Halaman

Senin, 20 Juni 2011

Pahit Getirnya Bekerja di Malaysia


            Sungguh kasihan nasib yang dialami Toto (42 tahun) yang telah bekerja di Malaysia. Dia mengira di negeri itu bisa tercapai mimpi indah menjadi orang yang sukses, namun ternyata justru sebaliknya. Hanya derita dan kepedihan yang dialami. Baru setahun dia bekerja, dia sudah tidak sanggup meneruskan lagi. Bagaimana perjalanan hidupnya Berikut penuturannya kepada  Kuswari
            SEMULA yang terbayang dalam benak adalah gaji yang besar dan bisa menabung untuk bekal di masa depan. Itu sebabnya, ketika ada saudara dari bapak yang kebetulan bekerja sebagai karyawan dinas tenaga kerja menganjurkan agar aku ikut bekerja di perusahaan Malaysia, tentu saja aku bahagia tidak terkira. Malaysia, yang kuketahui adalah negeri yang sejak beberapa tahun terakhir ini mengalami kemajuan di bidang  ekonomi.
            Sebelum bekerja di Malaysia, terlebih dahulu aku diharuskan mengikuti pelatihan, terutama pekerjaan yang akan aku kerjakan serta memahami adat istiadat bangsa Malaysia, yang sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan bangsa kita. Ada sekitar 30 orang peserta yang mengikuti program bekerja di Malaysia. Selama lebih seminggu kami diberi berbagai materi yang berkaitan dengan pekerjaan. Aku sendiri begitu  bersemangat mengikuti program itu, apalagi gaji yang dijanjikan cukup menggiurkan sehingga aku ingin segera saja terbayang ke negeri sakura itu.
            Biaya untuk bisa bekerja di Malaysia, menurut panitia ditanggung oleh pemerintah, tetapi tetap saja peserta dipungut biaya sekitar tiga juta rupiah sebagai uang untuk ongkos naik pesawat. Bagiku uang sebesar cukup merepotkan, sehingga sempat kalang kabut untuk mendapatkan uang itu. Namun untung saja, kakak dan adikku ikut membantu untuk bisa membayar uang perjalanan ke Malaysia.
            Setelah segalanya beres, terutama paspor dan visa, maka  sebanyak 30 peserta berangkat dengan menyimpan harapan dan impian yang begitu membumbung tinggi di awan. Aku sendiri dirasuki bayangan yang terlalu berlebihan, terutama akan mendapat gaji yang lebih dari cukup dibandingkan bekerja di Indonesia. Sesuai dengan program latihan yang aku ikuti, maka aku akan menjadi operator perusahaan yang membuat genteng dan bata. Memang pada saat latihan, pekerjaan itu tidaklah sulit.Aku bertugas untuk selalu mengawasi perputaran mesin, kemudian aku menghentikan kalau volumenya sudah cukup.
            “Pekerjaan sebagai operator, tidaklah sulit, aku akan bisa menangani,”  ujarku dalam hati. Hatiku berbunga-bunga untuk bisa sukses bekerja di luar negeri. Soalnya bukan apa-apa, aku sudah merasakan jenuh menganggur tidak mempunyai pekerjaan yang jelas. Kini kesempatan itu datang, aku ingin memanfaatkan sebaik-baiknya. Aku sudah bosan hidup dalam kekurangan. Semoga saja kali ini aku menemukan cahaya keberhasilan.
            Selama ini, aku berusaha untuk berjualan roti yang kubuat sendiri. Namun, wiraswasta tidak semudah membalikkan tangan, perlu perjuangan yang cukup berat. Beberapa kali aku jatuh bangun dalam mengelola usaha jualan roti yang skalanya kecil. Modal tidaklah besar, cukup dengan 500 ribu rupiah saja, usaha rotiku bisa dijalankan. Tetapi memang, dalam praktiknya, usaha roti mengalami kemunduran terutama ketika naik harga BBM, yang membuat pengusaha roti banyak yang gulung tikar.
            Aku pun pernah menjadi seorang guru di sebuah SMP, namun ternyata pekerjaan sebagai guru hanyalah sapi perahan saja, sebab jam mengajar tidak sesuai dengan honor yang kuperoleh. Sementara aku harus membiayai nafkah istri dan anakku. Akhirnya, karena tidak tahan   sebagai tenaga pengajar, yang honornya habis di tengah jalan, aku pun keluar, mencari pekerjaan lain.
            Namun memang mencari kerja bukanlah pekerjaan yang mudah. Pengangguran sudah membengkak mencapai jutaan orang. Banyak perusahaan yang tutup semenjak pemerintah mengumukan kenaikan BBM. PHK pun hampir menjamur di berbagai perusahaan karena tidak mampu menutupi biaya operasional. Sudah ratusan kali surat lamaran kubuat ke hampir semua perusahaan, namun satu pun tidak ada yang menghiraukan.
            Aku mencoba untuk sabar menghadapi kesulitan ekonomi yang kian hari semakin membelengu diriku. Aku berupaya bertahan dengan caraku sendiri; aku berjualan apa saja yang bisa aku jual; yang penting di rumah bisa makan ala kadarnya.
            Itu sebabnya, ketika aku sedang kebingungan mencari pekerjaan, kemudian ada yang menawarkan bekerja di luar negeri, betapa hatiku berbunga-bunga, pucuk ditiba ulam tiba, mungkin peribahasa yang tepat begitu.
            Saat pesawat terbang berada di angkasa,  rasanya mimpi-mimpiku akan segera terwujud, aku bertekad untuk mengubah nasib agar bisa lebih baik dan mampu menjadi TKI yang sukses di negeri Malaysia.
             Tiba di Malaysia, aku merasakan suasana yang berbeda dengan Indonesia. Kesibukan mewarnai setiap warganya, mereka seolah dikejar hantu untuk bekerja sesuai target. Bahkan ketika melihat bandara, kesibukan yang luar biasa. Aku beberapa menit hanya melongo menyaksikan negeri Malaysia,  tak terbayangkan sebelumnya, masyarakat Malaysia begitu sibuk. Boleh dikata, mereka adalah masyarakat yang gila kerja.
            Proses di perusahaan untuk mulai bekerja tidaklah sulit, sebab di Bandung sudah ada perjanjian. Peserta yang 30 orang itu berpencar di berbagai perusahaan  sesuai kebutuhan dan perjanjian dengan perusahaan. Aku kebetulan dengan seorang teman yang sama-sama mempunyai kehidupan yang mirip denganku; sama-sama pengangguran yang tidak jelas pekerjaan. Dia juga nampak sangat bersemangat dan ingin bisa mengubah nasib serta pulang nanti ke Indonesia membawa uang yang besar untuk modal usaha.
            Ketika aku memasuki sebuah perusahaan yang sangat besar, betapa aku bangga dan bahagia, sebab baru pertama kali aku melihat perusahaan yang begitu luas dan besar. Lebih dari 500 orang pekerja yang ada di perusahaan itu yang berasal dari berbagai negara.
            Aku dengan teman disuruh untuk beristirahat dulu di sebuah wisma penginapan khusus karyawan. Aku sempat melihat-lihat keadaan perusahaan itu, berulangkali aku berdecak kagum melihat kemegahan perusahaan. Kendaraan mewah berjejer di ruangan parkir yang khusus bagi pimpinan perusahaan. Selama berada di situ, mimpiku sudah melambung jauh melayang; aku akan mendapat gaji yang besar.
            Esok harinya pagi-pagi sekali, aku sudah harus menghadap bagian produksi untuk mendapat pengarahan. Aku bergegas mandi dan menyiapkan baju untuk mulai bekerja hari itu juga, demikian pula dengan temanku. Baju sudah diberi kemarin sore yang harus aku kenakan pagi ini. Sama seperti pekerja lainnya, aku harus berdisiplin dan tidak boleh terlambat, apalagi saat akan menghadap pimpinan. Menurut karyawan yang sudah bekerja di situ, peraturan kerja di perusahaan ini sangat ketat dan tidak segan-segan memberikan sanksi yang sangat merugikan pekerja.
            Beberapa orang karyawan yang kebetulan berasal dari Indonesia, memberikan informasi yang sangat penting buatku; terutama tata tertib selama bekerja di perusahaan. “Jangan sekali-kali lalai atau tidak disiplin, mereka memantau kita dengan menggunakan kamera yang tersimpan di perusahaan. Siapa saja yang kerjanya malas, maka akan mendapat sanksi dan gajinya dikurangi. Oleh karena itu, kamu harus hati-hati selama bekerja di sini. Ingat ini,  bukan di Indonesia yang bisa bebas, di sini dipantau selama berada di perusahaan,” ujar Memet yang sudah bekerja selama 4 tahun yang kebetulan ia bekerja sebagai supir perusahaan.
            Selesai mandi dan sarapan, kami segera menuju ruangan kantor bagian produksi. Kami bertemu dengan seorang lelaki yang agak gemuk dengan mata sipit, ia nampaknya orang China. Ia berbicara dengan bahasa Jepang yang sama sekali tidak aku mengerti, untung saja ada penterjemah yang tidak jauh dari situ. Dari ucapannya, dapat aku mengerti kalau dia menjelaskan agar selama bekerja di sini, setiap karyawan harus penuh dedikasi dan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan target. Siapa saja yang berani melanggar peraturan perusahaan akan segera di pecat dengan dikembalikan lagi ke Indonesia,
            Aku manggut-manggut dan berjanji akan bekerja semaksimal mungkin serta disiplin terhadap aturan perusahaan. Aku dengan temanku terpisah, sebab dia menangani bagian operator di pabrik yang sebelah barat, sementara aku menjadi operator pabrik di sebelah selatan.
            Aku diantar oleh  karyawan yang wajahnya China. Dia bernama Han Sai, yang bekerja sudah ada 10 tahun sebagai taf produksi.  Dia sedikit-sedikit bisa berbicara bahasa Indonesia  Dia mengantarakan aku ke sebuah ruangan yang sangat besar sekali dan disitu terlihat sudah banyak yang bekerja. Kulihat semua karyawan sangat giat bekerja dan tidak ada seorang pun yang bercakap-cakap, terlebih bagian operator,
            Aku kemudian masuk ke suatu ruangan pabrik, yang diterima langsung oleh pimpinan. Kutahu ia bernama Sen Chi. Wajahnya sama sekali kurang sedap dipandang mata. Ketika ia menatapku, ia menanyakan ; apakah aku orang Indonesia atau orang China? Ia mengira aku orang China sebab kulitku putih dan mirip-mirip seperti China. Aku katakan kalau aku orang Indonesia.
            Dia menyuruh agar aku bersiap untuk bekerja, aku pun dibawa oleh Shen Chi di sebuah ruangan yang bertumpuk fiber yang sudah selesai dibuat. Aku dibawa ke ruangan produksi. Disitu ada beberapa orang yang sedang bekerja membuat fiber dengan bahan-bahan yang sudah ada di situ.
            Shen Chi menyuruh kepada seorang karyawan yang sedang bekerja agar memberi pengarahan kepadaku. Seorang karyawan yang kulihat wajahnya sepert orang Jawa mengajariku membuat genteng. Dia memang berasal dari Madura dan sudah ada dua tahun bekerja di situ.
            Aku sempat kaget ketika diajarkan membuat genteng. Bukankah pekerjaanku sebagai operator dalam perjanjian itu? Aku tak habis pikir mengapa menjadi begini? Kalau hanya membuat genteng di Indonesia juga banyak. Hari itu juga aku protes kepada bagian produksi  karena aku tidak mau bekerja sebagai tukang membuat genteng.
            “Bukankah dalam perjanjian aku bekerja sebagai operator? Tapi mengapa aku bekerja sebagai tukang membuat genteng?”  tanyaku dengan suara tinggi dan penuh emosi.
            Pimpinan produksi menatap kearahku dengan tajam. Nampak ia terlihat wajahnya berubah mendapat protes dariku.
            Sama sekali tak kuduga, lelaki itu berdiri mendekati, lalu tanpa ada kata-kata, langsung saja menampar wajahku sekeras-kerasnya.
            “Kamu mau bekerja di sini silahkan, kalau tidak silahkan kamu keluar dari sini?” bentaknya dengan mata melotot yang membuat aku gemetar.
            Aku ingin melawan tindakan lelaki China itu, namun aku tak bisa berbuat apa-apa, terlebih ketika dia segera memanggil petugas keamanan agar memberi pelajaran kepadaku. Aku dibawa ke ruang keamanan dan diteror oleh mereka, agar sekali-kali jangan bertindak macam-macam, apalagi melakukan protes.
            “Kamu jangan bekerja di sini, silahkan kamu pulang sekarang!” tandasnya.
            “Baik, aku akan pulang ke Indonesia, sekarang juga!” kataku dengan rasa kesal dan marah seraya pergi meninggalkan ruang keamanan. Namun dua orang lelaki tinggi besar itu segera memegang tanganku dan menyuruh kembali ke ruangan. Tak kukira mereka memperlakukan aku bagaikan  orang yang bersalah.
            Sungguh biadad tindakan mereka kepada diriku, aku benar-benar bekerja dalam tekanan mental. Aku tidak boleh protes dan banyak tuntutan. Pokoknya harus bekerja sesuai perjanjian dengan perusahaan yang telah disepakati.
            Aku harus bekerja pagi-pagi membuat genteng. Sedikit saja aku lengah atau santai dalam bekerja, maka bagian keamanan akan membentakku dengan kasar. Tindakan demikian tidak saja kepadaku, tetapi juga kepada karyawan yang lain. Aku harus bekerja sampai sore, tanpa ada istirahat, bahkan waktu sholat pun tidak diberi kesempatan sama sekali.
            Tubuh kita bagaikan mesin yang harus terus menerus bekerja tiada henti. Setiap hari rasanya tubuh ini kesakitan karena harus membuat genteng sesuai target perusahaan. Aku benar-benar lelah dan tidak sanggup lagi bekerja. Aku sama sekali tidak mengira akan menjadi begini di negeri Malaysia.
            Selidik punya selidik di perusahaan itu, ternyata perusahaan itu milik orang China, bukan orang Malaysia. Mereka bekerja sama dengan perusahaan milik orang Malaysia. Aku baru menyadari kalau aku bekerja benar-benar telah ditipu. Aku mengirim surat kepada istri dan mengabarkan kalau aku sudah tidak betah bekerja di perusahaan itu, sebab aku diperlakukan bagaikan binatang. Aku pun mengirimkan surat kepada saudara bapakku yang mengirimkan aku ke Malaysia. Dalam surat itu, aku minta segera dipulangkan ke Indonesia, karena aku sudah tidak sanggup lagi bekerja bagaikan mesin yang tanpa ada istrirahat sama sekali.
            Tidak mudah untuk pulang ke Indonesia, masalahnya aku telah dikontrak oleh perusahaan itu selama dua tahun. Gaji memang lumayan juga, namun siapapun juga tidak akan sanggup bekerja terus menerus, tanpa ada istirahatnya. Mereka benar-benar memperlakukan manusia bagaikan binatang yang tidak berperikemanusian. Aku mau protes percuma saja, sebab mereka tidak akan menanggapi.
            Meski sangat melelahkan, aku terus saja bekerja dengan sekuat tenaga. Aku menyesal datang ke Malaysia kalau hanya bekerja seperti itu. Aku ingin marah kepada pemerintah Indonesia, yang telah membuat aku sengsara dan merana. Aku benar-benar kecewa diperlakukan secara tidak hormat.
            Aku berusaha agar bisa pulang ke Indonesia. Tidak ada lagi carannya, kecuali aku harus kabur. Namun bagaimana aku akan kabur? Sementara uang yang kuperoleh dari bekerja bulanan, aku baru bisa menyimpan hanya dua jutaan rupiah. Aku setiap hari terus berpikir dan berdoa kepada Allah agar bisa segera keluar bekerja dari perusahaan itu.
            Kebetulan perusahaan memberikan istirahat satu hari, yaitu hari minggu. Aku manfaatkan sebaik-baik untuk bisa bermain-main ke kota yang ada di Malaysia, atau paling tidak aku bisa menemukan cara bisa kabur dari perusahaan itu. Itu sebabnya, aku harus mempunyai uang untuk  ongkos pulang.
            Suatu hari aku berjalan-jalan ke tempat  swalayan yang besar. Aku melihat-lihat suasana toko-toko yang mewah. Di suatu ruangan yang besar, aku melihat banyak orang yang sedang berkumpul. Aku penasaran mereka sedang apa di tempat itu? Aku pun segera mendekati tempat itu.
            Aku baru tahu, kalau tempat itu adalah ruangan yang khusus disediakan bagi mereka yang taruhan atau berjudi. Aku seperti dibukakan jalan, aku harus mengikuti judi agar aku bisa pulang.
            “Ya Allah, aku mohon maaf, aku sama sekali belum pernah bermain judi selama hidupku,namun sekarang aku terpaksa bermain judi agar aku bisa pulang ke Indonesia, aku sudah tidak sanggup lagi bekerja di negeri brengsek ini,” kataku dalam hati seraya menundukkan kepala. Pokoknya aku harus segera pulang dari perusahaan itu, aku muak melihat orang-orang China yang bertindak seenaknya.
            Aku coba mempelajari aturan main  berjudi di tempat itu. Tidak sulit yang namanya judi, mudah dipelajari. Bahkan anak kecil sudah bisa memainkan Tidak heran kalau setiap hari akan banyak orang berdatangan ke tempat itu, sebab sekali berjudi kalau dapat untung bisa meraih uang sampai ratusan juta rupiah.   
            Iseng-iseng aku mencoba bermain judi, dengan satu tekad kalau aku menang aku harus segera  pulang ke Indonesia, aku benci  dan kapok berada di tempat ini, aku tidak akan mau lagi datang negeri yang penuh dengan tipuan.
            Namanya berjudi, ada waktunya menang ada pula  saatnya kalah. Aku pun  demikian, namun aku terus berupaya agar setiap permainan yang aku ikuti, dapat meraih kemenangan. Seperti sudah diprogram secara  terencana, kalau pemain pemula dalam perjudian, maka secara otomatis terus menang, sehingga tentu saja membuat penasaran setiap yang beriman judi. Aku tadinya hanya mencoba-coba saja. Namun ternyata dari mencoba itu membuat aku ketagihan, apalagi ketiga aku memperoleh gaji pertama di perusahaan, aku bergegas bermain judi, dengan harapan dapat keuntungan yang lebih baik.
            Rupanya jalan kehidupan sudah diatur demikian, aku ternyata lebih banyak menangnya daripada kalah. Aku sendiri merasa heran dengan kejadian itu, sehingga selama beberapa saat aku terkadang merenung tidak mengerti. Setelah menang dalam perjudian, aku pun segera mengirim uang buat istri di Indonesia. Aku merasa berdosa memberi uang hasil dari perjudian, namun apa boleh buat, tidak ada lagi cara yang harus aku lakukan. Sesekali aku suka menangis ketika sendirian di kamar, sebab aku merasa berdosa memberi nafkah istri dari uang judi.
            Sambil terus bekerja dengan perasaan yang tidak enak karena mendapat tekanan dari perusahaan, maka aku pun menyiapkan untuk bisa segera pulang ke Indonesia. Lebih dari 6 bulan aku sudah bekerja di Malaysia. Namun pihak perusahaan tetap mempekerjakan aku layaknya binatang saja. Aku berusaha untuk bertahan dengan keadaan yang sangat menyedihkan. Gaji yang kuperoleh kusimpan untuk ditabung agar pulang ke Indonesia membawa bekal yang lumayan, paling tidak aku bisa mengganti uang pinjaman dari kakak dan adikku.
            Di perusahaan itu, suasana kerja semakin tidak kondusif, apalagi  setiap hari harus menyelesaikan target yang diinginkan perusahaan yaitu sebanyak 1000 genteng yang dikerjakan oleh 20 orang pekerja. Sungguh melelahkan sekali. Rasanya terasa badanku sakit setiap malam. Aku harus bangun pagi-pagi dan menyiapkan makanan bersama teman-teman, kemudian mencuci pakaian sendiri, mengistrika, lalu jam 7, aku harus sudah bekerja di pabrik. Selesai pekerjaan jam 6. Istirahat hanya satu kali yaitu jam 1 siang.  Itu pun diberi waktu hanya 20 menit, lalu harus kembali ke tempat kerja.
            Kalau saja tidak mengikuti aturan perusahaan yang begitu ketat, maka karyawan akan mendapat sanksi yang berat dan tidak bisa membela. Memang ada asosiasi pekerja, namun aktivitas karyawan sama sekali dimatikan, dan tidak bisa melakukan protes apalagi mengadukan kepada departeman tenaga kerja. Banyak karyawan tidak bisa berbuat apa-apa, sebab ditekan dan diancam dengan penahanan gaji. Akhirnya kami hanya mampu mengelus dada mendapat perlakukan tidak adil itu. Kami mencoba untuk bersabar dan tabah menghadapi aturan perusahaan yang jelas-jelas sangat tidak manusiawi.
            Tekadku semakin kuat untuk segera bisa kabur dari perusahaan, apapun alasannya, sebab aku sudah tidak tahan lagi diperlakukan begitu. Hasil judi yang kumainkan, setiap malam minggu, aku simpan baik-baik. Aku berharap mudah-mudahan minggu depan bisa memperoleh hasil judi yang cukup besar, maka aku akan kabur dari perusahaan itu. Oleh karena itu, aku telah menyiapkan rencana yang matang. Kabur harus dilakukan dengan cara hati-hati dan tidak menimbulkan kecurigaan bagian keamanan.
            Secara bertahap aku menitipkan barang-barang kepada salah seorang rekan kerja yang mendukung agar aku segera saja meninggalkan Indonesia. Orang Malaysia itu bernama Zahidin, sangat baik hati dan selalu menolongku dalam kesulitan. Ia bekerja sebagai staf produksi. Ia telah mengetahui keinginanku untuk kabur dari perusahaan itu. Itu sebabnya, dia membantu untuk menyiapkan perencanaan aku meninggalkan perusahaan itu. Saat menerima gajian, itulah saat yang tepat aku meninggalkan perusahaan itu.
            Sungguh diluar dugaan, karena tekadku kuat ingin pulang secepatnya, aku pun bergegas main judi di tempat yang sering aku datangi. Mendadak main judi kali ini lebih mujur dibandingkan hari-hari yang lalu. Sampai larut malam, aku masih berada di meja judi dengan harapan uangku cukup untuk bisa pulang ke Indonesia.
            Aneh sekali, seperti sudah ada yang memberi jalan, aku bermain judi mendapat keuntungan yang sama sekali tidak diduga. Aku memenangkan perjudian, sehingga ketika kuhitung uang yang ada di saku, aku sudah mendapat lima juta lebih bila diuangkan dengan rupiah. Malam itu juga, aku mengucapkan syukur kepada Allah Swt, meski aku mengakui bahwa perbuatanku sangat salah dan tidak diridhai, namun aku pasrah sepenuhnya.
            Aku bergegas malam itu mempersiapkan diri untuk pulang ke Indonesia. Barang-barang sudah aku titipkan kepada Zahidin, yang kebetulan dia tinggal tidak jauh dari pusat kota. Aku pun bergegas naik taksi menuju rumah Zahidin.
            “Aku mengucapkan terima kasih, kamu telah banyak menolong aku. Kamu jangan bilang kepada siapa-siapa, kamu pura-pura tidak tahu saja keberadaanku.,” kataku ketika aku sudah sampai ke rumahnya.
            “Insya Allah, aku tidak akan bilang kepada siapapun. Pokoknya kamu tidak ada yang tahu meninggalkan perusahaan. Aku hanya mendoakan semoga kamu selamat sampai ke Indonesia dan berkumpul kembali bersama keluarga..” kata Zahidin seraya menatap kearahku penuh rasa iba. Ia memang tahu betapa beratnya bekerja di perusahaan itu, apalagi sebagai buruh kasar.
            “Semoga kebaikan kamu dibalas oleh Allah, aku tidak bisa memberikan apa-apa!” kataku dengan suara berat, sebab aku merasa selama ini Zahidin sering membantu bila aku mendapat kesulitan.
            “Nggak apa-apa, sebagai sesama manusia, kita wajib saling tolong menolong,”
            Berat rasanya meninggalkan rumah Zahidin. Aku merangkulnya, saat aku akan meninggalkan rumah Zahidin malam itu. Ketika aku naik taksi, masih kulihat Zahidin berdiri di halaman rumah menatap kearahku yang melaju bersama taksi. Entah kapan aku bisa bertemu kembali dengannya, aku bena-benar berhutang budi pada Zahidin.
            Aku sampai di bandara internasional Kuala Lumpur, segera saja aku pesan tiket yang kebetulan sudah buka. Belum begitu banyak yang antre, hanya ada beberapa orang saja. Aku segera membeli tiket dan menunggu keberangkaran pesawat terbang ke Bandara Soekarno-Hatta.
            Tak terasa mataku basah dengan air mata, ketika aku  sudah berada di angkasa, rasanya seperti mimpi saja hidup ini. Sungguh sebuah pengalaman hidup yang akan tetap membekas dalam diriku selama bekerja di Malaysia. Aku tak dapat membayangkan ternyata perusahaan yang ada di Malaysia itu,  begitu menyengsarakan para pekerjanya.
            Aku menarik napas panjang ketika teringat akan mimpi-mimpi indah yang selama ini menghiasi benakku. Aku terobsesi untuk menjadi  orang yang kaya dengan bekerja di Malaysia, namun nyatanya semua itu hanyalah mimpi belaka. Aku menjadi korban yang entah sudah berapa banyak TKI diperlakukan demikian.
            Kupikir lebih baik mengembangkan usaha yang pernah kujalani selama ini, membuat roti atau kueh yang disimpan di beberapa warung. Meski keuntungan yang diperoleh tidak seberapa, namun dengan tidak ada tekanan dan bentakan, aku sudah merasa nikmat berwirausaha.***Tamat   

           

             


Tidak ada komentar:

Posting Komentar