Kang Yosep, begitu dikenal oleh warga PII. Seorang kyai nyentrik, berambut gondrong dan selalu memakai celana Jean setiap bepergian. Saya mengenal sewaktu masih kuliah di IAIN, sebab dia sering memberi pengajian dan ceramah di mesjid al-Fata. Dulu rumahnya diatas mesjid al-Fata, dengan buku dan kitab yang bertumpuk. Dia memang kutu buku dan dikenal sebagai tokoh berpengaruh di lingkungan ormas Islam.
Dia pun dikenal dikalangan seniman dan budayawan, malah dengan Ajip Rosidi sangat akrab dan besanan. para aktivis mengenalnya sebagai ahli tafsir yang menguasai bahasa arab secara luas. Membahas kitab apapun, dia bisa menterjemahkan dan membacanya secara tepat. Dia disegani oleh kawan maupun lawan. Bahasa sundanya agak kasar dan selalu mengatakan ke diri sendiri dengan kata,"dewek" namun tetap semua mengangapnya sebagai guru.
Dia pun mempunyai jaringan dengan orang-orang ternama di Jakarta, termasuk dengan Taufik Ismail, WS Rendra, dan tokoh ternama lainnya. Bahkan sebulan sekali mengisi pengajian rutin di Gedung Kesenian Ismail Marzuki, yang dihadiri oleh tokoh-tokoh berpengaruh.
Saya teringat saat masih sering mengikuti pengajian rutin setiap selasa sore di al-Fata yang langsung dipimpin oleh Kang Yosep. Kitab yang dijadikan pegangan adalah tafsir al-Maroghi. Banyak peserta yang menghadiri pengajiannya, sebab merupakan program CMB, sehingga mesjid penuh.
Metode pengajiannya melalui sorogan yaitu seorang yang sudah bisa membaca kitab kuning maka berkewajiban untuk membacanya. Apabila salah membacanya, dia akan segera membetulkan atau memberi korekasi setiap kata atau kalimat yang kurang tepat. Dia selalu melemparkan pertanyaan kepada jamaah, kemudian beberapa orang memberi tanggapan atau pendapat berdasarkan ayat yang telah dibahas.
Saya selalu menyempatkan diri untuk mengikuti pengajian kamis rutinan itu. Selain menambah wawasan, saya sendiri sedikit demi sedikit semakin tertarik untuk terus belajar, apalagi peserta rata-rata berusia 50 tahun keatas. Namun suasana seringkali ramai dan terjadi saling berdebat, namun Kang Yosep bisa menengahi dan membuat kesimpulan yang memuaskan peserta. Dia memang menguasai masalah agama, bahkan menurut Ade Tajudin, dia hafal Quran. Setiap hari selalu wirid dengan membaca al-Quran.
Namun yang membuat saya menyesal, saya tidak ada yang mengabari asal dia meninggal dunia, tahu setelah seminggu. Itu pun saat itu, saya berniat mengikuti pengajian kamis di al-Fata. Namun sampai sore, tidak ada yang datang. Ketika bertemu dengan istrinya Asep, aku bengong sebab Kang Yosep sudah meninggal seminggu yang lalu. Saya terdiam, tidak percaya sama sekali, namun itulah kenyataan, bahwa kematian bisa menimpa siapa saja tanpa kecuali.
Setelah menanyakan ke rekan-rekan di KB PII, barulah mendapat penjelasan rinci kalau siang hari, Kang Yosep sempat mengisi pengajian bulanan di Taman Ismail Marzuki bersama Ade Tajudin, bahkan saat itu Kang Ade hanya turun di Cipanas pulang ke rumahnya. Dia tidak mengira kalau hari itu adalah saat terakhir bersama gurunya, sebab besoknya sudah ada kabar kalau gurunya sudah meninggal dunia. Maka dia pun bergegas ke Bandung.
Dia meninggal dunia di rumah salah seorang rekan PII selesai memberikan pengajian rutin. Saat akan tidur itulah, sang malaikat maut menjemputnya dalam keadaan hendak tertidur dan meminta tuan rumah membangunkan tengah malam karena ingin menyaksikan sepakbola piala dunia. Dia sangat gemar menyaksikan sepakbola, apalagi kalau Persib tengah bermain.
Semua orang kehilangan sosok Kang Yosep, selain sebagai guru, dia pun pendiri beberapa pesantren dan perintis Unisba. Sulit mencari penggantinya, apalagi keilmuan yang dimiliki belum ada yang sebanding dengannya. Dia belajar dari pesantren ke pesantren dan merasakan pahit getirnya kehidupan sebagai seorang ulama yang memegang teguh pendirian.
Dia sempat juga menterjemahkan buku Wahyu Ilahi karangan Muhammad Rasyid Ridho berbahasa arab. Struktur bahasa indonesia dikoreksi sepenuhnya oleh Ajip Rosidi. Dari situ bisa diketahui bahwa dia menguasai bahasa arab.*** 30-1-11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar