Halaman

Rabu, 22 Juni 2011

Suherman, Sahabatku


    Suherman adalah teman dekat, dulu  sama-sama satu kelas di SD Babakan Ciparay VII. Rumahnya tidak jauh denganku, paling 1 km jaraknya. Sewaktu aku kuliah, nyaris tidak pernah bertemu, baru setelah aku tinggal di kopo, aku sering bertemu dan ngobrol panjang lebar tentang berbagai masalah, termasuk kegiatan sehari-hari.
    Dia bekerja mandiri dalam bidang percetakan dan membuat lencana pesanan dari perusahaan. Di mesjid biasanya saya bertemu dan ngobrol panjang lebar, termasuk dengan teman-teman dulu yang jarang bertemu. Setiap kali saya berkunjung ke rumahnya, maka dia akan menyambutnya dengan penuh kegembiraan dan mengajak ngobrol ke sana kemari.
   Pernah aku memesan beberapa cetakan untuk keperluan di kantor. Sekali waktu, dia mengemukakan kalau ada teman yang mengajak aktif di partai Islam, aku hanya tersenyum  seraya berkata, "kalau itu memang bagus, ya aktif saja. Tetapi kalau tidak ada mangfaatnya, ya buat apa!" dia pun terlihat ragu-ragu, apalagi selama ini hampir setiap hari diajak untuk kegiatan partai.
    Pernah pula ada temannya agar masuk ke kelompok Islam jamaah, dia sempat berbincang-bincang dengan saya. "Kelompok islam itu berbeda dengan ajaran yang umumnya, sebab pernah saya masuk ke mesjid, semua orang menatap saya, seolah saya orang asing. Saya baru tahu kalau itu adalah ajaran islam jamaah,"
     Pernah pula dia mengeluh tentang sulitnya mendapat order percetakan karena semakin bersaing dengan perusahaan besar atau susahnya memasarkan pembuatan lencana yang sudah banyak dilakukan beberapa orang. Namun demikian, dia tidak pernah mengeluh tentang istrinya.
   Lama saya tidak bertemu dengan dia, karena aku sibuk bekerja. Belakangan aku mendengar dia sakit, saya kira hanya sakit biasa saja. Ada keinginan untuk menengok ke rumah sakit, namun entah mengapa ada saja gangguan itu, dan sampai sekarang terasa sangat menyesal sekali tidak sempat bertemu dulu sebelum dia meninggal dunia.
   Saat meninggal dunia pun saya tidak datang karena tidak ada yang memberitahu, padahal kalau tahu dia meninggal dunia, saya akan datang ke rumah duka dan mengantarkan ke kuburan. Saya menyesal tidak melihatnya, bahkan ketika bertemu dengan kakaknya Mehi, berkali-kali saya katakan kalau saya ingin sekali bertemu dengannya.
    Melalui kakaknya, barulah jelas penyakit yang dideritanya, tidak hanya lahir tetapi yang paling parag adalah batinnya, sebab  dia merasa sakit hati dengan perilaku istrinya yang sudah tidak lagi menyayangi, bahkan ketika sakit parah, istrinya malah pergi dengan lelaki lain. Inilah yang membuat hatinya hancur berkeping-keping.
     Herman telah meninggal dunia tahun 2005 dan dikuburkan di Porib Caringin, saya hanya mendoakan berulang-ulang agar diterima iman dan islamnya serta diampuni segala dosa-dosanya dan ditempatkan derajat tinggi. Sampai sekarang saya masih mengingatnya dan menyesali tidak sempat bertemu dulu saat dia sakit atau di rumah sakit. Namun saya tahu, kalau dia orang yang baik, jujur dan rajin solat. Semoga amal salehnya mmenghapus segala dosa-dosanya.*** 30-01-11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar