SEBUAH kisah nyata yang mengharukan ini dialami oleh seorang bernama Sofian (42 tahun). Istrinya yang dicintai jatuh sakit selama 5 tahun dengan menderita peyakit diabetes dan tumor . Berbagai pengobatan telah dijalani, termasuk di rawat di rumah sakit karena ada benjolan di dekat payu dara dan harus dioperasi. Meski telah berobat ke berbagai tempat, namun akhir perjalanan hidupnya harus menerima takdir yang sudah digariskan. Berikut penuturannya kepada Kuswari
KUNIKAHI istriku saat itu karena dia seorang gadis yang sederhana dan mempunyai daya tarik tersendiri bagi diriku. Apalagi tinggalnya tidak jauh dari rumahku. Aku tahu persis bagaimana perilaku istriku itu. Dia rajin beribadah dan mengajar di sebuah madrasah. Dia tinggal bersama neneknya. Sementara ayah dan ibunya sudah lama bercerai. Tidak lama kemudian ibu kandungnya meninggal dunia. Dia memang patut dikasihani, terlebih selama aku mengenalnya, bapaknya jarang sekali menengok atau memberi biaya untuk kehidupan sehari-hari. Untung saja tinggal bersama neneknya yang rajin berjualan, sehingga sedikit demi sedikit kebutuhan hidupnya bisa teratasi.
Kasihan melihat gadis yang berkulit putih itu, yang setiap hari membantu neneknya berjualan. Terkadang kulihat usai sholat subuh dia sudah membereskan warung dan menyiapkan berjualan, sementara neneknya belum datang dari pasar. Sesekali aku sering melihat dia sedang melayani pembeli. Warungnya cukup lumayan banyak pembeli, karena menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari bagi ibu rumah tangga. Dia terlihat sangat rajin sekali dan hampir seharian tidak pernah berhenti membantu ibunya.
Waktu sore harim digunakan untuk mengajar ngaji kepada anak-anak di sebuah madrasah dekat masjid. Aku sering melihat dia sedang mengajarkan membaca Al-Quran kepada anak-anak yang tinggal di daerah itu. Dia nampak sabar dan telaten dalam mendidik para siswa, bahkan jiwa sebagai seorang guru telah tertanam dalam dirinya.
Lama kelamaan aku semakin tertarik dan simpati kepada sosok gadis yang usianya boleh jadi hanya berbeda 2-3 tahun dengan diriku. Kami bertetangga dan aku tahu persis bagaimana kehidupan sehari-harinya. Dia seorang wanita yang sangat sederhna, lugu dan menerima apa adanya. Selama ini yang kuketahui dia tinggal bersama neneknya. Aku tidak tahu, kedua orangtuanya. Hanya menurut tetangga yang pernah berbincang-bincang denganku, bahwa sudah lama ibunya meninggal dunia, sementara bapaknya sudah menikah lagi dan tidak mau mengurus anaknya sendiri. Ada rasa penasaran yang berkecamuk dalam dadaku setelah kuketahui secara diam-diam, kalau dia sosok gadis yang ternyata memiliki latar belakang yang sangat menyedihkan, dibalut dalam perjalanan hidup yang penuh duka dan derita berkepanjangan.
Namun aku salut dengan kegigihan dan kekuatan menahan segala ujian yang menimpa dirinya. Dia mengajar di madrasah semata-mata untuk membina anak-anak agar memahami tentang agama, sementara gaji yang diperoleh tidaklah menentu, sebab mengajar bukanlah jaminan untuk bisa hidup sejahtera. Namun kulihat setiap hari dia mengajarkan ngaji di sebuah mesjid dengan dikelilingi anak-anak yang haus dengan ilmu agama.
Setiap sore dia pasrti melewati depan rumahku untuk mengajar di mesjid. Secara sembunyi-sembunyi sering aku menatap wajah dan tubunya yang langsing yang membuat aku menaruh besar untuk menjadikan dia sebagai istriku. Aku yakin dialah calon istriku yang terbaik dan dia bisa dijadikan sebagai ibu bagi anak-anakku kelak.
Akhirnya suatu ketika kami pun berkenalan dan berpacaran cukup lama dengannya. Dari obrolan setiap kali bertemu, mulai terungkap yang sebenarnya siapa sosok gadis yang kini menjadi calon istriku. Dia memang tidak diakui oleh ayahnya sebagai anak, itu yang tidak aku mengerti. Entah ada apa sebenarnya yang terjadi dengan pacarku itu, aku sama sekali tidak mengerti. Aku sendiri tidak terus banyak bertanya, membiarkan saja waktu berlalu, sehingga suatu ketika kami sudah seia sekata untuk hidup bersama dalam suatu ikatan pernikahan.
“Apakah kamu tidak menyesal menikah denganku?” tanya istriku suatu ketika.
“Lho, kenapa harus menyesal, aku mencintai kamu sepenuh hati! Kita jalani hidup ini sebaik-baiknya, toh segala sesuatu berada di tangan Allah Swt,”
“Kalau begitu aku bersyukur sekali memperoleh suami seperti kamu, namun kuharap kita bisa memelihara kasih sayang diantara kita,”
Aku gembira setelah nyata kurasakan kalau memang dia adalah sosok wanita yang sejak kecil tidak mendapat perhatian dari ayah dan ibunya. Jadi usia balita diambil oleh neneknya dan sampai disekolahkan bersama-sama dengan neneknya. Jadi dia terasing dengan keadaan kedua orangtuanya.
Kami menikah dalam suasana yang sangat sederhana sekali, dan itu sudah kami rencanakan seperti itu. Kami tidak mengundang banyak tamu, cukup beberapa orang saja tetangga dan keluargaku sendiri. Aku bahagia bisa mempersunting gadis yang selama ini menjadi impian siang-malam. Namun yang menyedihkan kami, bapaknya tidak dating, hanya untuk wali diserahkan sepenuhnya kepada pengurus KUA, sebab sebab secara lisan dia telah menyampaikan hal tersebut.
Suasana pernikahan berjalan sebagaimana umumnya pasangan yang menikah. Meski tidak dihadiri oleh keluarga pihak istri, aku memakluminya, apalagi selama ini calon istriku tinggal bersama neneknya yang sehari-hari mengandalkan dagang bubur dan nasi uduk di halaman rumahnya yang sempit.
Aku tidak menyesal telah menikahi gadis itu, sebab aku sudah siap menghadapi apapun juga, termasuk menghadapi masa yang akan datang, apalagi aku belum memiliki pekerjaan yang setiap kecuali sebagai guru honorer di sebuah SMP negeri, yang tidak seberapa mendapatkan gaji setiap bulannya. Untung saja, istriku masih tetap mengajar di madrasah, meskipun mendapatkan uang sekedar untuk membeli makanan ringan. Namun ia tetap bersemangat memberikan ilmu kepada anak-anak di madrasah.
Kami mengarungi mahligai rumah tangga yang cukup bahagia, apalagi istriku bisa memberiku 4 orang anak yang sangat kucu-lucu, 3 perempuan dan 1 laki-laki. Selama menjalani hidup sebagai suami istri, aku semakin tahu bagaimana perjalanan hidup yang dialaminya. Aku benar-benar kasihan, sebab entah mengapa, bapaknya tidak mau sama sekali menengok kami. Bahkan cenderung memusuhi kami. Aku selalu menghiburnya, akan jangan terlalu dipikirkan sikap bapaknya yang demikian.
“Apakah kamu selama ini mempunyai masalah dengan bapak kamu?” kataku.
“Rasanya tidak ada. Namu entah, kalau dengan ibu yang membuat mereka bercerai. Aku tidak tahu, sebab waktu itu aku diambil oleh nenekku dan tinggal bersama. Semenjak itu aku jarang sekali bertemu bapak, bahkan bapak seperti tidak mau peduli dengan keadaan diriku, terutama untuk biaya pendidikan serta keperluan lainnya,” ujarnya.
“Biar saja kalau sikap bapakmu begitu, namun kamu tetap saja berbuat baik kepada mereka, sebab bagaimanapun juga, dia adalah bapakmu yang harus dihormarti,”
Istriku menurut apa yang aku katakan. Pernah dia mengunjungi bapaknya, sekedar untuk bersilaturahmi, namun ternyata wajahnya sama sekali tidak mencerminkan sebagai seorang bapak, bahkan terkesan acuh tak acuh. Aku sendiri sampai menggelengkan kepada dengan sikap bapaknya yang keras kepala. Kami diterima dengan hambar ketika berkunjung ke rumahnya, sehingga aku mengajak istriku jangan berlama-lama di rumah itu.
Sikap demikian bapaknya telah menusuk dan melukai hati istriku, apalagi selama ini bapaknya tidak pernah memerhatikan selama hidup bersama neneknya. Rupanya rasa sakit hati itu tersimpan dalam kalbunya, namun dia tidak pernah tercetuskan. Aku berusaha memberikan saran dan nasihat agar tidak lagi memedulikan bapaknya.
Suatu ketika istriku merasa demam dan badan tidak enak, kuanggap biasa saja penyakit itu. Namun ternyata ketika diperiksa, istriku menderita gejala penyakit diabetes. Memang tanda-tandanya sudah terlihat sejak beberapa hari terakhir, misalnya suka cepat lelah dan sering kencing di tengah malam beberapa kali atau merasa haus ingin minum air.
Segera saja aku membawanya ke dokter. Agak lumayan kesehatannya setelah berobat ke dokter. Namun tidak lama, penyakitnya kambuh lagi. Mungkin disebabkan karena faktor pikiran yang selalu membelengu dirinya. Ia terkadang menangis sendirian, teringat kepada neneknya yang meninggal setahun lalu. Neneknya yang banyak berkorban dan membesarkan dirinya, sementara bapaknya sama sekali tidak mau tahu .
Menghadapi keadaan istriku, aku harus sabar dan tabah. Aku terus memberi semangat dan nasihat agar jangan larut dengan duka derita yang berkepanjangan, sebab semua itu sama sekali tidak ada artinya. “Penyakit akan semakin parah, kalau pikiran kita pun tidak tenang. Kamu harus belajar menerima keadaan dan bersabar,” ucapku.
Rupanya lama kelamaan penyakit istriku semakin bertambah parah, bahkan yang membuat aku terperanjat, ada benjolan kecil di payudara, aku khawatir kalau benjolan itu akan membesar. Aku membawanya ke rumah sakit, dan setelah diperiksa ternyata benjolan itu adalah kanker yang tidak ganas. Kalau dibiarkan akan membesar dan membahayakan. Tentu saja aku terpaku mendengar penjelasan dokter. Menurut dokter, segera saja dioperas agar tidak menyebar. Aku bingung darimana uang untuk biaya operasi.
Aku mencari pinjaman ke sana ke mari, agar istriku secepatnya bisa dioperasi. Bingung dan sulit mencari uang untuk biaya operasi yang mencapai puluhan juta rupiah. Aku pasrah kepada Allah Swt. dan memohon pertolongan dalam keadaan yang genting. Untung saja ada beberapa teman yang kasihan dan membantu meminjamkan uang untuk biaya operasi. Aku merasa lega ketia aku sudah memegang uang, meski masih kurang. Akhirnya istriku dioperasi. Operasi berjalan lancar dan istriku nampak sehat-sehat selesai menjalani operasi. Selama dua minggu berada di rumah sakit, istriku sudah diperbolehkan pulang. Aku bahagia bisa kembali berkumpul di rumah.
Aku gembira karena secara bertahap istriku mengalami kesembuhan dari ancaman serangan kanker.Begitu pula penyakit gulanya sudah mulai menghilang, sehingga bisa melakukan kegiatan seperti biasanya. Aku pun berusaha menggunakan pengobatan alternative dengan membeli beberapa herbal yang memang membantu terhadap kesembuhan istriku.
Secara perlahan namun pasti, terlihat perubahan pada istriku. Tubuhnya mulai memperlihatkan kenaikan lebih dari 3 kg. Sekarang ia tidak keliharan kurus, bahkan wajahnya yang semula terlihat tulang pipinya, kini tertutup dengan daging. Makan pun sudah mulai terlihat lahap, meski tetap harus dijaga, terutama kuatir bila penyakitnya kambuh lagi.
Selama beberapa bulan, kami merasa bahagia, istriku tidak terlalu merepotkan dan banyak membantu menyediakan makanan saat aku akan bekerja atau pulang dan anak-anak pun bisa makan bersama-sama.
Tetapi rupanya, tidak sampai setahun, penyakit istriku tiba-tiba kambuh lagi, tentu saja membuat aku cemas dan bingung, sebab uang pinjaman dari orang lain belum lunas, sudah dihadapkan lagi dengan masalah baru. Aku hampir putus asa menghadapi pahitnya berumah tangga dengan istri yang terus-terusan sakit. Terlintas dalam benakku, membiarkan saja istriku di rumah sebab biaya untuk ke rumah sakit tentu tidak sedikit.
Namun aku kasihan, kalau tengah malam dia merintih menangis tersedu-sedu karena menahan sakit di payu daranya bekas di operasi. Di situ secara perlahan kambuh lagi daging yang menonjol. Aku sudah menduga kalau itu adalah kanker yang selama ini aku takutkan. Benar saja, ketika dicek ke dokter, kanker itu tumbuh lagi ditambah lagi kencing manis .
Aku hanya bisa terpaku saat mendapat penjelasan dokter kalau kanker di payudara sangat rawan sekali. “Yah, kita harus sabar menghadapi penyakit ini,” ujar dokter memberi nasihat.
Di rumah, aku berusaha untuk memberi pengobatan dengan alternative. Aku mencari informasi tentang pengobatan tradisional. Memang banyak yang memberitahukan. Pernah aku pergi ke Jakarta untuk mencari obat alternative, ternyata obat itu cocok dengan istriku, sehingga secara bertahap ada perubahan dan lukanya mulai mengering, tentu saja aku sangat gembira melihat perubahan itu, berarti obat yang diperoleh di Jakarta sangat cocok.
Berangsur-angsur istriku terlihat gembira dan ceria tatkala mulai ada kesembuhan, serta rasa sakit pun berkurang. Tentu saja aku sangat gembira. Dia Nampak sabar menghadapi ujian yang sangat berat. Tetapi belakangan dia selalu menyebut-nyebut ingin ke rumah bibinya yang ada di Jawa Tengah. Berulangkali dia selalu mengungkapkan keinginannya itu, aku kasihan kalau sudah begitu.
“Di perjalanan kamu akan kuat tidak?” tanyaku, sebab aku khawatir dengan sakitnya yang bisa saja sewaktu-waktu datang kembali.
“Insya Allah, kita berdoa saja. Tidak hanya ke bibi, tetapi juga di sana katanya bisa juga berobat, ya sekalian saja!”
Benar juga kalau begitu, siapa tahu sudah dari sana, istriku sembuh total, sebab sudah hampir 5 tahun tidak bisa berjalan normal. Kulihat tubuhnya sangat kurus dan Nampak sekali tulang-belulangnya yang menonjol. Aku seringkali menarik napas panjang kalau sudah melihat kondisi istriku yang semakin mengecil, namun aku berharap dia akan kembali sembuh dan normal seperti biasanya.
Aku selalu berdoa dan berharap agar segera bisa sembuh penyakit yang diderita istriku, aku kasihan kepada anak-anakku yang masih kecil dan membutuhkan perhatian, apalagi anak yang bungsu. Aku harus bisa menjaga dan merawatnya, sebab dia benar-benar baru masuk SD, sehingga membutuhkan perhatian yang ekstra. Berbeda dengan 3 orang kakaknya yang sudah bisa mandiri dan bisa memasak.
Di rumah yang sekarang kutempati merupakan hasil keringat dan kerja keras selama aku bekerja di sebuah penerbitan surat kabar ternama di Bandung, aku berada pada anak perusahaannya yang sekarang pertumbuhannya terus meningkat, sehingga aku pun mendapat gaji, tunjangan serta komisi dari iklan yang cukup lumayan. Aku merintis di surat kabar itu mulai dari nol. Aku tertarik dunia jurnalistik secara kebetulan karena kakakku bekerja sebagai wartawan.
Memang tidak mudah mencari pekerjaan di saat Indonesia sedang dilanda krisis moneter dan keuangan di tahun 1998 yang mengakibatkan banyak perusahaan yang gulung tikar. Ditambah lagi kondisi politik yang tidak menentu sejak kejatuhan Presiden Soeharto yang 30 tahun berkuasa. Ekonomi morat-marit dan sangat terasa sekali olehku. Aku sudah berupaya mencari pekerjaan ke semua perusahaan, namun selalu mentok dan tidak mudah untuk bisa menembus.
Untung saja aku dibawa oleh kakakku untuk membantu sebuah penerbitan surat kabar mingguan yang beredar di seluruh Jawa Barat. Aku secara bertahap ikut membantu dan ditempatkan di daerah Sukabumi. Aku bisa hidup dengan cara seperti itu, sebab saat itu menjad reporter sangat dihargai dan dihormati. Aku menjalin hubungan baik dengan semua kalangan, sehingga aku tidak merasa kesulitan dalam masalah nafkah untuk kebutuhan sehari-hari. Aku pun kalau ada proyek yang bisa dikerjakan olehku, aku tidak menyia-nyiakan sepanjang itu halal, misalnya membuat buku atau mencetak brosur untuk promosi sebuah instansi.
Namanya rumah tangga tidak selamanya mulus, dalam perjalanan seringkali terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Aku merasakan itu, istri seringkali menelopon kehabisan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Kalau sudah begitu, aku bergegas pulang untuk memberikan uang ala kadarnya. Istriku tidk pernah menuntut yang macam-macam, dia selalu sabar menghadapi semua masalah rumah tangga, termasuk ketika kekurangan saat mendaftarkan anakku untuk masuk sekolah ke SMP.
Ketika aku diajak oleh temanku yang kebetulan seorang redaktur untuk bisa membantu di Bandung, maka aku manfaatkan sebaik-baiknya. Aku bisa bekerja sama dengan redaktur itu, sebab dia satu jiwaku denganku. Aku terus terang saja banyak dibantu olehnya dan kerapkali kalau aku sedang membutuhkan uang, maka aku tidak segan-segan untuk meminjam atau meminta seperlunya.
Di Bandung aku bisa bergerak bebas, apalagi redaktur memberi tugas yang selama ini aku sudah biasa mengerjakannya. Aku diberi beberapa halaman yang harus aku isi, maka aku manfaatkan sebaik-baiknya untuk bisa bernegoisasi dengan pengusaha atau pejabat. Aku selalu bisa mengerjakan tugas dengan baik dan yang terpenting lagi ada nilai uangnya, sebab yang selama ini kurasakan berkah rejekinya ketika aku meliput satu halaman dan ternyata nara sumber tidak keberatan untuk memberikan uang sebagai dana untuk promosi. Meski honorku kecil, tetapi cara seperti itu, aku bisa mendapatkan uang yang cukup besar dan bisa menabung, terlebih lagi kalau aku bisa memperoleh iklan, aku bisa mendapat komisi 30 % bahkan lebih.
Seiring dengan perjalanan profesiku sebagai reporter, banyak manfaat yang kuperoleh, aku bisa menjalin hubungan dengan semua kalangan. Di situ aku bisa memanfaatkan untuk bisa mendapatkan proyek yang bisa menguntungkan. Itu sebabnya, secara perlahan namun pasti aku bisa menabung untuk kebutuhan kelak anak-anakku yang akan memasuki sekolah.
Alhamdulillah semua berjalan sebagaimana biasanya. Namun sungguh diluar dugaan, bahwa ternyata penyakit istriku pun secara perlahan kembali datang lagi. Boleh jadi mungkin karena ada keinginan istriku untuk bisa ditengok oleh bapaknya sebab memiliki rumah baru yang kami bangun, namun ternyata bapaknya atau mertuaku tidak mau untuk datang melihat anaknya. Malah dia semakin melarang istriku untuk bertemu dengannya, tentu saja membuat istriku sakit.
“Sudahlah jangan kamu pikirkan sekali-kali bapak kamu itu, toh tidak ada manfaat sama sekali!’ kataku suatu ketika melihat istriku berbaring karena merasakan sakit di dadanya.
“Aku pun ingin melupakan, tetapi yang aku aneh sekali, mengapa bapak tidak mau mengakui aku sebagai anakku, apakah aku bukan anaknya?” katanya.
“Lelah kalau kita berpikir seperti itu, biarkan saja. Anggap bapak kamu sudah tidak ada di bumi ini, agar kamu tidak terus memikirka sikap bapak yang seperti itu!”
Istriku suka menangis kalau sudah kukatakan demikian. Bukan menangis akibat ucapanku, tetapi tidak mengerti dengan bapaknya yang sama sekali tidak mau mengakui sebagai anaknya, padahal kata neneknya pernah mengatajkan kalau itu adalah bapaknya yang melahirkan, namun entah apa sampai tidak mau mengakui anaknya.
Rupanya perasaan istriku sangat peka dan itu berdampak terhadap penyakit yang dideritanya. Jadi aku bisa mengambil kesimpulan, kalau sakit istriku lebih disebabkan karena factor pikiran dan rasa yang tidak bisa menerima mempunyai bapak satu-satunya tapi tidak mau mengakui. Aku sendiri heran, ketika aku datang ke rumah mertuaku dan mengabarkan kalau istriku ingin bertemu dengan dia, sama sekali tidak ada raut wajah kasihan kepada anak kandungnya sendiri. Aku heran dan tidak mengerti, ada bapak yang setega itu membiarkan anaknya yang sakit dan berkeinginan untuk bertemu.
Aku tidak bisa memaksa atas sifat keras bapaknya. Dia benar-benar seorang bapak yang kuanggap sebagai setan, sebab kesalahan anak sebesar apapun, sudah sepatutnya diampuni kalau memang mempunyai kesalahan. Namun aku tidak mengerti dan menjadi misteri yang tidak pernah aku bisa menjawabnya terhadap mertuaku.
Aku pulang dari rumah mertua dengan linangan air mata yang tidak bisa dibendung lagi. Aku kasihan kalau istriku kerapkali menanyakan bapaknya dan bermaksud akan meminta maaf kalau sekiranya ada kesalahan yang pernah dia lakukan. Namun nampaknya bapaknya mempunyai sifat keras kepala dan tidak berkeinginan sekedar untuk menengok anaknya yang sedang jatuh sakit parah.
Hari berganti hari, ternyata sakit yang diderita istriku bukannya sembuh, malah sebaliknya semakin parah. Aku berusaha membawa ke rumah sakit dan dirawat selama lebih dua minggu dengan menghabiskan biaya yang cukup besar. Bahkan bila kuhitung-hitung sudah lebih 100 juta uang untuk berobat istriku. Aku sendiri tidak mengerti uang sebesar itu bisa kudpatkan, padahal aku bekerja belumlah diangkat resmi sebagai karyawan.
Rupanya rejeki sudah diatur oleh Allah Swt. Meski serba kebingungan dan terkdang aku sulit bernapas ketika harus membayar biaya ke rumah sakit, namun pada saatnya ada saja orang yang rela ikhlas membantu untuk perawatan istriku. Aku semakin yakin kalau rejeki ada ditangan Allah Swt. Sepulang dari rumah sakit, kuharap istriku bisa sembuh seperti semula, namun dugaanku melesat, justru dia hanya bisa berbaring di ranjang seraya meregang menahan sakit yang kini sudah jelas yaitu kanker payudara.
Aku hanya pasrah melihat fisik istriku yang benar-benar sudah berubah, bahkan aku melihatnya sebagai mayat yang hidup saja. Matanya sudah menonjol dan tulang kelihatan di seluruh tubuhnya, yang menunjukkan bahwa dagingnya sudah digerogoti oleh virus yang terus menerjangnya. Namun dia tetap tabah dan melaksanakan sholat dalam keadaan berbaring, sementara anakku yang bungsu sering menemani ibunya di kamar sendirian.
Rasanya hatiku semakin hancur kalau sudah berada di rumah, sebab aku sendiri yang harus mengurus dan bersabar menghadapi semua ujian ini. Seringkali istriku meminta maaf kepadaku belum bisa melayani sebaik-baiknya sebagai istriku.
“Aku maafkan semua kesalahan kamu, sebaliknya juga Akang mohon maaf belum bisa membahagiakan kamu,!” kataku seraya memegang tangannya. Dia nampaknya semaki merasakan ada sesuatu dalam dirinya yang selama ini dipendam.
Tiba-tiba istriku berkata,
“Bapakku sudah datang ke sini?” tanyanya.
Aku kaget mendengar pertanyaan.
“Kan suda kubilang jangan lagi memikirkan bapak kamu, dia sudah tidak mau mengakui lagi kamu sebagai anaknya, sekarang pasrah dan ikhlas saja kepada Allah terhadap apa yang sudah Allah rencanakan,” katanya.
“Sampaikan saja kepada bapakku, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada dosa dan kesalahan yang selama ini kuperbuat,”
“Ya aku akan sampaikan!” kataku.
Tidak lama kemudian di tertidur di ranjang. Kuanggap hal itu biasa saja, sebab selama ini pun demikian.
Masih ingat dalam benakku, ketika itu bulan suci ramadhan, seperti biasanya aku pergi ke kantor untuk menyelesaikan tugas yang diberikan redaksi membuat laporan utama tentang budidaya ikan koi di Bandung. Namun hari itu aku merasakan perasaan yang tidak menentu. Ke kantor yang ada Banceuy Permai, aku merasakan tidak ada gairah, teringat degan ucapan istriku yang selalu menanyakan tentang bapaknya.
Meski tidak bersemangat namun aku berusaha untuk bisa mengerjakan tugas seceparnya agar tidak menjadi beban bagiku. Sebentar lagi akan tiba hari raya idul fiitri, aku harus mempersiapkan baju dan makanan untuk hari raya idul fitri. Aku berusaha untuk mendapatkan uang dengan jalan mencari iklan atau menulis pariwara. Ternyata bulan ramadhan sekarang berbeda dengan tahun-tahun yang lalu, sebab aku mulai mencium yang tidak enak di lingkungan perusahaan.
Pihak manajemen sudah membuat suatu keputusan bahwa untuk sementara penerbitan surat kabar akan dihentikan terlebih dahulu dan akan mengevaluasi secara menyeluruh untuk perbaikan yang dianggap perlu. Tentu saja kami sebagaikaryawan sangat gembira adanya kabar seperti itu, namun belakangan barulah kami tahu bahwa perusahaan sebenarnya tengah mempersiakan untuk mem-PHK karyawan di lingkungan anak perusahaan sebab keberadaannya sama sekali tidak menguntungkan, justru dengan karyawan sebanyak tidak kurang 40 orang membenani perusahaan, sementara omset semakin terus menurun karena tidak mampu menyedot iklan secara lebih banyak.
Aku hanya menarik napas panjang dengan kondisi perusahaan yang semakin tidak menentu, sehingga puncaknya tatkala ada Surat Keputusan dari Direksi bahwa untuk sementara waktu surat kabar tidak bisa diterbitkan , sedangkan karyawan digaji sebagaimana biasanya dan absen tetap berlaku. Kami memang tidak dirugikan dengan adanya kebijakan itu, namun untuk apa pula datang ke kantor kalau sekedar untuk absen saja.
Tentu akibat SK tersebut sempat menimbulkan kepanikan di kalangan karyawa dan wartawan,namun setelah dikumpulka oleh pimpinan perusahaan, akhirnya langkah itu ditempuh untuk bisa bergerak lebih berkualitas dan nama surat kabar pun diganti dengan yang baru, serta gaji pun akan semakin besar dari sekarang. Penjelasan dari pimpinan perusahaan demikian, suasana menjadi tenang dan tidak terjadi ketegangan diantara unsure karyawan dan manajemen. Apalagi bulanan gaji tetap lancar, termasuk Tunjangan Uang Makan dan Tunjangan Uang Transpor dibayarkan penuh, sehingga tidak ada pihak yang protes.
Namun satu tahun mengalami suasana seperti itu dan tidak ada gejala akan kembali diterbitkan, beberapa rekan mulai melakukan antisipasi dengan mencari sambilan bekerja di tempat lain atau ikut magang di perusaaan lain. Sebagian karyawan dari daerah merasakan stress yang luar biasa, sebab selama berada di kantor nyaris tidak ada yang bisa dikerjakan selain berkumpul, ngobrol atau bermain game di komputer selama berjam-jam.
Di saat situasi dan kondisi perusahaan yang tidak menentu, aku berusaha mencari tambahan dengan berbisnis menanam sayur-sayura yang bisa dijual di pasar, bahkan aku menyewa sebuah lokasi di pasar Sayati untuk bisa berjualan sayur mayur yang banyak diminati konsumen. Lumayan dengan cara bisnis seperti itu, aku mendapat keuntungan yang lumayan dibandingkan menganggur yang tidak menentu.
Sementara kondisi istriku semakin memprihatinkan, terlebih beberapa hari terakhir ini dia sering meminta maaf kepadaku dan kepada anak-anakku, yang membuat aku melelehkan air mata. Entah aku sendiri seperti merasakan ada sesuatu yang tidak bisa aku ucapkan. Dari sorot matanya yang kerapkali menatap kearahku, harapan untuk hidup semakin jauh, sehingga dia berulang-ulang minta bertemu dengan bapaknya, namun aku sedih sebab beberapa kali datang ke rumah mertuaku dan kusampaikan keinginan anaknya yang terakhir kali, dia tidak pernah menemui anaknya. Aku sendiri sudah tidak peduli, toh buat apa memaksanya.
“Sabarlah Bu, mudahh-mudahan Allah Swt mengampuni segala dosa dan kesalahan ibu,” kataku. Istriku hanya menatap saja. Kini dia sudah tidak bisa bicara kecuali dengan suara yang sangat berat sekali, yang membuat aku sangat kasihan sekali.
Ketika beberapa hari lagi tiba idul fitri, sebagai hari kemenangan umat Islam, aku bisa memenuhi segala kebutuhan pakaian untuk anak-anakku, termasuk aku pun membelikan baju baru untuk istriku. Dia sangat bahagia ketika kuperlihatkan baju baru yang baru saja aku belu, dia tersenyum bahagia ketika aku menunjukkan baju barunya.
Malam idul fitri terdengar suara takbir diiringi bedug bertalu-talu di mesjid yang tidak terlalu jauh dengan rumahku. Aku merasa ketir ketika kulihat istriku berbaring lemah sekali, dia hanya bisa berkata sedikit demi sedikit. Tubuhnya sudah bagaikan mayat hidup, yang tinggal hanya tulang belulang. Sudah ada tiga hari tidak masuk makanan ke dalam tubuhnya kecuali hanya air putih saja. Benar-benar membuat aku mencucurkan air mata; tidak ada harapan melihat kondisi seperti itu.
Aku sudah pasrah menghadapi semuanya, sebab aku kasihan sudah lebih 5 tahun dia menderita sakit yang belum juga belum sembuh. Keinginannya untuk bertemu dengan bapaknya sama sekali tidak kesampaian. Dan itu bagi istriku sangatlah menyakitkan hati. Bagiku sampai sekaran menjadi sebuah misteri yang belum bisa kupecahkan; mengapa bapaknya sama sekali tidak mau bertemu dengan anaknya sendiri.
Di malam takbiran, aku hanya berada di rumah menunggu istri bersama anak-anakku, ditemani televise untuk sekedar menghibur di rumah. Anakku sudah menyiapkan masakan kupat dan kari ayam untuk esok makan bersama. Demikian pula anakku yang bungsu terlihat beberapa kali mengenakan sepatu baru untuk dicoba yang membuat aku bahagia berada dalam lingkungan keluarga. Namun dibalik semua itu, hatiku hancur kalau sudah melihat keadaan istriku yang sekarang mengalami kondisi yang sangat drastis. Kalau pun mau dibawa ke rumah sakit, tidaklah mungkin sebab besok adalah hari Idul Fitri, hari kemenangan bagi umat Islam yang sudah melaksanakan syaum ramadhan sebulan penuh.
Sampai larut malam, kulihat istriku tertidur pulas sekali, namun sekali-kali ia terbangun. Aku sendiri tidak menentu, sebab malam itu ada perasaan gelisah tidak menentu serta hatiku berdebar-debar apalagi kalau kulihat sekujur tubuh istriku. Ada perasaan yang sulit untuk kusembunyikan; aku sendiri tidak tahu. Aku hahnya bisa berdoa daa bertawakal saja kepada Allah Swt.
Malam takbiran itu aku tertidur pulas di kursi depan seraya televise belum dimatikan. Aku terbangun ketika terdengar suara adzan di mesjid. Aku bergegas bangun untuk melaksanakan sholat subuh di mesjid, namun ketika melihat istriku menahan sakit, aku tidak jadi ke mesjid aku segera sholat di rumah saja. Selesai sholat aku bergegas mendekati istriku yang terlihat wajahnya putih bersih, namun napasnya turun naik. Aku sendirian di rumah sebab anak-anakku tidur di rumah neneknya.
Aku kaget ketika kuperhatikan, istriku sedang menahan sakit yang luar biasa, aku mencoba untuk menenangkan. Namun yang kulihat aneh sekali, matanya sudah terbalik yang membuat aku terbelalak. Aku terus melantunkan zikrullah dan menyusuh agar dia membaca tahlih. Dia mengikuti apa yang kuucapkan.
Sementara kudengar waktu untuk sholat Idul Fitri semakin dekat, tidak ada tetangga yang bisa kuminta tolong, sebab semuanya sedang berada di mesjid. Aku bingung menghdapi istriku yang sedang sakaratul maut. Aku yakin inilah detik-detik terakhir bersama istriku.
Rumah tetangga semuanya sepi sebab mereka pergi melaksanakan sholat Idul Fitri di lapangan yang agak jauh dari rumahku. Aku berusaha tabah menghadapi kondisi kritis yang dihadapi istriku, aku berusaha untuk tegar menghadapi istriku yang sudah tinggal beberapa menit lagi.
Aku kalang kabut bercampur hancur, air mataku terus meleleh saat membimbing istrik melapazkan kalimat tauhid :”Laa ilaha Illalloh” berulang-ulang. Istriku secara pelan kudengar mengikuti ucapanku. Dia baru berhenti ketika sholat Idul Fitri akan dimulai, maka seketika aku menangis sekuat-kuatnya seraya memanggil istriku yang selama ini sangat aku sayangi.
Aku menutup matanya setelah napasan terakhir habis. Dia benar-benar sudah meninggal dunia diatas pangkuanku. Aku ikhlas dan ridho atas kehendak Allah itu. Aku menangis sendirian selama orang lain sedang melaksanakan sholat Idul Fitri. Aku menutupi wajah istriku dengan kain dan tak kuasa menahan kesedihan yang membelengu dalam dadaku.
Ketika terdengar suara anak-anakku masuk ke dalam rumah dan mendengar aku menangis, maka tidak bisa dibendung lagi mereka pun menangis saat kuberitahu kalau mamah sudah tidak ada, sudah meniinggal dunia beberapa menit yang lalu. Suasana kesedihan di rumah sangat terasa sehingga tetangga yang berdekatan dengan rumahku langsung berdatangan.
Tentu saja suasana Idul Fitri bukannya kebahagiaan, tetapi tangisan pilu yang keluar dari setiap orang yang menengok mayat istriku. Aku beberapa kali jatuh pingsan ketika melihat anak-anakku yang menangis memeluk mayat ibunya yang kurus kering dan tidak berdaging lagi.
Tetangga di kampungku berdatangan ke rumah sambil ikut menangisi kepergian istriku, sebab di kampung istriku dikenal luas warga desa. Aku sendiri banyak kenalan sehingga banyak yang berdatangan ke rumahku untuk turut berduka cita. Aku hanya bisa mencucurkan air mata ketika beberapa orang menasehatiku untuk bersabar menghadapi musibah berat ini. Aku tidak menyangka dia akan pergi secepat itu meninggalkan 4 orang anak yang butuh kasih sayang.
Idul Fitri 2004 bagiku menyimpan kenangan yang sulit kulupakan, sebab hari itu istriku diambil ruhnya oleh Allah. Aku hanya bisa berdoa semoga dia diterima iman islamnya dan diampuni segala dosa dan kesalahannya. Kini aku harus mengurus keempat anakku yang masih membutuhkan biaya dan aku bertekad untuk menyekolahkan mereka ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Semoga kisahku ini bermanfaat bagi pembaca.***
Narasumber kisah nyata ini pun telah meninggal dunia Februari 2009, semoga Allah mengampuni segala dosa dan kesalahannya. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar