Nama lengkapnya Aan Merdeka Permana, seorang penulis novel aktif dalam bahasa Sunda. Buah karya tulisannya yang bertalian dengan ceritera sunda atau tentang kesundaan lebih dari 500 judul, bahkan sejak pensiun dari PR dia mendirikan Majalah Panjalu yang ternyata peminatnya cukup banyak. Majalah itu berisi tentang budaya sunda dan kerajaan sunda di zaman dulu. Biasanya saya kalau bertemu di Kantor Galura, Jl. Asia Afrika. Kalau sudah bertemu, pasti akan mengobrol masalah pengalaman hidupnya yang sangat unik dan menarik.
Kisah yang sangat menyentuh hatinya, ketika suatu hari dia akan pergi ke daerah Garut dan harus melewati tanjakan nagreg yang seringkali macet. Pada saat itu dia sedang berduaan dengan seorang yang duduk dibelakang memekai motor. Ketika sampai di tanjakan nagrek dia berhenti dulu karena akan mengisi perutnya yang terasa lapar.
Dia berhenti di sebuah warung kecil yang penjualnya adalah nenek yang sudah tua. Sambil makan pisang dan beberapa makanan lainnya, tiba-tiba dia berkata:
"Siang begini, kalau makan kelapa es muda sangat enak!"
Penjual warung itu pun menimpali,
"Kalau bapak ingin, saya akan ambilkan di warung sebelah sana...saya akan ke sana"
"Iya kalau begitu ambilkan saja!"
Nenek itu pun bergegas pergi dari warung ke warung yang jaraknya sekitar 50 meter untuk mengambil es kelapa muda., Tidak lama nenek itu sudah datang kembali dengan terlihat mulut yang ngos-ngosan karena jalannya nanjak.
Kang Aan menikmati es kelapa muda itu, dan benar-benar terasa nikmat di mulut karena dia dari tadi juga haus ingin minum. Ketika selesai makan dan minum es kelapa muda, dia bertaya kepada nenek itu,
"Berapa es kelapa muda itu ?"
"Dua gelas, Enam ribu rupiah, pak" ujar nenek itu polos.
"Heh...enam ribu rupiah kenapa mahal...bukankah saya setiap membeli ke sana hanya dua ribu seorang..." ujar Kang Aan agak kesal dan sedikit marah.
Nenek diam.
"Sudahlah...nih uangnya enam ribu!" katanya kesal, seolah tidak ridho memberikan uang sebesar itu.
Ketia akan meninggalkan warung, tiba-tiba nenek itu berkata yang membuat Kang Aan merasa terpukul: "Cep, Ridho ieu artos teh!"
Selama beberapa hari ia termenung memikirkan ucapan nenek itu. Duit yang tidak seberapa, mengapa mesti ngotot dan kesal kepada nenek warung, padahal wajar saja dia mengantarkan dua gelas es kelapa muda.
"Padahal duit teu sabaraha tapi ku ucapan nini-nini tukang warung, nepi ka ayeuna ingeut bae tah!" ceuk Kang Aan.***