akan berurusan dengan polisi.
Perkelahian kali ini telah menyedot perhatian warga. Meski tidak diiklankan di radio atau surat kabar, namun warga sudah antusias ingin menyaksikan perkelahian yang mendebarkan itu. Bahkan beberapa orang dari daerah lain, sengaja berdatangan ingin menyaksikan pertarungan yang sangat jarang itu.
Petugas keamanan yang sengaja datang dari kepolisian ikut menjaga dan mengatur perkelahian itu, dibantu oleh Hansip yang ada di desa. Mereka hanya bertugas mengamankan jalannya perkelahian. Meski secara hukum, jelas perkelahian ini tidak dibenarkan, tetapi karena keinginan dua orang itu, maka polisi tidak bisa berbuat banyak.
Di lapang terbuka, warga sudah mengelilingi tempat yang akan dijadikan perkelahian. Beberapa orang memanfaatkan peristiwa itu dengan berjualan makanan ringan serta membuat tenda kecil untuk melayani orang-orang yang akan membeli. Suasana menjadi ramai, ketika aku sudah hadir di lapang. Aku mengenakan celana hitam pendek dan kaos oblong.
Ketika aku sudah masuk ke lapangan, semua warga bersorak dan bertepuk tangan riuh mendorong terjadinya perkelahian ini. Tidak lama kemudian, Toteng pun masuk ke arena pertandingan dengan diiringi suara riuh rendah dari warga yang akan menyaksikan.
“Siapa yang kalah dan menang di pertandingan ini, tidak akan berurusan dengan polisi. Perkelahian ini akan berakhir dengan kematian diantara kami…maka warga yang menyaksikan perkelahian ini diharapkan untuk tidak menganggu dan membantu salah seorang diantara kami. Kami sudah siap untuk mati dan memenangkan perkelahian ini…” ujar Toteng dengan suara keras.
Baik aku maupun Toteng tidak membawa senjata tajam, namun beberapa orang warga sengaja menyediakan clurit, pedang samurai atau bedog dan kampak untuk dipergunakan sebagai alat untuk membunuh. Mereka sengaja menyediakan senajata tajam, karena kalau tidak memakai senjata tajam, perkelahian tidak akan ramai.
Aku hanya menganggukkan kepala. Hatiku berkonsentrasi penuh kepada Allah dan selalu memohon petunjuk agar diberi kekuatan dan kemenangan dalam perkelahian ini. Aku senantiasa berzikir dalam hati, sebab aku yakin bahwa yang memiliki kekuatan hebat itu hanyalah Allah Swt.
Ketika kami telah sama-sama berdiri di tengah lapang, seketika suasana ramai dengan tepuk tangan dan suitan warga yang bersemangat menyaksikan perkelahian maut. Aku tenang saja menghadapi Toteng dan tidak akan lebih dahulu melakukan serangan. Biar dia saja yang memukul.
Tiba-tiba Toteng langsung menyerangku dengan tangan kosong. Terasa hembusan tangannya sangat kuat, berarti pukulannya bukan sembarangan. Aku menangkis serangkan itu dan langsung tangan kananku membalas memukul wajahnya. Tetapi dia cepat berkelit.
Perkelahian sangat menegangkan, apalalagi selama 30 menit, saling pukul dan tending yang pas mengenai sasaran. Kami saling gerak cepat untuk melumpuhkan lawan. Aku pun beberapa kali terdesak dengan pukulan Toteng yang keras dan bertenaga kuat. Bahkan aku sempat terjatuh dan menjadi bulan-bulanan, namun aku segera bangkit dan membalas serangan. Toteng terjatuh dan aku segera membalas dengan tendangan ke mukanya. Beberapa kali aku bisa menendang wajah dan kepalanya. Namun ia tampak tidak kesakitan.
Tendanganku cukup keras mengenai wajahnya, dan kupikir dia akan muntah darah. Namun dia justru tertawa terbahak-bahak saat aku menendangnya. Aku menggelengkan kepala.
“Kamu tidak akan bisa mengalahkan aku, aku ini orang yang kuat dan tidak bisa dibunuh…” katanya dengan sombong dan tertawa sini mengejekku.
“Insya Allah, tidak ada yang hebat dan kuat di dunia ini, kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala,” kataku.
“Jangan bawa-bawa nama Alloh di tempat ini, aku benci dan tidak suka!” katanya seraya menerjangku dengan pukulan yang sangat keras. Kali ini bukan pukulan sembarangan, karena terasa dari jarak jauh kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya begitu hebat, sehingga aku sempat hampir jatuh. Aku berusaha untuk tegak berdiri dan siap menyambut pukulan itu.
“Dug….!” Aku menangkis serangan itu dengan tangan kiri. Aku mengeluarkan tenaga dalam sehingga aku terpental ke belakang, begitu pula Toteng. Kulihat wajah Toteng merah dan marahnya bergelora dalam dada.
Sementara itu penonton yang semakin padat, tidak henti-hentinya bersorak-sorak dan bertepuk tangan tatkala melihat kami terjatuh. Selama 30 menit kami menjadi sebuah tontonan gratis yang menarik. Sebagian warga ada yang memanfaatkan dengan bertaruh dan dikumpulkan uangnya di salah seorang yang menjadi coordinator. Mereka menjadokan salah seorang diantara kami.
Pihak kepolisian tidak berani memisahkan kami, sebab mereka sudah sepakat bertarung sampai ada salah seorang yang tewas dan tidak akan ada tuntutan dari keluarga korban. Tidak kurang 10 orang polisi menjaga keamaan dan ikut menyaksikan pertandingan maut yang sangat mendebarkan jantung.
Terus terang saja, memang tidak mudah mematikan gerakan lawan yang gesit, lincah dan berani ini, seperti Toteng. Beberapa kali aku hampir tersudut dan ditekan terus dengan tendangan dan pukulan yang mematikan, sehingga aku sempat terjatuh ke belakang dan leherku dicekik sekuat tenaga. Aku sudah kehabisan napas dicekik Toteng dan berusaha tanganku untuk melepaskan cekikan itu. Tapi jari-jari tangannya sangat kuat mencengkram leherku.
Aku berusaha bersikap tenang dan menahan napas dalam tempo yang cukup lama. Dalam hatiku aku berdoa penuh konsentrasi, dan tiba-tiba dalam tubuhku merasakan kekuatan yang sangat besar sekali. Lalu tangan kananku menghantam ulu hati Toteng “Bug” terdengar suara pukulanku yang seketika itu juga dia berteriak kesakitan melepaskan cekikan.
Aku berdiri tegak dan segera mengambil senjata tajam pedang yang tidak jauh dari situ. Aku segera memburunya dan menyabetkan pedang itu ke arah lehernya. Semua penonton tegang menyaksikan peristiwa itu, apalagi ketika leher Toteng dipenggal dan kepalanya terlempar. Darah yang kental berwarna merah mengucur dari leher Toteng.
Tangan Toteng segera meraih kepala itu, lalu secepat kilat menempelkan kembali ke lehernya. Aneh sekali! Kepala yang sudah berpisah itu mendadak menyambung kembali. Tentu saja para penonton melongo tidak percaya melihat kejanggalan itu. Namun akhirnya semua berteriak dan bertepuk tangan. Memuji kehebatan Toteng. Warga banyak yang menggelengkan kepala melihat keanehan itu.
Toteng tertawa sini melihatku kaget dengan kejadian itu, namun aku sudah tahu, bahwa memang dia memiliki ilmu yang luar biasa hebat. Aku tidak tinggal diam, segera menghunus pedang ke arah perut. Kukira dia akan menghindar, tetapi justru sebaliknya dia membiarkan perutnya terkena sabetan pedang tajam.
“Bret….!” Kudengar perutnya terluka dan mengeluarkan darah segar. Kemudian, ususnya keluar, yang membuat banyak yang melihat ngeri menyaksikannya. Tetapi kembali keanehan terjadi, usus yang sudah terburai keluar oleh Toteng dimasukkan kembali, lalu ia mengambil air yang tidak jauh dari situ. Seketika luka yang mengangga itu hilang.
Aku menggelengkan kepala menyaksikan peristiwa ganjil itu. Penonton pun semakin terkagum-kagum menyaksikan kehebatan ilmu yang dimiliki Toteng. Ia seperti tidak mengenal rasa sakit. Bahkan kini semakin ingin memperlihatkan kehebatannya di hadapanku.
“Sekarang tunggu pembalasanku!” teriak Toteng seraya tersenyum sinis. Ia mengambil pedang tajam yang sudah disediakan di situ. Lalu secepat kilat memukulkan kearah wajahku. Namun aku segera menghindar, tetapi diluar dugaan rupanya dia sudah tahu kemana aku akan bergerak. Aku terpepet dan seketika pedang itu mengenai wajahku. Aku berteriak dan mengaduh kesakitan. Kukira wajahku akan terbelah dua, namun aneh aku sama sekali tidak terluka. Aku tersenyum, inilah kekuasaan Alloh diperlihatkan kepadaku.
Toteng seperti tidak percaya kalau aku sama sekali tidak terluka, dia menatapku tajam dan berkata lantang :”Wah, kamu hebat! Namun aku sama sekali tidak takut, itu belum apa-apa,” katanya seraya menyerang kembali kearahku.
Aku tidak tinggal diam, segera saja aku membalas serangan itu dengan mengayunkan pedang kearah perut. “Bresssss” Pedangku dengan mudah menusuk perutnya sampai ke belakang. Toteng tidak terlihat kesakitan, dia malah tertawa terbahak-bahak, mengejekku
Memang hebat! Aku salut dengan ilmu yang dimilikinya. Namun aku yakin bisa mengalahkan sebab aku belum mengeluarkan semua ilmu yang kuperoleh dari kyai Faqih. Aku segera mencabut pedang yang menancap di perutnya. Darah segar keluar dari perut Toteng, namun seketika dengan mengambil air, luka itu langsung sembuh.
Kekuatan Toteng terletak pada air, sebab kusaksikan beberapa kali dia terluka segera saja mengusapnya dengan air. Berarti kalau begitu aku harus menjauhkan dia dari air. Aku berpikir keras, bagaimana caranya agar dia tidak dekat dengan air? Jalan satu-satunya aku harus mencari tempat ke lain yang tidak ada airnya, entah itu sungai atau kolam.
Aku pun memburu kembali dengan pedangku mengarah kepada wajahnya. Aku mencerca wajahnya dengan pedang bertubi-tubi.Lalu aku menyabet lehernya, sehingga terputus. Tidak aku biarkan kepalanya, aku mengambilnya dan langsung berlari sekencangnya.
Badan Toteng yang tidak ada kepalanya, bergerak cepat berlari mengejar kearahku. Tentu saja semua penonton bersorak dan ada pula yang bengong karena ada manusia yang berlari tanpa ada kepala. Toteng mengejar ke arah daerah yang cukup jauh yang memang sengaja aku pilih. Suasana menjadi ramai dan banyak yang tersentak kaget, karena baru pertama kali menyaksikan ada manusia berlari tanpa kepala.
Rambut di kepala toteng aku pegang kuat-kuat. Aku terus berlari dengan kecepatan tinggi. Sementara warga ikut berpencar dan berlarian ingin menyaksikan perkelahian lanjutan. Toteng yang berlari tanpa kepala membuat heboh di daerah itu. Sebagian warga terutama kaum wanita ada yang ketakutan dan memilih pulang ke rumah.
Aku membawa ke sebuah perbukitan yang jauh dari air. Kepala Toteng aku hancurkan dengan senjata tajam, sehingga terbelah menjadi beberapa bagian. Aku potong telinga dan hidungnya serta matanya aku keluarkan.
Tidak lama, tiba-tiba tubuh Toteng sudah ada di depanku. Disusul kemudian warga yang berlarian ke perbukitan ingin menyaksikan perkelahian yang sangat seru itu. Toteng segera mengambil potongan kepala, namun secepat kilat aku menyabetkan senjata tajam ke tangan kanannya. Tangan Toteng terlepas jatuh ke tanah dengan darah bercucuran. Aku tidak membiarkan dia mengambil tangan yang terlepas, segera senjata tajamku mengarah kepada kakinya agar tidak berjalan.
Kaki Toteng pun terpisah, sehingga dia terjatuh ke tanah. Suasana warga menjadi ramai bersorak dan bertepuk tangan riuh.
Aku tak membiarkan Toteng mempunyai kesempatan untuk bisa mengambil kaki dan tangannya kembali, sebab akan sangat berbahaya. Dia akan bisa menyambungkan kembali anggota badannya yang terlepas. Itu sebabnya, aku segera memisahkan anggota tubuhnya dan melemparkan ke tempat yang jauh.
Badan Toteng menggelepar-gelepar saat berada di tanah. Darah terus mengucur deras dari tubuhnya yang terluka. Dia berusaha bangkit dari tanah dengan satu kaki. Namun aku tidak membiarkannya, sebab khawatir dia bisa menyambungkan kembali anggota tubuhnya. Aku segera memburu dan menyebetkan senjata tajam ke perut Toteng, sehingga perutnya terburai mengeluarkan usus.
Warga yang menonton bersorak gembira, dan sebagian masih penasaran dengan kehebatan ilmu yang dimiliki Toteng. Bahkan mereka masih yakin kalau Toteng akan bisa hidup lagi meski telah berpisah seluruh anggota tubuhnya.
Aku menarik napas panjang. Aku masih penasaran, apakah Toteng akan bangkit lagi setelah badannya rusak dan berpisah jauh?. Sesaat aku masih berdiri di tempat itu menyaksikan anggota tubuhnya yang sudah berlumuran darah. Kaki dan tangannya masih bergerak-gerak, demikian pula perutnya yang terburai.
Aku menunggu beberapa saat, ingin tahu reaksi yang akan terjadi dengan Toteng ini. Dalam hati aku tidak lupa terus wirid dengan menyebut asma Allah sebanyak-banyaknya dan memohon agar Toteng tidak hidup lagi, sebab dia merupakan manusia yang jahat dan berbahaya.
Suasana tampak tegang. Warga berdesak-desakan ingin menyaksikan jasad tubuh Toteng yang sudah berpisah. Ada beberapa orang yang memukul dengan kayu, mungkin memiliki rasa dendam yang tidak terungkapkan.
“Jangan dibiarkan, kita harus membakar atau mengubur secepatnya tubuh itu, sebab bisa saja kembali lagi!” ujar salah seorang diantara warga yang menyaksikan perkelahian maut itu.
“Pokoknya harus cepat dimatikan, ia sangat berbahaya kalau masih hidup,”
“Buang saja ke sungai,”
“Bakar saja!”
“Kubur saja!”
Masing-masing orang mempunyai pendapatnya masing-masing, sehingga suasana menjadi ramai dan riuh rendah oleh suara warga.
Beberapa orang warga ada yang segera berinisiatif mengambil bahan bakar premium lalu segera membakar tubuh Toteng. Kaki dan tangannya segera ditumpuk. Warga pun berteriak-teriak merasa puas melihat kondisi Toteng yang semakin hancur oleh api.
“Tidak ada cara yang paling cepat, harus segera dibakar!” ujar warga yang membawa bahan bakar minyak itu.
Api cepat sekali membakar tubuh Toteng, sehingga dalam beberapa menit saja, tubuh Toteng sudah menghitam arang.
Aku bergegas mencari air untuk membersihkan tubuhku. Kebetulan tidak jauh dari bukit ada Mushola, aku bergegas mencuci tubuhku yang banyak bercak darah. Aku lalu berwudhu dan melaksanakan sholat di mushola untuk mengungkapkan rasa syukur telah mengalahkan orang yang sangat ditakuti dan disegani di daerah itu.
Toteng akhirnya benar-benar dinyatakan telah mati dan tidak bisa bangkit lagi. Ilmunya yang hebat, ternyata tidak ada arti apa-apa. Aku banyak memuji oleh warga, namun aku mengingatkan bahwa semua itu adalah semata-mata karena izin dan ridho dari Allah Swt.
“Manusia itu tidak ada yang jago dan hebat, sehebat apapun seseorang, suatu ketika akan mengalami kehancuran tubuhnya. Yang Maha Hebat dan Maha Kuasa hanyalah pencipta langit dan bumi ini, yaitu Allah Swt. Kita wajib menyembah dan beribadah kepada Allah,” kataku seraya pamitan kepada warga akan pulang ke rumah.
Aku pun berjalan kaki pulang untuk menemui anak dan mertuaku. Aku berharap istriku bisa segera bertemu dan hidup kembali bersama-sama kami, membangun rumah tangga yang diridhoi Allah Swt.Aku yakin istriku akan datang kepadaku setelah tahu kalau Toteng mati di tanganku. Aku percaya istriku seorang yang snagat setia dan patuh kepadaku.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar