Sebagai wanita yang hanya lulusan SD dan tinggal di daerah perkampungan yang jauh dari kota, aku mempunyai keinginan yang sama dengan teman sekelasku, namanya Diana. Dia teman dekat sewaktu kami sama-sama sekolah. Rumahnya tidak jauh denganku. Namun dia bernasib baik, dalam usia yang masih muda, dia bisa membanto orang tua dan bekerja di Saudi Arabia selama 3 tahun lebih. Sungguh mencenggangkan dan ternyata ketika pulang ke Indonesia, dia bisa membeli rumah, sawah, dan kendaraan mobil. Perubahan yang luar biasa itu telah menimbulkan perbincangan antartetangga, sehingga tidak mengherankan apabila banyak warga terutama kaum wanita yang ingin mengikuti jejak seperti Diana.
Melihat perubahan yang drastis terhadap Diana, Aku tentu saja iri melihat dia bisa mendadak kaya dalam waktu yang begitu cepat, sementara aku yang bekerja sebagai buruh pabrik, tidak pernah merasakan nikmatnya tidur di kasur empuk atau makan di café dengan daging ayam yang rasanya enak. Diam-diam aku mempunyai keinginan yang sama dengan Diana, Aku ingin berubah! Aku tidak mau terus menerus dalam duka dan derita, apalagi keadaan orangtuaku yang tidak bisa diandalkan. Mereka yang bekerja di kebun dan sekali-kali membantu tetangga mencuci pakaian, kapan bisa menjadi kaya?
Aku berontak terhadap keadaan yang semaka sekali tidak aku inginkan itu. Aku berpikir jauh ke depan dan memikirkan agar hidup yang kelak kujalani bisa sesuai dengan impianku yang begitu indah. Aku ingin seperti mereka yang bisa mengendarai kendaraan sendiri atau setiap satu minggu bisa pergi ke salon untuk memperbaiki wajah dan rambutnku. Impianku begitu indah dan aku benar-benar terbuai dengan mimpi itu!
Apalagi kemudian dia berangkat lagi untuk melanjutkan kontrak kerja ke Saudi Arabia. Setahun kemudian, rumah sederhana bapaknya yang dulu terbuat dari kayu, sekarang telah berubah menjadi rumah yang permanent dan depan rumahnya ada sebuah mobil yang sengaja dibeli. Diana menjadi perbincangan di kampung kami, karena dia menjadi sosok wanita yang kaya raya.
Dia temanku sejak masih SD, bahkan aku ingat dia selalu bersama-sama kalau pergi dan pulang sekolah. Orangnya sangat pendiam dan jarang sekali bicara. Setelah keluar dari SD, orangtuamya lalu menikahkan dengan seorang lelaki yang masih ada hubungan leluarga. Di kampung kami, sudah adat dan kebiasaan menikahkan anaknya dalam usia yang relative masih sangat belia. Sayang, Diana tidak lama mempunyai suami, karena suaminya menceraikan dengan meninggalkan seorang anak lelaki.
Entah bagaimana jalan ceriteranya, aku hanya mendengar dari sesama temanku kalau Diana sudah bekerja di Saudi Arabia. Aku sempat kaget dan tidak percaya, namun setelah aku menanyakan langsung kepada ibunya, memang dia sudah berada di Saudi Arabia, bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada salah seorang majikan yang kaya raya.
“Gimana sih caranya dia bisa ke sana?” tanyaku.
“Menurut Diana, dia mendaftarkan dulu ke sebuah perusahaan yang ada di Jakarta, kemudian dia ditampung di sana selama beberapa bulan, kemudian tidak lama bisa berangkat. Apakah kamu berminat juga bekerja di Arab?,” jawab ibu Diana yang memang sudah mengenal aku sejak dulu.
“Ya, ingin mencoba dulu.Soalnya bekerja di si ni gajinya kecil dan tidak seberapa,”
“Berapa sih biayanya untuk mendaftar ke perusahaan di Jalarta!”
“Kalau Diana membawa uang dari sini hanya dua juta rupiah, katanya untuk kebutuhan selama menginap di Jakarta,”
“Alamat di Jakarta dimana ya Bu?”
“Sebentar, kalau tidak salah Ibu menyimpan alamatnya,”
Ibu Diana lalu pergi ke belakang. Selama berada di rumah, mataku tak berkedip melihat keadaan di dalamnya. Berbagai perabot rumah tangga yang harganya cukup mahal sudah ada di situ, dari mulai lemari es, mesin cuci, TV besar, lemari kaca dan lain-lain. Aku hanya menarik napas dalam-dalam dan dalam dadaku terbit rasa keinginan yang mengebu-ngebu untuk bisa seperti Diana. “Pokoknya aku harus bisa ke Arab, menjadi orang kaya raya seperti temanku,” bisik hatiku dengan pikiran yang menerawang.
Ketika alamat sebuah perusahaan pengerah jasa tenaga kerja sudah kuperoleh dari Ibu Diana, bukan main aku berbahagia, apalagi ketika di situ pun ada nomor teleponnya. Aku mengucapkan terima kasih kepada Ibu Diana.
Tanpa sepengetahuan kedua orangtuaku, aku sudah bulat akan pergi ke Arab Saudi, sebab aku menyimpan uang dalam tabungan yang tidak kurang dua juta rupiah. Kupikir uang itu akan cukup untuk bisa berada di Jakarta. Aku tidak perlu menyampaikan niatku kepada kedua oranguaku, sebab mereka tidak pernah akan mengizinkan dengan alasan bahwa aku masih sangat muda. Ya usiaku memang masih 17 tahun, usia yang sangat muda sekali. Namun di kampungku tidak sedikit yang sudah mempunyai anak atau sudah menjanda karena bercerai dengan suaminya.
Esok harinya, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Aku segera mencari wartel untuk bisa menghubungi perusahaan jasa tenaga dan menanyakan berbagai persyaratan. Seorang lelaki yang memberikan penjelasan dari perusahaan itu dan menyuruhku untuk mencatat semua persyaratan. Memang tidak rumit semua persyaratan yang jelas aku harus membawa uang dua juta rupiah sebagai ongkos selama tinggal di asrama.
Impianku menjadi orang kaya selalu menari-nari dalam benakku, apalagi ketika aku membayangkan dalam tiga tahun aku akan bisa membeli rumah dan sawah. Aku hidup dilimpahi uang yang tidak sedikit. Kemudian juga, aku bisa menyimpan uang di bank untuk bekal di masa yang akan datang. Bila teringat tentang impian itu, aku suka tersenyum sendiri.
Rencanaku sudah bulat untuk segera pergi ke Jakarta dan mendatangi alamat yang sudah kumiliki itu. Kedua orangtuaku tidak curiga ketika aku mengatakan akan ke Jakarta mencari pengalaman dan bekerja di sana.
“Kenapa kamu mendadak begitu mau ke Jakarta? Memangnya di sana tinggal dengan siapa?” tanya ibuku dengan mengeryitkan alis.
“Pokoknya Ema dan Apa jangan khawatir, sebab aku ada teman di sana yang siap memberikan pekerjaan dengan gaji yang besar!”
“Bukan begitu, tapi kamu kan wanita. Kamu harus hati-hati, soalnya Jakarta itu berbeda dengan di daerah kita. Kamu harus hati-hati!”
“Pasti aku behati-hati, Ema dan Apa izinkan aku ke Jakarta untuk mencari pengalaman baru,” kataku dengan sedikit memaksa.
“Ema sebenarnya keberatan kamu ke Jakarta, tetapi karena kamu memaksa, apa boleh buat, Ema hanya bisa mendoakan!”
“Doakan saja, semoga aku menjadi orang yang sukses di Jakarta dan pulang ke kampung halaman bisa membeli rumah dan sawah,” kataku optimis.
Apa tak bisa berbuat banyak saat diberitahu aku akan ke Jakarta untuk bekerja. Aku berusaha meyakinkan Apa dengan mengatakan kalau di Jakarta aku sudah mempunyai kenalan yang bisa dipertanggungjawabkan.
“Apa jangan khawatir, aku akan menjaga diriku sebaik-baiknya. Doakan saja agar aku menjadi orang yang sukses dan pulang membawa rezeki yang banyak,” kataku.
Apa hanya menatapku dengan wajah diliputi kecemasan. Aku bisa memaklumi, Apa sangat polos dan tidak banyak bicara. Ketika aku akan pergi ke Jakarta, Apa hanya menatapku dengan perasaan sedih. “Apa belum ridha kamu pergi ke Jakarta. Apa hanya bisa mendoakan saja!” katanya.
Aku melangkahkan kaki keluar rumah dengan perasaan berkecamuk tak menentu. Dalam benakku terbayang kalau aku kelak akan menjadi orang yang kaya seperti Diana. Kampungku akan aku tundukkan dengan kerja kerasku di Saudi Arabia. Aku yakin bisa menjadi orang yang patut diperhitungkan.
Ketika bus melaju meninggalkan terminal, hatiku pun berdebar-debar tak karuan. Aku hanya memegang alamat perusahaan yang sudah kusimpan di tasku. Kukira tidak sulit alamat itu, apalagi ada nomor teleponnya. Kuharap selama menuju alamat perusahaan itu, aku tidak mengalami kesulitan.
Sebagai orang yang baru pertama kali ke Jakarta, aku dibuat bengong menyaksikan gedung-gedung yang menjulanng tinggi serta jalan layang yang berliku-liku. Sesaat aku hanya terpaku berada di Jakarta. Benar-benar luar biasa keadaan di Jakarta. Hiruk pikuk terasa bergema ketika aku turun di Terminal. Banyak pedagang asong yang menawarkan jajanan, serta calo yang juga menawarkan kendaraan untuk disewa.
Aku tidak menghiraukan semua yang ada disekelilingku. Aku bergegas mencari wartel, sebab kalau aku menanyakan ke operator perusahaan yang aku tuju, mereka pasti akan memberikan informasi yang jelas dan lengkap. Benar saja ketika aku menanyakan harus naik kendaraan apa dan berhenti dimana, operator di kantor menjelaskan secara rinci dan aku disuruh untuk menemui Pak Beni.
Setelah semuanya jelas, aku bergegas naik kendaraan sesuai dengan informasi yang aku peroleh. Kendaraan berwarna coklak dengan nomor 102. Aku pun naik angkutan kota. Tidak lama perjalanan, aku sudah sampai di sebuah perusahaan yang cukup besar. Di situ ada plang dengan hurup yang jelas sekali.
Seorang satpam menyambutku saat aku menanyakan Pak Beni. Satpan itu mencatat nama dan alamatku. Lalu Dia menyuruhku masuk ke ruangan. Di situ ternyata sudah banyak pula wanita yang hampir seusiaku denganku. Tidak kurang 10 orang mereka tengah duduk menunggu panggilan. Aku pun duduk di kursi yang sudah tersedia disitu. Ruangan itu tidak terlalu besar, namun cukup untuk menampung 10 orang. Kursi yang ada di situ, bermerk chitos yang terlihat sudah agak rusak. Ada tulisan di dinding : Selamat Datang di Perusahaan Kami. Jam dinding tertempel di dekat pintu masuk ke ruangan pimpinan. Waktu sudah menunjukkan jam 14.00.
Dilihat dari wajah dan bicaranya, aku tahu kalau mereka semuanya berasal dari Jawa. Usianya bahkan ada yang lebih bawah dariku. Aku hanya mendengarkan dan memperhatikan apa yang sedang mereka perbincangkan. Namun aku bingung, sebab tak aku pahami maksudnya. Mereka menggunakan bahasa Jawa yang medok sekali.
Seorang demi seorang, mereka dipanggil masuk ke dalam. Aku mendapat giliran yang terakhir. Lumayan kesal juga, namun aku harus sabar. Mereka yang sudah dipanggil tidak keluar lagi. Aku tidak tahu, mereka kemana? Mungkin di kantor itu ada wisma untuk menetap, pikirku. Aku penasaran, ingin tahu keberadaan kantor itu.
Ketika tiba giliranku, aku segera berdiri dan melangkahkan kaki menuju sebuah ruangan yang tidak terlalu jauh dengan ruangan tamu. Aku berhadapan dengan seorang lelaki yang berusia kira-kira 40 tahunan. Wajahnya bulat dan sedikit agak gemuk. Kulitnya agak hitam, namun dia sangat ramah, murah senyum. Aku merasa betah ketika sudah berhadapan dengan lelaki itu. Apalagi ketika menanyakan tentang identitas aku dan maksud serta tujuan aku datang ke perusahaan ini.
“Aku ingin bekerja di Saudi Arabia,” jawabku saat dia menanyakan apa tujuan aku datang kemari.
“Tapi kamu harus sabar menunggu dulu visa dari Saudi Arabia. Kamu harus tinggal di asrama dan belajar sedikit demi sedikit bahasa Arab, agar kelak selama di sana kamu bisa menyesuaikan diri,”
Aku menanggukkan kepala. Kemudian dia meminta uang muka untuk tinggal di asrama, sebesar satu juta rupiah.
“Berapa uang yang harus saya siapkan akan berangkat ke sana?”
“Kamu jangan khawatir, perusahaan yang akan menanggung semuanya.Hanya saja kamu harus menandatangani perjanjian dengan perusahaan. Kamu pokoknya tinggal saja di sini,”
“Berapa lama aku harus berada di sini?”
“Tergantung visa yang dikirim dari Saudi Arabia. Bisa cepat, bisa juga lama!”
“Apa yang harus aku kerjakan selama berada di sini?”
“Ya, kamu harus menunggu visa dan bekerja apa saja yang bisa kamu kerjakan.,”
“Aku tidur dan makan dimana?”
“Semuanya sudah kami sediakan. Kamu tinggal berlatih dan belajar bahasa arab. Nanti ada yang membimbing,”
Aku menganggukkan kepala. Selanjutnya aku disuruh menandatangani surat perjanjian kerja. Banyak sekali kalimat yang tercantum disitu, membuat aku malas untuk membacanya. Yang penting bagiku, aku bisa cepat kerja. Aku tidak mau ketentuan yang tercantum di situ. Terserah perusahaan tentang aturan kerja, yang penting aku bisa terbang ke Arab Saudi.
Selesai menandatangani perjanjian kerja, aku kemudian disuruh menempati ruangan nomor 20. Bayangan yang terlintas dalam benakku, wisma yang ada di perusahaan ini cukup untuk ditempati 5 atau 10 orang. Namun ketika aku berjalan di antara beberapa ruangan, aku melongo karena banyak sekali wanita yang tinggal di situ, bahkan ada pula yang usianya masih sangat muda, mungkin lulusan SD.
Setiap ruangan diisi tidak kurang 50 orang dan tidur hanya beralaskan tikar dengan bantal yang menggunakan kantong atau cukup dengan kardus yang ditutup kain. Suasana sangat sumpek dan ramai. Kulihat beberapa orang sedang bercakap-cakap, bahasa campur; ada bahasa sunda, jawa, batak dll. Mereka berasal dari berbagai daerah yang sama-sama ingin mengadu nasib di luar negeri.
Ruangan itu cukup besar juga. Berukuran sekitar 15 x 15 meter persegi. Lantainya berkeramik warna putih. Ada kipas angin yang selalu menyala dan membuat Suasana tidak terlalu gerah. Setiap meter di ruangan itu sudah diisi oleh beberapa orang berasal dari tempat tinggalnya yang sama. Mereka berkelompok antara 4 sampai 6 orang dan terlihat sedang serius bercakap-cakap.Sebagian lagi ada yang sedang menyeterika baju dan membereskan piring bekas makan siang. Beberapa orang sedang
Ada 2 ruangan kamar kecil yang digunakan oleh seluruh penghuni yang tinggal di situ. Kulihat ada beberapa yang berdiri di kamar kecil, mungkin sedang menunggu giliran masuk ke kamar kecil.
Beberapa orang yang tadi berada di ruangan bersamaku, terlihat berada di sudut, aku bergegas kepada seorang wanita yang tadi sempat saling sapa. Dia mengangukkan kepala ketika aku mendekati dan mengajakku agar tinggal tidak jauh dengannya.
“Sudah saja di sini dengan aku, kita bisa ngobrol!” katanya. Aku mengangukkan kepala dan duduk tidak jauh dengan dia. Sesaat aku hanya mengamati lingkungan di sekitar wisma itu. Di luar halaman, berjejer berbagai baju yang sedang dikeringkan matahari. Suasana selalu ramai dengan perbincangan setiap orang.
Tinggal di wisma yang sumpek, pengap dan kadangkala makan seadanya membuatku merasa tidak betah berlama-lama berada di situ, namun aku berusaha bertahan sebab perusahaan melarang setiap calon pekerja untuk meninggalkan wisama. Mereka selalu menjanjikan kalau tidak lagi akan ada visa untuk tenaga baru. Memang sekali memberangkatkan tidak kurang 30 orang. Kemarin saja memberangkatkan rombongan yang bekerja di Quwait dan Malaysia. Kalau ada rombongan yang berangkat, suasana di wisma tidak seramai biasanya. Terkadang sepi, hanya ada beberapa orang saja yang tinggal. Tepai 3 atau 4 hari kemudian datang lagi pekerja baru yang datang dari berbagai daerah.
Aku sudah jenuh dan berniat akan pulang kampung, karena selama tinggal 3 bulan di wisma belum ada tanda-tanda aku akan berangkat bekerja. Namun ketika aku bernuat akan pulang, pihak perusahaan selalu menghalang-halangi, bahkan mereka minta ganti rugi selama aku tinggal dan makan di wisma itu.
“Sabar sebentar, nanti juga kamu berangkat. Coba lihat, teman-teman yang dulu bersama kamu, sekarang kan sudah pergi. Mereka bersabar selama berada di sini!” kata seorang petugas yang berwajah hitam dan staf perusahaan urusan tenaga kerja.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain menarik napas panjang. Betapa tidak jenuh dan membosankan berada di wisma; kegiatanku hanya duduk-duduk, mencuci baju, membersihkan wisma, makan, minum, belajar sebentar di ruangan yang ada di situ, lalu kembali ke wisma. Persis seperti berada di tahanan. Penghuni wisma tidak boleh keluar lingkungan sekitar itu. Kalau ada yang keluar akan mendapat sanksi, bahkan tidak segan-segan petugas satpam akan membentak dan menempeleng.
Aku berusaha untuk bertahan dengan kondisi yang tidak menyenangkan. Aku hanya sempat beberapa kali menelepon kepada keluargaku yang ada di kampung, sekedar untuk memberitahu keberadaanku. Aku selalu mengatakan berada dalam kondisi sehat dan sedang menunggu visa dari Saudi Arabia.
Pernah bapakku menyuruh agar aku segera saja pulang ke kampung, tidak usah bekerja ke luar negeri, namun aku menolak mentah-mentah, sebab sudah terlanjut berada di wisma. Aku berkeyakinan kalau aku bekerja di Arab aku bisa berubah seperti temanku yang sukses dan menjadi kaya raya.
Aku berusaha menahan kejenuhan dan kebosanan selama berada di wisma. Makanan di sini ala kadarnya, terkadang hanya dengan tahu atau tempe saja sudah untung, daripada sama sekali tidak makan. Pihak perusahaan menyediakan makanan seadanya. Siapapun tidak boleh protes dengan kondisi seperti itu. Ada yang sengaja macam-macam atau memberikan komentar yang tidak baik, satpam yang selalu mengawasi dan menjaga di wisma itu akan segera menegur dan memarahi.
Akhirnya tiba juga giliranku dipanggil oleh pimpinan perusahaan pengerah tenaga kerja karena visa dari Arab Saudi sudah ada. Bukan main gembirnya ketika aku menerima visa yang disitu tercantum namaku, lengkap dengan fotonya. Namun pimpinan perusahaan mengatakan kalau gaji dipotong 50% karena aku telah dibantu oleh perusahaan serta untuk membayar selama aku tinggal di wisma. Aku tak bicara sepatah katapun, aku hanya menganggukkan kepala tanda setuju aturan yang ada di perusahaan.
Besok aku sudah harus berada di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta tepat jam 8, untuk berangka ke Saudi Arabia. Dalam benakku berbunga-bunga bayangan indah yang selalu menari-nari. Sesekali aku tersenyum sendiri membayangkan aku akan menjadi orang yang kaya dan bisa membeli tanah dan rumah di kampungku.
Ketika berada di pesawat, aku seperti tidak percaya dengan keadaan diriku. Beberapa kali aku mencubit tanganku sendiri; takut kalau semua itu hanyalah mimpi belaka. Namun ini bukanlah mimpi. Kenyataan yang harus aku hadapi. Aku akhirnya bisa meninggalkan tanah airku sendiri.
Tiba di Bandara Internasional, aku terkagun-kagum dengan bangunan yang ada di sekelilingnya. Aku terheran-heran dengan ibukota Saudi Arabia, karena suasana sangat ramai dan sibuk sekali.
Di Bandara aku sudah dijemput oleh salah seorang petugas di sana. Aku memperlihatkan data-dataku ke petugas yang membawaku. Setelah itu, petugas yang berbadan agak gemuk dan berjengot itu membawaku ke mobil sedan yang baru pertama kali ini aku bisa duduk di kursi empuk.
Perjalanan menuju majikanku lumayan cukup jauh. Mataku tak berkedip melihat-lihat keadaan di Ibukota Riyad. Aku kagum dengan keadaan kota yang sangat megah dan mewah. Beberapa kali aku menggelengkan kepala. Rasanya seperti mimpi; kalau pada akhirnya aku bisa berada di Arab Saudi.
Ketika tiba di rumah majikan, sesaat aku seperti tidak percaya; rumahnya sangat besar dan luas sekali. Halaman saja masuk kendaraan 5 buah, kemudian di dalamnya kursi-kursi yang besar dan empuk. Aku diterima oleh ibu majikan yang menyuruhku untuk mulai bekerja. Aku sama sekali tidak mengerti bahasa arab, jadi aku hanya mengangukkan kepala saja.
Tidak hanya aku yang bekerja sebagai pembantu di majikanku yang bernama Abdullah itu, tetapi juga ada pembantu yang sudah lama, namun usianya sudah tua. Dia sudah hampir 10 tahun bekerja sebagai TKW di Saudi Arabia. Dari Ibu Saodah, begitu namanya, aku banyak belajar tentang kehidupan di lingkungan rumah yang baru itu.
“Kamu harus hati-hati, soalnya Tuan Abdullah mempunyai anak laki-laki yang banyak, mereka terkadang kurang ajar dan suka memperlakukan kita seenaknya,” kata Ibu Saodah.
“Memang Ibu pernah mengalami?” tanyaku penasaran.
“Aku sudah terbiasa lagi, habis bagaimana. Kita kan di sini sebagai pembantu. Kita butuh uang,” katanya.
Sesaat aku jadi termenung, kekhawatiran terlintas dalam benakku, bagaimana kalau mereka macam-macam kepadaku, sementara aku hanya seorang perempuan kampung yang belum berpengalaman. Aku mencoba untuk bersikap tenang mendengar kabar dari Ibu Saodah.
Aku menjalani saja bekerja sebagai pembantu di rumah Abdullah. Masa adaptasi selama seminggu membuat aku tidak betah, apalagi kalau menghadapi anak laki-laki Abdullah yang usianya baru menginjak remaja, mereka kerapkali kurang ajar, bahkan seringkali menggoda dan menganggu.
Aku belum begitu mengerti dengan bahasa Arab, sehingga terkadang terjadi kesalahpahaman yang membuat mereka seringkali marah-marah. Aku terkadang bingung apa yang diinginkan mereka, sebab aku belum begitu mengerti apa yang mereka katakana. Untung saja Ibu Saodah banyak memberikan bantuan, sehingga aku bisa sedikit demi sedikit memahami apa yang diinginkan mereka.
Adat orang Arab sungguh jauh berbeda dengan kita, mereka terkadang menyepelekan kita, bahkan kalau ada keinginan untuk makan di waktu malam, sedangkan kita sedang tidur, mereka akan membangunkan. Pokoknya tidak ada alasan untuk mengatakan tidak, apalagi membantah keinginan mereka.
Aku paling tidak suka dengan laki-laki yang bernama Amir. Dia yang membuat aku stress dan aku sangat membenci lelaki itu. Soalnya bukan apa-apa, dia kerapkali memegang payudaraku, yang membuat aku marah dan harga diriku dilecehkan. Pernah ketika aku sedang memasak di dapur, tiba-tiba Amir datang dan langsung memegang payudaraku, aku memaki-maki dan marah-marah. Tapi dia malah tertawa-tawa sambil berlari keluar dari dapur.
Dibandingkan dengan anak lalaki yang lain, Amir ternyata lebih berani dan kerapkali dia mengintip aku kalau aku sudah masuk ke dalam kamar. Dia pun tidak segan-segan mengintip kalau aku berada di kamar mandi. Aku mulai curiga dengan gelagat Amir yang nampaknya mempunyai dorongan syahwat yang besar. Aku menjadi takut dan kerapkali aku meminta bantuan kepada Ibu Saodah.
“Si Amir itu memang lelaki kurang ajar. Pernah juga kepada ibu dia berperilaku begitu, namun pernah suatu kali aku pukul alat vitalnya, sehingga dia kesakitan, aku tantang untuk berkelahi, dia ketakutan setelah aku mengancam dengan pisau tajam. Sejak saat itu, dia tidak mau lagi menganggu,” ujar Ibu Saodah
“Apakah aku juga harus mengancam dengan pisau?” tanyaku.
“Ya, kalau memang itu jalan terakhir dan tidak ada lagi jalan lain. Pokoknya kita lawan saja,”
Aku menganggukkan kepala. Kalau begitu aku harus mempersiapkan pisau dapur yang tajam, untuk menakut-nakuti si Amir itu. Saran Ibu Saodah aku jalankan. Aku menyimpan pisau dapur tidak jauh dari jangkauan. Jadi kalai si Amir datang dan akan memegang payudaraku, aku harus secepat kilat menyambar pisau tajam dan mengancam. Esok aku akan melaksanakannya.
Namun besoknya aku tidak bertemu dengan dia, karena dia pergi ke luar kota untuk menyelesaikan tugas sekolah. Dia memang seorang pelajar, yang usianya tidak akan jauh berbeda denganku. Hanya saja badannya besar dan kulitnya agak hitam.
Aku baru merasakan suasana bekerja sebagai pembantu di rumah Abdullah, sangat tertekan dan tidak ada kebebasan. Mereka menyerahkan tanggungjawab urusan dapur kepadaku dan Ibu Saodah. Kami bekerja siang malam, tiada henti. Terkadang aku merasa capai. Namun aku salut dengan Ibu Saodah yang selalu mendorong aku untuk sabar dan tabah menghadapi semua ini.
“Ibu juga sebenarnya sudah malas bekerja di sini, namun karena mereka melihat aku paling lama dan sudah mempercayai sepenuhnya, maka aku berusaha untuk bekerja sebaik-baiknya. Ya memang, kita harus sabar bekerja di Arab Saudi ini,” katanya.
Aku kagum dengan Ibu Saodah yang ternyata memiliki keteguhan jiwa yang luar biasa. Meski usianya sudah 50 tahun, namun nampak tenaganya masih kuat. Beruntung aku bisa bersama-sama dengannya, sebab aku bisa belajar tentang kehidupan orang-orang Arab, terutama lingkungan keluarga Abdullah.
Kukira akan tetap bersama-sama dengan Ibu Saodah berada ri rumah itu, namun belum juga sebulan aku disuruh tinggal di sebuah rumah istri muda Abdullah. Aku berharap mudah-mudahan selama tinggal dengan istri muda Abdullah, aku tidak terlalu lelah bekerja. Pekerjaanku sebenarnya tidak hanya memasak di dapur, tetapi juga mencuci piring, membersihkan rumah, mencuci pakaian dan menyetrika. Lumayan sangat capai.
Istri muda Abdullah mempunyai anak yang kelakukannya mirip dengan si Amir, tetapi ini lebih kurang ajar. Namanya Husen. Selama berada di rumah itu, aku benar-benar muak melihat wajahnya, sebab saat melihat aku saja bagaikan kucing yang akan menerkan tikus, sehingga aku sangat ketakutan.
Rumah istri muda Abdullah sangat besar dan berlantai 3. Aku di rumah itu sendirian sebagai pembantu rumah tangga. Pekerjaanku sangat berat, apalagi di rumah itu ada 7 orang anaknya, yang selalu minta dilayani, membuat aku benar-benar sangat kelelahan dan tidak sesuai dengan gaji yang kuperoleh. Aku hanya menerima satu juta lima ratus ribu rupiah, padahal dalam perjanjian dengan perusahaan akan menerima dua jutaan.
Aku tidak banyak protes, aku terima saja uang sebesar itu. Namun aku sangat mendongkol dengan uang yang kuperoleh. Aku mencoba untuk bersabar dan tidak banyak bicara. Aku bekerja seperti biasa. Namun yang membuat aku cemas dan khawatir adalah kelakuan Husen yang gelagatnya memperlihatkan tidak baik, bahkan pernah beberapa kali masuk ke dalam kamarku di tengah malam, di saat di rumah sedang tidak ada siapa-siapa.
Aku berontak dan melawan sekuat tenaga terhadap Husen. Aku hampir saja putus asa menghadapi lelaki yang sudah kemasukan setan. Ia berusaha untuk menelanjangiku dan memperkosa, namun aku tidak mau menyerah begitu saja. Aku melawan dengan tangan yang meronta-ronta serta kaki yang menendang kemaluannya. Namun ia bisa menghindar.
Husen tidak mau melepaskan buruannya lepas begitu saja, apalagi dia tahu bahwa badanku kecil sehingga semakin bernafsu untuk menaklukkanku. Tenaga Husen memang kuat dan terlihat begitu bernafsu ingin segera memperkosaku. Kulihat matanya dan wajahnya memerah, dia seolah kucing kelarapan yang akan menerkan seekor tikus. Napasnya ngos-ngosan dan jantungnya berdetak kencang, pertanda nafsu sedan sedang bergemuruh dalam dadanya.
Aku meronta dan menjerit-jerit saat Husen semakin ganas merangkulku dan memaksa aku melayani nafsu setannya. Aku hampir terdesak dan tak kuasa menahan tenaga orang sedang dilanda nafsu binatang. Tenaganya begitu kuat dan tak sebanding denganku. Napasku sudah sesak karena dia menekan badanku kuat-kuat serta membaringkan aku di lantai.
Aku sudah pasrah menghadapi tekanan Husen yang begitu kuat. Aku berusaha untuk melepaskan diri, namun ia malah semakin beringas bagaika kucing yang sedang mencengkrem seekor tikus, sehingga aku hanya bisa menarik napas seraya berpikir untuk bisa melepaskan diri. Mendadak aku mempunyai kekuatan ketika kakiku berontak, menendang alat vital Husen sekeras-kerasnya. Dia berteriak kesakitan sambil memegang alat kemaluannya. Matanya mendelik menahan sakit.
Aku seperti memperoleh kekuatan. Segera saja aku berdiri saat melihat Husen meringgis. Aku bergegas lari keluar kamar. Untung saja, kamar tidak dikunci sehingga aku bisa leluasa keluar kamar.
Tanpa pikir panjang aku segera saja keluar rumah ditengah malam. Aku sudah tidak mempedulikan nasib yang kelak akan menimpa diriku. Aku lebih baik segera saja melarikan diri; keluar dari rumah setan yang akan membahayakan diriku. Aku bertekad akan pulang kampung, yang penting aku selamat. Syukur kalau aku bisa bekerja lagi, namun nampaknya aku tidak ingin lagi bekerja di Arab. Aku benar-benar kapok menjadi pembantu. Lebih baik hidup di kampungku sendiri, meski paspasan tetapi aku tidak merasa tertekan.
Aku berlari meninggalkan rumah majikan. Suasana masih gelap disekelilingku, namun aku tidak merasa takut, sebab sejak beberapa hari yang lalu aku sebenarnya sudah nekat untuk keluar dari rumah majikan. Aku benar-benar merasa berada di dalam neraka jahanam. Kehidupaku merasa terancam. Aku sama sekali tidak ingin kembali rumah yang terkutuk itu. Aku ingin pulang ke kampung halaman, aku ingin hidup sebagaimana layaknya gadis-gadis yang ada di kampungku.
Aku terus melangkahkan kaki di sebuah daerah yang sangat sepi. Ketika aku sedang terus berjalan, tiba-tiba aku terkejut sebab di depan ada dua orang lelaki yang sejak tadi mengawasiku. Aku takut menghadapi orang yang baru kukenal, apalagi keadaan yang sepi. Aku hanya bisa berdoa dan pasrah menghadapu dua orang lelaki yang tidak aku kenal.
“Kamu mau kemana?” tiba-tiba salah seorang diantara mereka bertanya dengan bahasa Indonesia, tentu saja aku bahagia, berarti orang ini sama-sama berasal dari Indonesia.
“Tolonglah, Pak. Aku mau kabur dari rumah majikan, mereka sangat jahat dan akan memperkosaku,” kataku memelas dan berderai air mata.
“Allahu Akbar!” teriak salah seorang lagi seraya mendekatiku dan menggelengkan kepada manakala melihat mukaku yang bengkak bekas pukulan majikan.
“Kami juga tenaga kerja Indonesia yang sama-sama sedang mencari nafkah di negeri Arab ini, kami kebetulan di sini sedang belajar,” ujarnya.
Aku gembira mendengar keduanya yang ternyata merupakan mahasiswa yang berasal dari Indonesia. Mereka rupanya kasihan melihatku, lalu berusaha membantuku dan akan membawa aku ke KBRI.
Berulangkali aku mengucapkan terima kasih atas kebaikan dua orang lelaki yang berasal dari Jawa Timur itu. Mereka pun memberi nasihat agar aku pulang saja ke Indonesia, sebab bekerja di Arab sebagai pembantu banyak risikonya. Aku mengangukkan kepala akan menuruti apa yang mereka ucapkan.
Rupanya di KBRI tidak hanya aku yang mengalami tindakan yang tidak senonoh itu, beberapa orang pembantu lain pun mengalami nasib yang sama, bahkan ada yang lebih parah denganku. Aku menarik napas panjang, beruntung aku sudah berada di KBRI sehingga aku bisa mempersiapkan diri untuk pulang kampung. Pihak kedutaan mempunyai perhatian terhadap kasus yang dihadapi olehku, maka mereka berusaha untuk membantu.
Untuk sementara aku tinggal di KBRI sambil menunggu kepulanganku ke Indonesia. Aku berterima kasih atas pelayanan yang diberikan mereka yang sangat perhatian sekali dan berkeinginan untuk membantuku.
Banyak hikmah yang kuperoleh selama aku berada di KBRI, sebab berbagai masalah tenaga kerja wanita maupun laki-laki, ada saja yang melaporkan ke kedutaan. Berbagai masalah muncul yang sebagian besar menimpa kaum perempuan. Beberapa orang yang tinggal bersamaku, ternyata mengalami kasus yang jauh lebih mengerikan, sebab ternyata temanku satu kamar itu diperlakukan bagaikan binatang oleh majikan di Arab, bahkan dia telah melahirkan seorang bayi akibat pemerkosaan yang dilakukan oleh majikannya. Aku hanya berurai air mata ketika mendengar kisahnya yang sangat memilukan dan menyentuh hati.***
Beberapa kali aku mengehela napas mendengarkan tragedi hidupnya yang sungguh malang, padahal dia datang ke negeri timur tengah itu semata-mata untuk bisa hidup lebih baik, sebab setelah suaminya di PHK dari perusahaannya, nyaris tak bisa lagi mendapatkan nafkah bulanan, terpaksa dia harus berusaha menutupi kebutuhan setiap hari.
Beruntunglah, temanku yang bernama Wati itu mempunyai keinginan kuat untuk bisa bekerja di luar negeri, dengan harapan bisa merubah masa depan yang lebih baik. Namun nasib baik belum berpihak kepada dirinya, sebab secara tidak diduga ia mendaparkan seorang majikan yang gila seks dan haus wanita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar